Selasa, 09 Desember 2014

TULISAN DARI BAPAK Bambang Sulistyo Widjanarko UNTUK MASUKAN DAN PENDAPAT

Dikutip dari Herman Soesangobeng dalam "Masukan dan Pendapat Untuk 1. Pebaikan dan Penyempurnaan RUU Pertanahan,
2. Pembentukan Kementerian Pertanahan RI,
3. Hapus RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PMHA),
4. Hidupkan dan Berlakukan Kembali "Hak Milik Perdata Kebendaan" Adat.
pada Ketua Tim Transisi Jokowi-JK, Ketua Komisi II DPR RI, Menteri Kemenkumham, Menteri Kemendagri, Menteri Kemenhut, Ka BPN RI, Menteri Kemensos, Para Ketua Partai dlsb. Dikutip pada bagian Pengantar point 14 sd 20 dari 31 point.
14. RUU Pertanahan, setelah disyahkan menjadi UU Pertanahan, bersama dengan UUPA 1960 akan menjadi HUKUM PERDATA NASIONAL INDONESIA. Undang-Undamg Pertanahan akan menjadi pengganti Nederlands Bugerlijk Wetboek (NBW). NBW itu, diberlakukan di Indonesia sejak 1838 oleh VOC, kemudian pada 1848 berdasarkan azas konkordosi diberlakukan kembali dengan nama Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia (KUHPInd), yang berlaku hanya terhadap warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia, orang Eropah dan orang Timur Asing yang sudah disamakan kedudukan sosialnya dengan orang Eropah. NBW/KUHPInd itu mengatur dua jenis hak milik dasar hukum perdata Belanda yang diadopsi dari ilmu Hukum Perdata Universal (Corpus Juris Civilis), dan dianut dalam semua Hukum Perdata negara-negara demokratis di dunia, kecuali Komunis dan Fasistis. Kedua hak milik dasar ilmu hukum perdata universal itu adalah ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) dan ‘hak milik agraria’ (dominiun utils). Hak milik ‘dominium directum’, diterjemahkan dalam hukum perdata NBW/KUHPInd dengan nama ‘Eigendomsrecht’ bagi kepemilikan pribadi/individual atas benda termasuk tanah, sebagai harta kekayaan ‘orang’ (corpus) yang menjadi warga Negara. Sementara hak milik ‘dominius ultis’, diterjemahkan menjadi ‘hak sewa pekarangan’ (Erpachtsrecht) untuk usaha agraria, bagi pemanfaatan dan penggunaan tanah sebagai benda bergerak, dalam ‘hubungan keagrariaan’ (agrarisch betrekkingen).
15. Kedua hak milik dasar hukum perdata di Indonesia, setelah VOC menaklukkan Jacatra (kini Jakarta) pada 1619 dan mengumumkan berlakunya ‘Tanah Milik Negeri Belanda’ (Landsdomein) pada 1620, maka ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) orang-orang Indonesia asli berdasarkan ‘Adat’, dihapus dan digantikan dengan hak milik ‘Eigendomsrecht’ Belanda. Akan tetapi, karena Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk usaha perkebunannya, maka ‘hak milik agraria’ Adat orang Indonesia, tetap diberlakukan dengan nama ‘hak usaha’ (erpachtsrecht), dimana pekerjanya disebut ‘bewerkers’ dengan bayaran upah yang sangat murah maka disebut ‘koelie’, namun terjemahan halusnya disebut ’penggarap tanah milik negeri/negara Belanda’. Setelah berlakunya Undang-Undang Agraria 1870, penegasan atas penghapusan ‘hak milik perdata kebendaan’ orang Indonesia dipertegas, dan kedudukan hak milik agraria orang Indonesia sebagai ‘penduduk asli’ (Inlanders) menjadi pekerja atau buruh (bewerkers) yang terjemahan halusnya disebut ‘penggarap’ tanah milik negera Belanda pun dipertegas juga. Jadi penggunaan istilah-istilah bahasa Hukum Agraria Indonesia yang masih digunakan hingga kini terhadap Rakyat/WNI di Indonesia, adalah warisan Hukum Agraria kolonial Belanda yang melanggar Hak-Hask Azasi WNI (HAWNI) yang juga bsama dengan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).
16. Setelah Indonesia merdeka, unsur Hukum Agraria (Agrarisch betrikkengen) yang mengatur ‘hak milik agraria’ (dominium utils) atas tanah sebagai benda bergerak (res nec mancipi-Lat) dalam NBW/KUHPInd ini dicabut dan dihapus oleh UU no.5/1960 (UUPA 1960). Akan tetapi unsur Hukum Pertanahan (Grondrecht) nya, yang mengatur hak keperdataan orang (corpus) atas tanah sebaqgai benda tetap (mancipi res-Lat) untuk dimiliki dengan ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) belum berhasil diganti dan dihapus. Karena itu, RUU Pertanahan haruslah dibuat secermat dan seakurat mungkin untuk menghidupkan kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) orang Indonesia asli yang dihapus Belanda, agar menjadi dasar Hukum Perdata Nasional Indonesia.
17. Perubahan paling mendasar yang perlu dilakukan Indonesia, adalah menghidupkan kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) Adat Indonesia, atas tanah warisan nenek moyang yang disebut ‘tanah milik leluhur’ (ancestral domain-Ingg, voorouders grond-Bld). Lembaga hak perdata Adat nenek moyang itu, dihapus dan diganti pemerintah Belanda dengan NBW/KUHPInd pada tahun 1620 hingga kini. Dengan berlakunya kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ nenek moyang orang Indonesia itu, maka kesalahan tafsir dan perbuatan hukum seperti ‘menjual’ pulau dalam wilayah Negara Indonesia, adalah perbuatan kejahatan pidana yang termasuk kriminal terhadap ‘harta kekayaan’ benda maupun non benda dari Rakyat Indonesia sebagai WNI. Demikian juga warisan tanah milik leluhur nenek moyang berupa hutan, termasuk semua kekayaan alamnya pun, tidak boleh diambil Negara maupun Swasta apalagi individu, tanpa pemutusan ‘hubungan keperdataan’-nya Rakyat/WNI sebagai ‘pemilik tanah sebenarnya’ (dominus) dengan hak milik ‘dominus directum et utils’. Pemutusan hubungan hak keperdataan itu haruslah melalui hubungan jual-beli tanah sebagai harta kekayaan benda tetap, antara Rakyat/WNI dengan Pemerintah dan pihak Swasta termasuk Investor. Pelanggaran atas hukum dan administrasi perbuatan hukum ini, merupakan kejahatan terhadap kekayaan Rakyat/WNI, karena melanggar HAWNI sehingga sama dengan pelanggaran HAM.
18. Berdasarkan pendapat analisis hukum pertanahan serta agraria dan politik hukum perdata Belanda di atas ini, maka RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PMHA), tidak relevan diatur dalam sistem hukum NKRI bahkan harus dihentikan dan dilarang dalam usaha tersebut dalam bentuk apapun. Sebab sumber ilmu hukum adat yang digunakan dalam RUU PHMA, adalah konsep dan definisi hukum adat buatan Nols Trenite bersama Thorbeck dalam buku mereka “Een Utrechstchboek over adatrecht” (sebuah buku hukum adatnya Universitas Utrecht). Tujuan politik hukumnya adalah, untuk menghapus adat dan hukum adatnya orang Indonesia bagi kelancaran dan keamanan penegakkan teori ‘hak milik agraria kebendaan negara Hindia Belanda’ yaitu ‘domeinverklaring’ di seluruh wilayah negara kolonial Hindia Belanda. Jadi sangat bertentangan langsung dengan filosofi dasar Berbangsa dan Bernegara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dalam NKRI. Maka penggunaan semua istilah bahasa hukum adat yang diperintahkan oleh Nols Trenite untuk menggunakan konsep dan definisi hukum adat perbuatannya dalam hukum dan perundang-undangan Indonesia masa kini, adalah inskonstitusional serta illegal, bagi pembinaan kehidupan Berbangsa dan Bernegara NKRI di Indonesia.
19. Demikian juga ilmu hukum adat-nya Van Vollenhoven serta sistem hukum adat dan hubungan keagrariaan adat Indonesia buatan Tee Haar untuk Indonesia, pun hanya layak digunakan dalam memperjuangkan pengakuan kasetaraan hukum adat dalam sistem hukum negara kolonial Hindia Belanda. Konsep dan definisi serta azas-azas, ajaran maupun teori hukum adatnya hanya layak digunakan untuk menegakkan kembali ‘hak milik perdata kebendaan’ (dominium directum) leluhur/nenek moyang orang Indonesia atas tanah warisan nenek moyangnya, yang dihapus dan diganti oleh pemerintah Belanda dan VOC sampai akhir Hindia Belanda. Karena itu para sarjana In donesia, berkewajiban moral dan hukum untuk menafsirkan serta menterjemahkan kembali secara kontemporer azas, ajaran dan mengembangkan teori ilmu Adat Indonesia baru yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
20. Untuk itu istilah ‘hukum adat’ dari para sarjana Belanda dan orang asing lainnya, harus diganti dengan satu kata saja yaitu Adat. Sebab kata adat dealam pemikiran suku-suku serta logika hukumnya orang Indonesia, sudah mencakupi adat kebiasaan, perilaku sosial, norma sopan santun, dan norma hukum. Maka Adatnya orang Indonesia, setelah kemerdekaan dengan dasar negara UUD 1945 dan Pancasila, harus diubah untuk menjadi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena rakyat bukan lagi ‘inlanders’ dan ‘penduduk asli’ (Inheemsch bevolking), melainkan Rakyat adalah Warga Negara Indonesia (Rakyat/WNI) berdasarkan pasal 26 ayat 1 UUD 1945. Jadi Adat Indonesia, harus dikembangkan dengan rumusan baru men jadi Hukum Nasional Indonesia dimana norma Adat yang bersifat ‘hukum’, tidak perlu dipisahkan menjadi ‘hukum adat’. Sebab norma yang bermakna hukum adalah Adat, sudah ditafsir dan diterjemahkan kembali menjadi lembaga hukum baru dalam Hukum Nasional Indonesia. Karena itu, ajaran dan lembaga sefrta konsep maupun definisi bahasa hukum dalam ilmu hukum adatnya Van Vollenhoven dan Tee Haar, hanya digunakan sebagai pedoman acuan konsep yang harus ditafsirkan kembali dan disesuaikan dengan Pancasila, UUD 1945, bagi kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam NKRI. Dengan demikian semua definisi peristilahan hukum adat seperti : ‘hukum adat’, ‘masarakat hukum adat’, ‘persekutuan adat’, ‘masarakat adat’, ‘penduduk asli’ dan sebagainya, tidak perlu lagi didefinisikan kembali untuk digunakan dalam perundang-undangan Indonesia. Sebab ‘persekutuan hukum’ (rechtsgemeenschappen), sudah melebur diri menjadi ‘masarakat politik’ Nasional yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. In ilah dasar pemikiran dan alasan utama mengapa RUU PMHA disertai sesuai definisi dan bahasa hukum adat yang dibuat dalam RUU itu, harus dihapus.
Bekasi, Oktober 2014.

Minggu, 07 Desember 2014

CONTOH PERNYATAAN TIDAK DALAM SENGKETA DAN MENGUASAI FISIK TANAH

SURAT PERNYATAAN


Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama                           :    …………………………………
Tempat / tanggal lahir :    …………………………………
Nomor KTP                :    …………………………………
Jenis kelamin               :    …………………………………
Pekerjaan                     :    …………………………………
Alamat                        :    …………………………………

Adalah pemilik tanah Letter C No. …………, Model E No. …….., Model D No. ……… Persil Nomor …………, Klas ……….., Luas …….. m2 ,
Berupa Tanah : ………

Yang terletak di Dusun           :   …………………………………
Desa/Kelurahan                      :   ....................................................
Kecamatan                              :   .....................................................
Kabupaten/Kota                      :   ....................................................

Menyatakan bahwa :

1.      Belum ada tanda bukti hak / sertipikat seperti yang dimaksud dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 PP.24 tahun 1997.
2.      Tanah tersebut tidak dalam sengketa / jaminan hutang.
3.      Telah memasang tugu / patok batas seperti yang dimaksud dalam pasal 22 ayat 1 PMNA / Kepala BPN nomor 3 tahun 1997.
4.      Telah memasang 2 (dua) titik ikat atau sudah ada 2 (dua) buah tugu / patok titik ikat.
5.      Apabila ternyata luas persil ukuran lebih kecil dari luas yang tertulis pada Letter C / Model D / Model E, kami menerima luas dari hasil ukuran petugas tersebut.
6.      Apabila luasnya ternyata lebih besar dari luas yang tertulis pada Letter C / Model D / Model E dan bilamana kelak di kemudian hari kelebihan luas tersebut ada pemilik yang sebenarnya dengan bukti-bukti yanag kuat, maka kami sanggup mengembalikan kepada pemilik tersebut.

Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, apabila tidak benar kami sanggup untuk mempertanggungjawabkan segala akibatnya.


Kota/Kab.,…………….

Yang membuat pernyataan


Materai Rp.6.000,-


…………………………………

Mengetahui dan menyetujui pemasangan tugu / patok batas :
1. …………
(                                           )
Pemilik sebelah utara.
2. …………
(                                           )
Pemilik sebelah timur
3. …………
(                                           )
Pemilik sebelah selatan
4. …………
(                                           )
Pemilik sebelah barat

Mengetahui

Kepala Desa / Lurah 




…………………………………

Senin, 06 Oktober 2014

SPIP Sistem Pengendalian Internal Pemerintah

Kepemimpinan dalam suatu organisasi pemerintah mampu melakukan pengendalian secara internal. Apabila dalam pelaksanaan organisasi pemerintah terdapat pelanggaran maka pimpinan bisa membina anak buah dengan menggunakan aturan yang telah disepakai dalam internal organisasi. Peran Wistle blower (peniup peluit) dalam pengawasan tindakan yang melanggar aturan/SPOP dengan perangkat sanksi perlu disiapkan. Pemimpin akan ditempatkan sebagai seseorang yang mampu untuk mengeksekusi terhadap pelanggaran yang ada. Tindakan pencegahan lebih diprioritaskan daripada proses penanganan sampai eksekusi secara litigasi.

MASYARAKAT ADAT DENGAN TANAH OBYEK PERMOHONAN HAK



  • ·  Masyarakat adat yang mengaku memiliki tanah diperlukan pengakuan dalam bentuk Perda dan sejalan dengan RTRW sesuai ketentuan dalam PMNA No. 5 Tahun 1999.
  • ·  Perlu ada kejelasan mengenai kepastian penguasaan fisik oleh masyarakat dan perusahaan atas tanah dimaksud.
  • ·  Atas permohonan HGU dapat dikabulkan jika memenuhi RTRW, tidak ada penguasaan pihak lain dan dapat diusahakan dengan baik.

KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA DAN UNSUR-UNSUR PIDANA

Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyalahgunaan kekuasaan dengan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu.
Alasan Pejabat Tata Usaha Negara melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dikarenakan masih dalam proses perkara perdata/TUN/pidana.
Unsur pidana yang masuk adalah pegawai negeri sipil yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya.

Selasa, 30 September 2014

Kementerian Pertanahan/Agraria Oleh: Ir. Bambang Sulistyo Widjanarko, MSP.

Kementerian Pertanahan/Agraria
Oleh: Ir. Bambang Sulistyo Widjanarko, MSP. **
JAKARTA, SACOM - Berita koran Kompas Rabu 10 September 2014 halaman depan tentang : “TANAH ADAT, Warga Dayak Benuaq Pun Mengadu kepada Leluhur”. Kejadian begini telah merebak di wilayah NKRI disebabkan masih bancinya hukum keperdataan tanah berdasarkan hukum adat belum diundangkannya sehingga masih berlaku dualisme hukum di Indonesia dan tergantung para penegak hukumnya menterjemahkan hukum yang masih berlaku, akhirnya rakyatlah yang menjadi korbannya. Dalam era globalisasi merupakan penjajahan dengan baju baru baik secara hukum dan ekonomi seyogyanya negara harus memproteksi rakyat dan asetnya juga secara hukum keperdataan tanah dengan membuat hukum pertanahan berdasarkan hukum adat.
Arti kata “TANAH” sebagai kata benda yaitu merupakan senyawa organik alam dan anorganik alam yang berwujud BUMI. Tanah ada yang dapat diraba dan ada yang hanya dapat dirasa. Tanah sebagai kata sifat hanya dapat dirasa yaitu berkaitan dengan ilmu hukum, dalam penggunaan dan pemanfaatannya mempunyai dua sifat, sebagai benda tetap berupa Hukum Pertanahan (NBW) dan sebagai benda bergerak berupa Hukum Agrarius (latin), hubungan persewaan berupa Agrariche Wet. Jadi tanah dalam pengertian hubungan hukum dan perbuatan hukum di sebut Pertanahan, bukan lagi tanah. Hukum Pertanahan (Groundrech) dan Hukum Agraria (Agrariche Betrekkingen), Land Law dan Agrarian Holding, keduanya dibedakan.
Jadi Hukum Pertanahan payungnya Hukum Agraria, jangan dibalik Hukum Agraria menjadi payungnya Hukum Pertanahan. Agrariche Wet dan Agrariche Besluit menjadi payung hukum keagrariaan negara kolonial Belanda melalui Domein Verklaring dan UU no 5 tahun 1960 yang dikenal dengan UUPA dibuat sebagai pengganti dari Agrariche Wet, hal ini tidak dikoreksi oleh Badan Legeslatif pembentuk UU no 5 tahun 1960 sehingga banyak sengketa menahun dibidang hubungan keagrariaan, karena WNI tidak merasa dipelakukan adil dan benar dalam setiap penyelesaiaannya.
Hak keperdataan rakyat sebagai WNI tidak dihargai dengan baik dan benar oleh para penegak hukum agraria Indonesia, sebab norma yang digunakan adalah norma hukum pertanahan NBW/KUHPInd yang tidak mengakui hak keperdataan pemilikan tanah orang-orang Indonesia asli (Bumi Putera) walaupun berdsarkan pasal 26 ayat 1 UUD 1945 mereka semua adalah WNI yang secara konstitusi memiliki Hak Azasi sebagai WNI untuk menjadi pemilik tanah sebenarnya.
Para penegak hukum agraria Indonesia (aparat BPN) sebenarnya secara tidak sadar justru menegakkan Hukum Agraria Kolonial Belanda dengan jiwa “domein verklaring” dari pada menegakkan filosofi Hukum Adat yang ditafsirkan kembali secara kontemporer sehingga sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dilain pihak pada Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 ditegaskan bahwa semua peraturan peundangan yang masih berbau kolonial belanda agar disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Pancasila serta akar budaya bangsa Indonesia.
Dari uraian hal tersebut diatas maka Urusan Pertanahan bersifat mengatur hukum dan berhubungan dengan kedaulatan negara (menyangkut batas tanah) karena wilayah NKRI adalah wilayah bekas jajahan kolonial Belanda maka tanah tidak bisa diotonomikan sehingga sudah selayaknya UU Otonomi Daerah disesuaikan kembali dan juga mencegah kesewenagan Bupati dalam memberi ijin lokasi di suatu tempat yang sama beberapa kali membuat potensi/menyulut terjadinya konflik agraria dan pertanahan., namun bila itu dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan bila ada penyimpangannya mudah diluruskan kembali sebagai aparat Pemerintah.
Kepemilikan tanah dari WNI bila tidak diproteksi maka dengan adanya saham global, WNI akan menjadi kuli dinegara sendiri.Bila dibuat UU Pertanahan berdasarkan Hukum Adat dalam keperdataan tanah makasebagai negara bangsa yang merdeka dan berdaulat, akan diperoleh beberapa layer kepemilikan tanah secara perdata dimana layer 1. Hak Milik Bangsa Indonesia, Layer 2. Hak Milik bersama masyarakat adat, Hak Milik Perorangan (WNI), Hak Milik Pemerintah (diperoleh dari ganti rugi) dan sisanya Hak Milik Bangsa dalam penguasaan Negara yang disebut dengan Tanah Negara (dikelola Pemerintah), Layer 3. Hak Pakai Badan Hukum, Perorangan WNA, Pemerintah bisa diberi diatas Hak Milik WNI, Hak Milik Bersama masyarakat adat, Pemerintah atau Tanah Negara dengan perjanjian sewa dalam waktu yang lama maupun bagi hasil sesuai penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Namun apabila penerima HaK Pakai (dengan akte kontrak sewa) menterlantarkan tanahnya makadengan sendirinya tanah tersebut kembali pada pemilik layer dibawahnya dan kontrak berakhir secara hukum. Dengan cara begini mencegah terjadinya tanah terlantar dan spekulasi tanah oleh mafia tanah serta kepemilikan tanah rakyat (WNI) akan terproteksi dalam era globalisasi dengan adanya saham global. Dalam pelaksanaannya memang harus ada masa transisi untuk penyesuaian HGU, HGB dan HP menjadi HP diatas HM dan HP diatas TN (Hak Milik Bangsa dikuasai Negara).
Maka kalau hanya dibentuk Kementerian Agraria jadinya jurusan Pertanahan akan masih dimana-mana dengan istilah lain bhukan tanah tetapi menjadi lahan, lapangan untuk hutan, ruang dlsb. Seyogyanya urusan tanah dalam artki hukum yaitu pertanahan digabung saja dengan agraria manajemennya menjadi Kementerian Pertanahan dan Agraria dan aparatnya menjadi Penegak Hukum Pertanahan dan Hukum Agraria.
Urusan Pertanahan seharusnya ada dalam satu lembaga bila telah ada UU Pertanahan berdasarkan hukum adat, sehingga Kementerian Kehutanan tidak lagi mengurusi tanah tetapi hanya tegakan pohon dan kehidupan biologi diantara tegakan dalam hutan cagar alam maupun hutan nasional maka akan menjadi Kementerian Perhutanan atau digabung dengan Kementerian Pertanian. Dengan adanya UU Desa dalam rangka mengamankan dan mengarahkan penggunaan APBN ke desa maka ada usulan untuk membentuk Kementerian Pedesaan dan Agraria oleh LSM, usulan tersebut baik bisa merupakan penguatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan penggabungan dengan Kementerian Daerah Tertinggal menjadi Kementerian Pembangunan Pedesaan. Kegiatan Agraria disatukan dengan Pertanahan agar pelaksanaan Reforma Agraria lebih berjalan dengan mulus karena langkah pertama dari Reforma Agraria adalah penataan aset tanah yang banyak berkaitan dengan hukum pertanahan.
Dalam melaksanakan kegiatan administrator tunggal soal tanah (dalam pengertian tanah adalah kulit bumi termasuk yang di atas dan di bawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaan tanahnya – UU no 5/1960) dan penataan Hukum Pertanahan serta operasionalisasinya, seyogyanya BPN ditingkatkan kelembagaannya digabung dengan Badan Informasi Geospasial (dhl Bakosurtanal) dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang menjadi Kementerian Pertanahan dan Agraria. BPN mempunyai kepanjang tangan di daerah sampai di Kabupaten/Kota tinggal menambah aparat di setiap Kecamatan untuk membina tertib administrasi pertanahan di desa/kelurahan dalam rangka mewujudkan catur tertib pertanahan dan pelaksanaan reforma agraria dalam rangka akses tanah di desa, harus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pembangunan Pedesaan dan Kementerian sektoral. Kementerian Pekerjaan Umum seyogyanya hanya mengurus konstruksi dan ruang bangunan bukan ruang dalam arti tanah sebagai mana definisi UU no 5/1960.
Sehubungan dengan UU yang membatasi jumlah kementerian hanya 34 maka Kementerian Olah Raga dan Kementerian Peranan Wanita dan Perlindungan Anak seyogyanya dikaji ulang sebagai mana beban tugasnya secara nasional yang tidak mempunyai kepanjangan tangan di daerah. Untuk Kementerian Olah Raga tetap ada atau digabung ke Kementerian Pendidikan Nasional sedangkan Kementerian Peranan Wanita dan Perlindungan Anak bisa tetap ada atau digabungkan pada Kementerian Kesehatan bila penekanannya pada bidang kesehatan, pada Kementerian Sosial bila penekanannya pada bidang sosial atau Kementerian Hukum dan HAM bila penekanannya pada bidang Hukum.
Demikian usulan kami sebagai pengamat pertanahan dan agraria juga merupakan pensiunan PNS BPN yang dulunya merupakan peninggkatan Ditjen Agraria sebagaimana alasan Bapak Moerdiono bahwa arti pertanahan lebih luas dari agraria sehingga Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan menjadi Badan Pertanahan Nasional.
** Bambang Sulistyo Widjanarko
Pengamat Pertanahan/Agraria
Pensiunan BPN RI (dulu Ditjen Agraria)
Pendiri LSM Makmur Mandiri Alam Lestari Semarang
Pembina Yayasan Obor Tani Semarang
Pembina Yayasan Ilmu Tani Semarang
S1 Peternakan Undip Semarang
S2 Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Bandung
Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNS Sala
Bambang S. Bambang Sulistyo Widjanarko....
***
Mohon ijin ke Bp BSW, ini bagus utk kita semua

Rabu, 17 September 2014

PENGADAAN TANAH OLEH BADAN HUKUM

UU No. 28 Tahun 2004 tentang perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentangYayasan dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk perkumpulan dalam melaksanakan kegiatan harus berstatus berbadan hukum dan memperoleh ijin lokasi oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan PMNA/Perkaban No. 2 Tahun 1999 jo. PMNA/Perkaban No. 9 Tahun 1999 dalam membebaskan tanah dari pemilik/penguasaan fisik penggarap dan benda-benda lainnya yang berada di atas tanah. Tinjauan luas tanah yang dibebaskan merujuk pada Perkaban No. 3 Tahun 2012.

Selasa, 16 September 2014

KAJIAN

Dalam melakukan analisa hukum terhadap permasalahan yang dihadapi perlu langkah tindakan sebagai berikut :
  1. Melakukan identifikasi sekaligus mengungkapkan fakta-fakta hukum dengan mengeliminasi hal-hal yang ditak relevan. Fakta hukum meliputu perbuatan, peristiwa dan keadaan.
  2. Menetapkan issue / masalah yang hendak dipecahkan.
  3. Dianalisa menggunakan sumber hukum yang relevan. Analisa hukum merupakan proses menafsirkan fakta-fakta hukum dikaitkan dengan sumber hukum yang relevan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
  4. Disimpulkan untuk mengambil tindakan hukum selanjutnya.

Rabu, 25 Juni 2014

Kajian kasus atas UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Hak Atas Tanah ---> diagunkan ---> wanprestasi ---> Lelang

Di sisi lain Hak Atas Tanah dibatalkan dan bukan lagi milik Debitur, bagaimana nasib Kreditur Preferent, Concruent atas pengembalian uang negara (jaminan ---> terkait Aspek Pidana)

Kajian kasus atas  UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Pembatalan karena tanah terlantar maupun perintah putusan pengadilan

Selasa, 24 Juni 2014

CONTOH : SURAT KETERANGAN AHLI WARIS



SURAT KETERANGAN AHLI WARIS
No....................

            Yang bertanda tangan di bawah ini, para ahli waris dari Almarhum/Almarhumah......selama ini menerangkan bahwa dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan sanggup diangkat sumpah bahwa ..............alm. tempat tinggal terakhir di jalan...........tepat pada tanggal .........tahun..... telah meninggal dunia sesuai surat keterangan kematian no.....tanggal.........
            Dari perkawian Alm............dengan Alm..........(istri) telah dilahirkan .......orang anak yaitu :

1. Nama           :
    No. KTP      :
    Jenis Kelamin:
    Agama         :
    Alamat         :
    Keterangan  : anak kandung/anak angkat
2.

            selain dari nama-nama di atas, tidak ada ahli waris lain.
Surat Keterangan Ahli Waris ini dibuat dihadapan 2 (dua) orang saksi yang turut menanda tangani yaitu :

1. Nama           :
    No. KTP      :
    Jenis Kelamin:
    Agama         :
    Alamat         :
    Hubungan dengan Ahli Waris/Pewaris         :
2.

            Demikian Surat Kuasa ini kami buat, dan apabila dikemudian hari ternyata keterangan kami tidak benar maka Surat Keterangan ini dapat dijadikan dasar penuntutan hukum baik secara pidana maupun perdata berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tempat, ttd dibuat
Kami Para Saksi :                                 Kami Para Ahli Waris :
1.                                                         1.
2.                                                         2.

Diketahui oleh Camat.........dan Lurah/Kepala Desa...... berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 bagian kelima Pasal 111 Angka (1) Huruf C.4
Register No.     :
Tanggal            :
Lurah/Kepala Desa

Rabu, 28 Mei 2014

Peraturan Presidium Kabinet No.5 /PRK/ 1965 = Peraturan VS Keppres No. 32 Tahun 1979


Peraturan Presidium Kabinet No.5 /PRK/ 1965 = Peraturan VS Keppres No. 32  Tahun 1979
Badan Hukum milik asing yang obyek ditinggalkan dari Indonesia (dalam Pasal 1) sebelum tahun 1960 dan tidak melaksanakan tata usahanya (pendaftaran)  vs Tidak melakukan konversi
Bahwa badan hukum tidak memenuhi syarat memiliki hak atas tanah (dalam Pasal 40 ) maka menjadi gugur/demi hukum batal.