(Staf Khusus Kepala BPN RI Bidang Hukum)
Workshop Penyelesaian Sengketa Tanah Asset TNI/POLRI
Kedeputian V Badan Pertanahan Nasional RI
Hotel Century Park Senayan - Jakarta, 13 September 2011
ISI PRESENTASI
1. Pengantar
•Persoalan
sengketa tanah-tanah militer kurang banyak mendapat tempat dalam
diskursus sejarah konflik agraria, dibandingkan dgn sengketa tanah2
perkebunan ataupun sengketa di perkotaan.
•Diperlukan kajian
pengungkapan sejarah thd peran militer scr institusional dlm sengketa
tanah & klaim militer dlm mengambil tanah2 rakyat utk kepentingan
bisnis, pusat latihan tempur & fasilitas lainnya.
•Paparan
ini menggambarkan sejarah sengketa tanah yg melibatkan militer di
Indonesia, menunjukkan potret sengketa tanah militer di lapangan &
mengusulkan arah solusi penanganan serta penyelesaiannya scr menyeluruh.
▫
▫Sumber utama: Herlambang Perdana (2004; 2008).
2. Sejarah posisi militer dalam sengketa tanah
•Terdapat periodisasi perampasan tanah dalam 3 masa atau rentang waktu, yakni :
▫(1) Periode 1950-1958 (atau disebut masa revolusi kemerdekaan hingga perang darurat militer);
▫(2) Periode 1958-1965 (masa penguasa perang darurat daerah hingga demokrasi terpimpin); dan
▫(3) Periode 1965-1976 (masa awal orde baru atau pembangunanisme).
•
3. Potret sengketa tanah dan keterlibatan militer
•Dipahami
bahwa konflik tanah yang menghadapkan petani dengan militer, yang
terjadi sejak tahun 1950-an, bukanlah konflik yang terjadi parsial.
•Melainkan
konflik tanah secara sistemik yg melibatkan institusi militer scr
resmi, terencana & menggunakan media legal formal utk melakukan
pengambilalihan tanah2 rakyat atas dasar klaim sepihak militer
(terorganisir).
•Perlu penelusuran sejarah konteks politik
masa lalu yang dihubungkan dengan upaya penyelesaian sengketa
tanah-tanah rakyat pada masa sekarang.
•
•Pengaruh
Konferensi Meja Bundar (KMB) bagi politik militer, khususnya thd
penguasaan aset2 bekas kolonial yg kemudian dinasionalisasi pemerintah,
termasuk nasionalisasi industri & tanah2 perkebunan.
•Begitu
pula pengaruh politik sebelum & sesudah peristiwa 1965 terkait
penguasaan tanah2 rakyat di tengah gencarnya program land reform pasca
diberlakukannya UUPA 1960 & UU No 51/Prp/1960.
•Sejumlah
konteks politik lain yg amat penting dianalisis hubungannya dgn aneka
kekuatan politik, khususnya militer thd problem ketimpangan penguasaan
tanah2 yg menjadi warisan konflik sekarang.
•Penjelasan ttg
penguasaan tanah2 militer dgn dalih "pembelian", nasionalisasi aset2
kolonial, sebagian besar merupakan hasil perampasan hak2 tanah rakyat
scr sistematik & terorganisasi rapi à Dipersoalkan rakyat di
kemudian hari!
•Dari
1.753 kasus yg direkam KPA (1970-2001), pihak militer termasuk yang
paling sering berhadapan dgn rakyat. Tak kurang 29% kasus telah
mengakibatkan rakyat bergulat dgn militer. Analisis thd pola konflik
agraria menampilkan wajah penaklukan & penindasan oleh aparat negara
thd rakyat.
•Sebagai contoh: Untuk kasus tanah yg dirampas
militer di Jatim (2004), ada 25 kasus yg melibatkan militer, baik TNI AD
(tujuh kasus), TNI AL (12 kasus), dan TNI AU (enam kasus), dgn luas
sengketa 15.374,29 hektar. Kasus2 itu juga terjadi di berbagai provinsi
lain (Perdana, 2004).
•Sering bukti2 hak rakyat atas tanah tak
diakui. Penindasan yg kerap dialami rakyat berupa intimidasi, teror
& kekerasan fisik. Sering terjadi penangkapan hingga pemenjaraan
tokoh rakyat yg memperjuangkan haknya atas tanah. Bahkan, penggunaan
senjata & alat kekerasan negera & premanisme yg mengorbankan
rakyat.
•Korban sengketa tanah dgn militer, banyak petani
yg jadi korban kekerasan dlm upaya memperjuangkan kembalinya hak atas
tanah, seperti penculikan atau kasus orang hilang, pembunuhan, pelecehan
seksual, penganiayaan, penahanan & penangkapan semena2.
•Ketika
negara tdk mampu menyelesaikan problem tanah militer, institusi militer
dgn peran politiknya telah menerobos dominasi politik negara utk
mengendalikan kebijakan politik tanah.
•Keterlibatan militer
dlm politik tanah melahirkan banyak sengketa tanah militer. Sengketa
tanah militer adalah sengketa tanah antara rakyat petani dgn institusi
militer yang terjadi akibat perampasan tanah secara paksa dengan pola
kekerasan di masa lalu & mempergunakan tanah rampasan tersebut utk
kepentingan militer, seperti utk fasilitas latihan militer, bisnis,
perkebunan, perumahan & kepentingan militer lainnya.
•Yg
patut dipersoalkan adalah cara2 perampasan tanah2 rakyat yg dilakukan
dgn pendekatan kekerasan (repressive approach), seperti: pembunuhan,
penembakan, penculikan, pengrusakan, pengusiran/penggusuran, dan
pemaksaan lainnya, termasuk berbagai manipulasi peruntukan tanahnya.
•Sengketa
tanah militer meluas sesungguhnya byk terjadi di berbagai wilayah
Indonesia, baik yg menghadapkan rakyat dgn institusi TNI AD, AU maupun
AL.
•Banyak lembaga metamorfosis TNI yg digunakan sbg alat utk
klaim hak2 tanah atau aset militer. Misalnya peruntukan seperti proyek
perumahan atau pemukiman (Prokimal TNI-AL; Prokimad TNI-AD), fasilitas
latihan tempur, gudang peralatan, perkebunan, & disewakan utk bisnis
militer yg menggunakan badan hukum yayasan2 militer ataupun koperasi
(Puskopad TNI-AD, Puskopau TNI-AU, Puskopal TNI-AL).
•Dengan
begitu, terjadilah pertemuan antara pola represi dengan pola akumulasi
kapital dalam sengketa tanah militer yang mengakibatkan tidak hanya
kemiskinan sosial, namun juga traumatik psikologis.
•Berangkatdarihambatan/kendalaygada:
•Pertama,
BPN sbg lembaga birokrasi tanah, belum mampu menyelesaikan konflik
tanah jenis ini secara tuntas karena keterbatasan kelembagaan &
kewenangannya. Membawa kasusnya ke pengadilan, justru kerap menyulitkan
posisi rakyat.
• Kedua, birokrasi tanah militer memiliki
sejarah tersendiri sehingga byk ditemui klaim kepemilikan militer
disahkan oleh surat2 keputusan militer. Banyak institusi negara memilih
menghindar dari upaya penyelesaian sengketa tanah-tanah militer dengan
berbagai alasan yang beragam dan tidak jelas.
•Ketiga, belum
ada mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang dikuasai militer. Standar
penyelesaian sengketa tanah militer lebih rumit lagi, bukan karena
banyak jalan atau tahapan yang harus ditempuh. Namun lebih pada tiadanya
standar.
•Penanganan problem agraria secara adil dan
manusiawi melalui Reforma agraria akan menjadikan demokrasi lebih
bermakna keadilan dan kemanusiaan. Rencara pelaksanaan reforma agraria
yg ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dlm pidato awal tahun
2007 (31/01), hendaknya sekaligus bermakna reposisi militer dari “aktor
pemicu konflik” menjadi “pengawal terbitnya keadilan”.
•Pengalaman
bangsa2 mengajarkan bahwa RA yg berhasil selalu menyertakan pihak
militer sbg backing-nya rakyat sekaligus pengawal setia pemerintah yg
sdg menaburkan benih kesejahteraan, kemakmuran & keadilan bagi
raknyat.
•Militer perlu segera mereposisi diri untuk terlibat
mensukseskan pelaksanaan reforma agraria. Skenario ini mensyaratkan
adanya instruksi yang tegas dari panglima tertinggi militer (Presiden)
mengenai agenda ini. Prasyaratnya, Presiden punya keyakinan penuh untuk
memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria.
5. Penutup
Selaraskan dgn Reforma Agraria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar