Rabu, 26 Februari 2014

PEMBERIAN HAK DAN PENGAKUAN HAK

Legalisasi / pensertipikatan hak atas tanah jika berasal dari tanah negara prosesnya melalui pemberian hak, namun jika bukti penguasaan&/pemilikannya dengan girik, letter C atau bukti penguasaan lainnya maka melalui pengakuan hak.

Selasa, 25 Februari 2014

CONTOH SURAT PERNYATAAN BEDA NAMA

SURAT PERNYATAAN



Yang bertanda tangan dibawah ini : -----------------------------------------

-   ( Pembuat Pernyataan ), lahir di Bumi, tanggal 00/00/000, umur  00 tahun, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan... Rukun Tetangga 00, Rukun Warga 00, Kelurahan/Desa , Kecamatan , Kota  , Provinsi . -------------------------------------

-   dalam hal ini bertindak selaku pemilik  atas sertipikat Hak Milik yang akan disebut di bawah ini. -------------------------------------



- Saya MENYATAKAN dengan sebenarnya dan sesungguhnya bahwa: -------------

1. Memiliki Sebidang tanah, yaitu Sertifikat Hak Milik Nomor: 00/Kelurahan/Desa , yang terletak di Provinsi , Kabupaten , Kecamatan , Kelurahan/Desa , diuraikan dalam Gambar Situasi tanggal 00-00-0000, Nomor : 00/00, seluas 000 M2, tercatat atas: XXX. -------------------------------------------------------------------------------------------------



2. Pada Kartu Tanda Penduduk Nomor Induk Kependudukan : --- 1000000000000000, atas nama ( Pembuat Pernyataan ), yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota/Kabupaten pada tanggal 00-00-0000. -------------------------



3. Berhubung dengan kekuranglengkapan pada penulisan nama saya  tersebut diatas maka : --------------------------------------------------

  • Bahwa nama saya yang sebenarnya adalah ( Pembuat Pernyataan ), tetapi dalam Sertifikat tertulis XXX; ------------------------------------------------
  • Bahwa saya menjamin sepenuhnya 2 (dua) nama yang  diuraikan di bawah ini adalah orang yang sama, yaitu ( Pembuat Pernyataan ) dan XXX; ------------------
  • Bahwa saya bertanggung jawab sepenuhnya dengan ini pernyataan ini. ----------------------------------------------------



Demikian SURAT PERNYATAAN ini kami buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.



                              Tempat lokasi penandatanganan, tanggal/bulan/tahun

Mengetahui oleh:                                                     Saya yang menyatakan,

Lurah/Kepala Desa tempat lokasi penandatanganan



                                

                                                                             
(__________________________)                                            ( Pembuat Pernyataan )

ULTRA PETITA artikel http://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/06/29/ultra-petita/

Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan ”salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). Di dalam hukum hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim ”tidak berbuat apa-apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasanya ditentukan para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.
Berbeda dengan peradilan perdata, hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengatur ultra petita. Objek perkara atau objectum litis di MK berbeda dengan peradilan perdata yang melindungi orang perorangan, sedangkan di MK lebih bersifat hukum publik, tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak kalah penting di luar para pihak, yaitu seluruh rakyat Indonesia. MK adalah penjaga dan penafsir konstitusi, serta penjaga demokrasi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara, sehingga karakter dan asas-asas yang berlaku berbeda dengan peradilan lain.
MK dalam putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang beberapa kali memutus melebihi permohonan. Pertimbangan MK pada pokoknya sebagai berikut: 1) Undang-undang yang diminta diuji merupakan “jantung” UU sehingga seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan; 2) praktik ultra petita oleh MK lazim di negara-negara lain; 3) perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata ultra petita diijinkan; 4) pengujian UU menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan hukum perdata (privat); 5) kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita tidak berlaku mutlak; 6) jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan (petitum); 7) permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak dimintakan putusan melebihi putusan. (Miftakhul Huda)
Sumber: Majalah Konstitusi BMK, No. 27-Maret 2009, hal. 63
Lebih jelasnya lihat tulisan penulis yang berjudul “”Ultra Petita” dalam Pengujian Undang-Undang” dalam Jurnal Konstitusi Vol 4 No.3 September 2007.

Rabu, 19 Februari 2014

DROIT DE SUITE = HAK TANGGUNGAN MELEKAT PADA TANAH MESKIPUN TERDAPAT PERALIHAN HAT

Hak tanggungan sebagai hak kebendaan, yang mana salah satu ciri hak kebendaan adalah hak tersebut mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda tersebut berada (droit de suite). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), yang berbunyi:“Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.”
Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Hak Tanggungan dikatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
Ini berarti pada dasarnya tidak menjadi masalah jika hak tanggungan tersebut dijual oleh si pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) kepada orang lain, karena hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah yang dijaminkan (dengan asumsi bahwa hak tanggungan tersebut telah didaftarkan ke Kantor Pertanahan sehingga hak tanggungan tersebut telah lahir).

Senin, 17 Februari 2014

PENYELUNDUPAN HUKUM ATAU TIDAK


Hukum Pertanahnan mengandung : Hukum benda, hukum keluarga, hukum agraria, hukum administrasi
Nominee (dipakai hanya sebatas nama) : perlu dilakukan pengecekan ada atau tidak perjanjian perkawinan, perikatan jual beli (orang asing tidak boleh memiliki SHM)
Pasal 21 ayat (3) UUPA Orang asing yang memiliki tanah HM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak dialihkan maka menjadi tanah negara.
Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai ---> dilakukan penurunan hak

Ciptakan kepastian hukum untuk perlindungan hukum.

Rabu, 12 Februari 2014

DALUARSA = LEWAT WAKTU



Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BAGIAN 3 Lewat Waktu Sebagai Suatu Alasan untuk Dibebaskan dari Suatu Kewajiban
Pasal 1967 Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.

Pasal 55 UU No. 5 tahun 1986
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Penjelasan Pasal 55 UU No. 5 tahun 1986
Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan :
a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.

Senin, 10 Februari 2014

ADMINISTRASI VS MAL ADMINISTRASI

Dalam menerbitkan sertipkat atas tanah hendaknya sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 jo. PMNA/Ka BPN No. 3 tahun 1997 sehingga diharapkan terhindar dari :
  • Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan asas legalitas;
  • Tidak berbuat sekehendak hati (Willekeur);
  • Tidak menyalahgunakan wewenang (De Tournement de Pouvoir).

Minggu, 09 Februari 2014

SANKSI KEPADA NOTARIS YANG MELANGGAR KETENTUAN

SANKSI dalam UU 2/2014 ada beberapa macam yaitu :

1. Sanksi administrasi terhadap akta notaris, yaitu : akta otentik jadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan.

2. Sanksi administrasi terhadap notaris, terdiri dari :
a) peringatan lisan s/d pemberhentian.
b) peringatan tertulis s/d pemberhentian.

3. Sanksi keperdataan terhadap notaris, terdiri dari :
a) denda bayar biaya.
b) denda ganti kerugian.
c) denda bayar bunga.

PEROLEHAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH

Sertipikat hak atas tanah diperoleh perseorangan atau badan hukum melalui 2 (dua) cara, yaitu:
Pertama, Penegasan Konversi. Pengertian dari konversi adalah perubahan status hak atas tanah dari hak atas tanah menurut hukum yang lama sebelum berlakunya UUPA menjadi hak atas tanah menurut UUPA.
Sertipikat hak atas tanah yang diperoleh melalui penegasan konversi, yaitu seseorang Warga Negara Indonesia yang mengajukan permohonan penegasan konversi dari hak atas tanah yang mana tunduk pada Hukum Adat atau tanah yasan yang bertanda bukti Petuk Pajak Bumi atau Landrente, Girik, Kekitir, Pipil, Verponding Indonesia, IPEDA, IREDA, atau Kutipan Letter C kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Dari proses permohonan penegasan konversi ini diterbitkan Sertipikat Hak Milik oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Kedua, Penetapan Pemerintah. Penetapan dari Pemerintah adalah keputusan yang diterbitkan oleh Kepala BPN Republik Indonesia atau pejabat BPN Republik Indonesia yang mana diberikan pelimpahan kewenangan dalam pemberian hak atas tanah.
Penetapan pemerintah akan diterbitkan karena permohonan pemberian hak atas tanah yang mana berasal dari tanah Negara oleh perseorangan atau badan hukum. Atas permohonan pemberian hak ini diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (yang selanjutnya disebut SKPH) oleh pihak Kepala BPN Republik Indonesia, atau pejabat dari BPN Republik Indonesia yang diberikan pelimpahan kewenangan dalam pemberian hak. Surat Keputusan Pemberian Hak ini merupakan suatu Penetapan Pemerintah. Hak penguasaan atas tanah yang diterbitkan dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan. SKPH tersebut wajib didaftarkan oleh pemohon pemberian hak, kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk diterbitkan sertipikat hak.

HAK & KEWAJIBAN PPAT

Urus sendiri sertipikat (tanda bukti hak) tanah Anda:

TUGAS/KEWAJIBAN PPAT/PPATS

Pasal 40
(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan.

Penjelasan
Pasal 40
Ayat (1)
Selaku pelaksana pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Ayat (2)
Kewajiban PPAT hanya sebatas menyampaikan akta dengan berkas-berkasnya kepada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan sertipikatnya menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri.


  • Pasal 32 ayat (1) PP No. 37/1998: Uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1 % (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.
  • Dalam PMNA / Ka BPN No. 3/97 yang pada intinya menyatakan Kewajiban PPAT menyampaiakan Aktanya kpd Kantah (Kantor Pertanahan setempat) disertai dokumen2 lainnya. Kantah Memberikan tanda terima atas penyerahan permohonan pendaftaran..... PPAT memberitahukan kpn penerima hak telah diserahkan permohonan pendaft. peralihan hak. Pengurusan penyelesaian dilakukan oleh penerima hak/PPAT/Pihak Lain..So....? 
  • Semua layanan via loket dg biaya sesuai tarif PP 13/2010, syarat & waktu sesuai SP&PP 1/2010; biaya sesuai PP 37/1998 Ps 32(1). Contoh: sertipikat tanah pengganti ya 40 hari maks selesai, biaya silakan dihhitung berapa utk pengumuman, Rp50.000 utk penerbitan, dst 

Kamis, 06 Februari 2014

ARTI PENTING PENUNDAAN/BLOKIR TERHADAP PERBUATAN HUKUM ADMINISTRASI DI BPN



Dengan tidak adanya penundaan atas perkara di PTUN Pontianak sesuai ketentuan UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 ttg Perubahan atas UU No 5 Tahun 1986 ttg PTUN Pasal 67, tidak menghalangi proses pemecahan. Berdasarkan Pasal 126 PMNA No. 3 Tahun 1997 yang intinya jika dilakukan blokir maka berlaku selama 30 hari.

Pasal 67 UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 ttg Perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(1) Gugatan tidak menunda atau mengahalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan tata Usaha
Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan,
sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam
gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketannya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usahan
Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan
mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Penjelasan Pasal 67 UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 ttg Perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Berbeda dengan hukum acara perdata maka dalam hukum acara Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang
mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap tuduhan penggugat
bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum.
Akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata
Usaha Negara itu harus dianggap menurut hukum.
Dan proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk
menguji apakah dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Negara
yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu selalu
menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, maka hukum acara Tata Usaha
Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan
anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum
diputuskan oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
tetap dianggap menurut hukum dapat dilaksanakan.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengaju-kan permohonan
agar selama proses berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
diperintahkan ditunda pelaksa-naannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan
penunda-an pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila :
a. terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita
penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi
kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut; atau
b. pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak ada sangkut
pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 126 dan Pasal 127
Pasal 126
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan jadikan obyek
di gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 127
(1) Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat atau penyidikan perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang bersangkutan.

Selasa, 04 Februari 2014

PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Masalah Eksekusi Paksa Putusan PTUN
Badan atau pejabat mana yang dapat melakukan upaya paksa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap?
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b4589488b718/lt5166b7f1159b7.jpg
Terima kasih atas pertanyaan menarik dari Anda.
Menarik karena pertanyaan ini sudah lama menjadi persoalan yang dibahas di lingkungan peradilan, termasuk saat Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung. Silakan baca artikel ‘MA Tak Bisa Intervensi Eksekusi Putusan’. Masalah ini juga sering dikaitkan dengan efektivitas Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) dalam proses penegakan hukum, seperti tertuang dalam artikel ‘PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum’.
Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendi Lotulung, pernah menuangkan ‘jawaban’ atas persoalan ini dalam tulisannya “Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan Problematikanya dalam Praktek”, dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia Indonesia, 1995).
Seperti yang Anda sebutkan dalam pertanyaan, hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Namun, tak semua pihak yang dikalahkan bersedia secara sukarela menjalankan putusan hakim. Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak hukum yang akan melaksanakan eksekusi putusan bisa meminta bantuan aparat keamanan.
Beda halnya dengan eksekusi putusan PTUN. Rozali Abdullah (2005: 98) tegas menyatakan dalam eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Istimewanya, Presiden selaku kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan PTUN.
Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa:
a.    Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234).
b.    Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.
c.    Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan fiktif negatif.
Pembentuk Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan secara sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat bergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat (Rozali Abdullah, 2005: 99).
Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa.
Mekanisme lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat media massa. Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan.
Sedangkan, mekanisme uang paksa yang disebut dalam Pasal 116 ayat (4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas. Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang dicantumkan dalam amar putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat. Setidaknya, masih menjadi pertanyaan apakah uang paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa yang harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan berapa besar uang paksa atau dwangsom yang dimungkinkan. Ini masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya perlu segera diatasi (Mahkamah Agung, 2007: 9).
Meskipun demikian, sebenarnya sanksi administratif, pengenaan uang paksa dan pengumuman di media massa tak perlu terjadi jika Badan/Pejabat TUN menjalankan putusan secara sukarela.
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah beberapa kali diubah, yakni melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Referensi:
Mahkamah Agung. Permasalahan dari Daerah dan Jawabannya Bidang Tata Usaha Negara. Bahan pada Rakernas Mahkamah Agung dan Jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Makassar, 2007.
R. Wiyono. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2005.