Selasa, 09 Desember 2014

TULISAN DARI BAPAK Bambang Sulistyo Widjanarko UNTUK MASUKAN DAN PENDAPAT

Dikutip dari Herman Soesangobeng dalam "Masukan dan Pendapat Untuk 1. Pebaikan dan Penyempurnaan RUU Pertanahan,
2. Pembentukan Kementerian Pertanahan RI,
3. Hapus RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PMHA),
4. Hidupkan dan Berlakukan Kembali "Hak Milik Perdata Kebendaan" Adat.
pada Ketua Tim Transisi Jokowi-JK, Ketua Komisi II DPR RI, Menteri Kemenkumham, Menteri Kemendagri, Menteri Kemenhut, Ka BPN RI, Menteri Kemensos, Para Ketua Partai dlsb. Dikutip pada bagian Pengantar point 14 sd 20 dari 31 point.
14. RUU Pertanahan, setelah disyahkan menjadi UU Pertanahan, bersama dengan UUPA 1960 akan menjadi HUKUM PERDATA NASIONAL INDONESIA. Undang-Undamg Pertanahan akan menjadi pengganti Nederlands Bugerlijk Wetboek (NBW). NBW itu, diberlakukan di Indonesia sejak 1838 oleh VOC, kemudian pada 1848 berdasarkan azas konkordosi diberlakukan kembali dengan nama Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia (KUHPInd), yang berlaku hanya terhadap warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia, orang Eropah dan orang Timur Asing yang sudah disamakan kedudukan sosialnya dengan orang Eropah. NBW/KUHPInd itu mengatur dua jenis hak milik dasar hukum perdata Belanda yang diadopsi dari ilmu Hukum Perdata Universal (Corpus Juris Civilis), dan dianut dalam semua Hukum Perdata negara-negara demokratis di dunia, kecuali Komunis dan Fasistis. Kedua hak milik dasar ilmu hukum perdata universal itu adalah ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) dan ‘hak milik agraria’ (dominiun utils). Hak milik ‘dominium directum’, diterjemahkan dalam hukum perdata NBW/KUHPInd dengan nama ‘Eigendomsrecht’ bagi kepemilikan pribadi/individual atas benda termasuk tanah, sebagai harta kekayaan ‘orang’ (corpus) yang menjadi warga Negara. Sementara hak milik ‘dominius ultis’, diterjemahkan menjadi ‘hak sewa pekarangan’ (Erpachtsrecht) untuk usaha agraria, bagi pemanfaatan dan penggunaan tanah sebagai benda bergerak, dalam ‘hubungan keagrariaan’ (agrarisch betrekkingen).
15. Kedua hak milik dasar hukum perdata di Indonesia, setelah VOC menaklukkan Jacatra (kini Jakarta) pada 1619 dan mengumumkan berlakunya ‘Tanah Milik Negeri Belanda’ (Landsdomein) pada 1620, maka ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) orang-orang Indonesia asli berdasarkan ‘Adat’, dihapus dan digantikan dengan hak milik ‘Eigendomsrecht’ Belanda. Akan tetapi, karena Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk usaha perkebunannya, maka ‘hak milik agraria’ Adat orang Indonesia, tetap diberlakukan dengan nama ‘hak usaha’ (erpachtsrecht), dimana pekerjanya disebut ‘bewerkers’ dengan bayaran upah yang sangat murah maka disebut ‘koelie’, namun terjemahan halusnya disebut ’penggarap tanah milik negeri/negara Belanda’. Setelah berlakunya Undang-Undang Agraria 1870, penegasan atas penghapusan ‘hak milik perdata kebendaan’ orang Indonesia dipertegas, dan kedudukan hak milik agraria orang Indonesia sebagai ‘penduduk asli’ (Inlanders) menjadi pekerja atau buruh (bewerkers) yang terjemahan halusnya disebut ‘penggarap’ tanah milik negera Belanda pun dipertegas juga. Jadi penggunaan istilah-istilah bahasa Hukum Agraria Indonesia yang masih digunakan hingga kini terhadap Rakyat/WNI di Indonesia, adalah warisan Hukum Agraria kolonial Belanda yang melanggar Hak-Hask Azasi WNI (HAWNI) yang juga bsama dengan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).
16. Setelah Indonesia merdeka, unsur Hukum Agraria (Agrarisch betrikkengen) yang mengatur ‘hak milik agraria’ (dominium utils) atas tanah sebagai benda bergerak (res nec mancipi-Lat) dalam NBW/KUHPInd ini dicabut dan dihapus oleh UU no.5/1960 (UUPA 1960). Akan tetapi unsur Hukum Pertanahan (Grondrecht) nya, yang mengatur hak keperdataan orang (corpus) atas tanah sebaqgai benda tetap (mancipi res-Lat) untuk dimiliki dengan ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) belum berhasil diganti dan dihapus. Karena itu, RUU Pertanahan haruslah dibuat secermat dan seakurat mungkin untuk menghidupkan kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) orang Indonesia asli yang dihapus Belanda, agar menjadi dasar Hukum Perdata Nasional Indonesia.
17. Perubahan paling mendasar yang perlu dilakukan Indonesia, adalah menghidupkan kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) Adat Indonesia, atas tanah warisan nenek moyang yang disebut ‘tanah milik leluhur’ (ancestral domain-Ingg, voorouders grond-Bld). Lembaga hak perdata Adat nenek moyang itu, dihapus dan diganti pemerintah Belanda dengan NBW/KUHPInd pada tahun 1620 hingga kini. Dengan berlakunya kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ nenek moyang orang Indonesia itu, maka kesalahan tafsir dan perbuatan hukum seperti ‘menjual’ pulau dalam wilayah Negara Indonesia, adalah perbuatan kejahatan pidana yang termasuk kriminal terhadap ‘harta kekayaan’ benda maupun non benda dari Rakyat Indonesia sebagai WNI. Demikian juga warisan tanah milik leluhur nenek moyang berupa hutan, termasuk semua kekayaan alamnya pun, tidak boleh diambil Negara maupun Swasta apalagi individu, tanpa pemutusan ‘hubungan keperdataan’-nya Rakyat/WNI sebagai ‘pemilik tanah sebenarnya’ (dominus) dengan hak milik ‘dominus directum et utils’. Pemutusan hubungan hak keperdataan itu haruslah melalui hubungan jual-beli tanah sebagai harta kekayaan benda tetap, antara Rakyat/WNI dengan Pemerintah dan pihak Swasta termasuk Investor. Pelanggaran atas hukum dan administrasi perbuatan hukum ini, merupakan kejahatan terhadap kekayaan Rakyat/WNI, karena melanggar HAWNI sehingga sama dengan pelanggaran HAM.
18. Berdasarkan pendapat analisis hukum pertanahan serta agraria dan politik hukum perdata Belanda di atas ini, maka RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PMHA), tidak relevan diatur dalam sistem hukum NKRI bahkan harus dihentikan dan dilarang dalam usaha tersebut dalam bentuk apapun. Sebab sumber ilmu hukum adat yang digunakan dalam RUU PHMA, adalah konsep dan definisi hukum adat buatan Nols Trenite bersama Thorbeck dalam buku mereka “Een Utrechstchboek over adatrecht” (sebuah buku hukum adatnya Universitas Utrecht). Tujuan politik hukumnya adalah, untuk menghapus adat dan hukum adatnya orang Indonesia bagi kelancaran dan keamanan penegakkan teori ‘hak milik agraria kebendaan negara Hindia Belanda’ yaitu ‘domeinverklaring’ di seluruh wilayah negara kolonial Hindia Belanda. Jadi sangat bertentangan langsung dengan filosofi dasar Berbangsa dan Bernegara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dalam NKRI. Maka penggunaan semua istilah bahasa hukum adat yang diperintahkan oleh Nols Trenite untuk menggunakan konsep dan definisi hukum adat perbuatannya dalam hukum dan perundang-undangan Indonesia masa kini, adalah inskonstitusional serta illegal, bagi pembinaan kehidupan Berbangsa dan Bernegara NKRI di Indonesia.
19. Demikian juga ilmu hukum adat-nya Van Vollenhoven serta sistem hukum adat dan hubungan keagrariaan adat Indonesia buatan Tee Haar untuk Indonesia, pun hanya layak digunakan dalam memperjuangkan pengakuan kasetaraan hukum adat dalam sistem hukum negara kolonial Hindia Belanda. Konsep dan definisi serta azas-azas, ajaran maupun teori hukum adatnya hanya layak digunakan untuk menegakkan kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) leluhur/nenek moyang orang Indonesia atas tanah warisan nenek moyangnya, yang dihapus dan diganti oleh pemerintah Belanda dan VOC sampai akhir Hindia Belanda. Karena itu para sarjana In donesia, berkewajiban moral dan hukum untuk menafsirkan serta menterjemahkan kembali secara kontemporer azas, ajaran dan mengembangkan teori ilmu Adat Indonesia baru yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
20. Untuk itu istilah ‘hukum adat’ dari para sarjana Belanda dan orang asing lainnya, harus diganti dengan satu kata saja yaitu Adat. Sebab kata adat dealam pemikiran suku-suku serta logika hukumnya orang Indonesia, sudah mencakupi adat kebiasaan, perilaku sosial, norma sopan santun, dan norma hukum. Maka Adatnya orang Indonesia, setelah kemerdekaan dengan dasar negara UUD 1945 dan Pancasila, harus diubah untuk menjadi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena rakyat bukan lagi ‘inlanders’ dan ‘penduduk asli’ (Inheemsch bevolking), melainkan Rakyat adalah Warga Negara Indonesia (Rakyat/WNI) berdasarkan pasal 26 ayat 1 UUD 1945. Jadi Adat Indonesia, harus dikembangkan dengan rumusan baru men jadi Hukum Nasional Indonesia dimana norma Adat yang bersifat ‘hukum’, tidak perlu dipisahkan menjadi ‘hukum adat’. Sebab norma yang bermakna hukum adalah Adat, sudah ditafsir dan diterjemahkan kembali menjadi lembaga hukum baru dalam Hukum Nasional Indonesia. Karena itu, ajaran dan lembaga sefrta konsep maupun definisi bahasa hukum dalam ilmu hukum adatnya Van Vollenhoven dan Tee Haar, hanya digunakan sebagai pedoman acuan konsep yang harus ditafsirkan kembali dan disesuaikan dengan Pancasila, UUD 1945, bagi kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam NKRI. Dengan demikian semua definisi peristilahan hukum adat seperti : ‘hukum adat’, ‘masarakat hukum adat’, ‘persekutuan adat’, ‘masarakat adat’, ‘penduduk asli’ dan sebagainya, tidak perlu lagi didefinisikan kembali untuk digunakan dalam perundang-undangan Indonesia. Sebab ‘persekutuan hukum’ (rechtsgemeenschappen), sudah melebur diri menjadi ‘masarakat politik’ Nasional yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. In ilah dasar pemikiran dan alasan utama mengapa RUU PMHA disertai sesuai definisi dan bahasa hukum adat yang dibuat dalam RUU itu, harus dihapus.
Bekasi, Oktober 2014.

Minggu, 07 Desember 2014

CONTOH PERNYATAAN TIDAK DALAM SENGKETA DAN MENGUASAI FISIK TANAH

SURAT PERNYATAAN


Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama                           :    …………………………………
Tempat / tanggal lahir :    …………………………………
Nomor KTP                :    …………………………………
Jenis kelamin               :    …………………………………
Pekerjaan                     :    …………………………………
Alamat                        :    …………………………………

Adalah pemilik tanah Letter C No. …………, Model E No. …….., Model D No. ……… Persil Nomor …………, Klas ……….., Luas …….. m2 ,
Berupa Tanah : ………

Yang terletak di Dusun           :   …………………………………
Desa/Kelurahan                      :   ....................................................
Kecamatan                              :   .....................................................
Kabupaten/Kota                      :   ....................................................

Menyatakan bahwa :

1.      Belum ada tanda bukti hak / sertipikat seperti yang dimaksud dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 PP.24 tahun 1997.
2.      Tanah tersebut tidak dalam sengketa / jaminan hutang.
3.      Telah memasang tugu / patok batas seperti yang dimaksud dalam pasal 22 ayat 1 PMNA / Kepala BPN nomor 3 tahun 1997.
4.      Telah memasang 2 (dua) titik ikat atau sudah ada 2 (dua) buah tugu / patok titik ikat.
5.      Apabila ternyata luas persil ukuran lebih kecil dari luas yang tertulis pada Letter C / Model D / Model E, kami menerima luas dari hasil ukuran petugas tersebut.
6.      Apabila luasnya ternyata lebih besar dari luas yang tertulis pada Letter C / Model D / Model E dan bilamana kelak di kemudian hari kelebihan luas tersebut ada pemilik yang sebenarnya dengan bukti-bukti yanag kuat, maka kami sanggup mengembalikan kepada pemilik tersebut.

Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, apabila tidak benar kami sanggup untuk mempertanggungjawabkan segala akibatnya.


Kota/Kab.,…………….

Yang membuat pernyataan


Materai Rp.6.000,-


…………………………………

Mengetahui dan menyetujui pemasangan tugu / patok batas :
1. …………
(                                           )
Pemilik sebelah utara.
2. …………
(                                           )
Pemilik sebelah timur
3. …………
(                                           )
Pemilik sebelah selatan
4. …………
(                                           )
Pemilik sebelah barat

Mengetahui

Kepala Desa / Lurah 




…………………………………