Jumat, 10 Mei 2013

Materi Masalah Sengketa Batas Bidang Tanah Pak Tukino

PENDAHULUAN
 A. Sengketa ,konflik dan perkara pertanahan
  •  Tanah adalah permukaan bumi
  • Luas tanah tetap
Manusia yang membutuhkan tanah selalu bertambah
  • Tanah menjadi bernilai ekonomi yang cenderung meningkat terutama di perkotaan dan pusat-pusat pembangunan, harga tanah terus naik.
  • Dalam perkembangan sosial, tanah bukan saja sebagai tempat tinggal, faktor produksi, bahkan sebagai kebutuhan pemuas bagi sebagian orang dalam pola perilaku hidupnya.
  • Akibatnya tanah sering menjadi sumber sengketa, konflik yang berujung berperkara di pengadilan.
B. Faktor penyebab sengketa, konflik dan perkara pertanahan
  1. Struktur hukum pertanahan yang tumpang tindih
UU No. 5 th 1960 pada awalnya dirancang sebagai payung hukum bagi kebijaksanaan pertanahan nasional, namun menjadi tidak berfungsi dengan dikeluarkan perundang-undangan sektoral, yang mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah menjadi objek yang sama :
  • UU No. 5 th 1967 diperbarui UU No 41 Th 1999 tentang Kehutanan.
  • UU No 11 th 1967 tentang Pokok Pertambangan.
  • UU No 44 th 1960 tentang Pertambangan dan Gas Bumi
  • UU No 3 th 1972 diperbarui UU No 15 th 1997 tentang Transmigrasi
  • UU No 11 th 1974 tentang Pengairan
  • UU No 5 th 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 5 th 1979 tentang Pemerintahan Desa diperbarui UU No 22 th 1999 tentang Pemerintahan daerah yang berpasangan  dengan UU No 25 th 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
  • UU No 4 th 1982 diperbarui UU No 23 th 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • UU No 16 th 1985 tentang Rumah Susun
  • UU No 5 th 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
  • UU No 4 th 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
  • UU No 24 th 1992 tentang Penataan Ruang
  • UU No 41 th 2004 tentang Wakaf
  • UU tentang Perbendaharaan Negara, BUMN, BUMD khususnya mengenai asset tanah
  • Pengaturan mengenai Hak Pengelolaan
  1.  Akibat dari pelaksanaan perundang-undangan oleh Instansi Badan Pertanahan
Nasional RI antara lain:
  • Pelaksanaan ketentuan UU No 1 th 1958  tentang Penghapusan Tanah Partikelir mengenai pemberian ganti rugi yang tidak tuntas.
  • Pelanggaran terhadap ketentuan UU No 56 PrP th 1960 tentang Land Reform.
  • Pencaplokan tanah rakyat dalam pemberian HGU.
  • Implementasi pelaksanaan pembagian waris berdasarkan UU No 7 th 1989 yang diperbarui UU No 3 th 2006 tentang Peradilan Agama.
  • Pelasanaan Konsulidasi Tanah menurut Peraturan Kepala BPN No 4 th 1991 yang setengah hati.
  • Ekses tuntutan ganti kerugian atas pembebasan / pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan
  • Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 UUPA yang tidak konsisten
Tidak membuat peta dasar pendaftaran, pengukuran bidang-bidang tanah tidak ditindak lanjuti dengan perpetakan (pembuatan peta dasar) hasil ukur bidang tanah tidak dipetakan.
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota :
  • tidak pernah membuat peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran
  • pada suatu lokasi kelurahan menggunakan beberapa jenis peta
  • sertifikat tidak dilampiri surat ukur
  • Luas wilayah RI +/- 1.984.124 km2 terdiri +/- 80 juta bidang tanah, terbit seripikat +/- 28 juta sertipikat, antara 5 s/d 12 juta sertipikat melayang-layang tidak dapat didaratkan / dipastikan letaknya.
  • Akta peralihan dan pemindahan hak berpotensi konflik
  •  Pejabat BPN salah/ keliru atau sengaja melanggar dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan pertanahan.
  • Implementasi pelaksanaan UU No 1 th 1974 dan UU tentang Kewarganegaraan dalam hal objek Hak atas Tanah.
  1.  Faktor penyebab sengketa, konflik dan perkara pertanahan lainnya
  • Pelaksanaan hak Ulayat masyarakat hukum adat.
  • Penggarapan rakyat atas areal perkebunan, kehutanan dan pertambangan
  • Sengketa warisan, keperdataan, batas-batas bidang tanah, batas wilayah, dll
Peraturan Presiden RI No 10 th 2006 dibentuk BPN RI dengan kedeputian antara lain Deputi bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Mengadakan diklat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
I. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEGIATAN PENANGANAN DAN
PENYELESAIAN SENGKETA, KONFLIK DAN PERKARA PERTANAHAN
1. Pengertian : masalah, sengketa, konflik dan perkara pertanahan
  • Masalah pertanahan:
Sesuatu yang dapat menimbulkan pendapat / perselisihan / kepentingan yang berkaitan dengan tanah antara dua pihak atau lebih yang belum mendapat penyelesaian.
  • Sengketa Pertanahan :
Sesuatu perbedaan pendapat / perselisihan / kepentingan antara dua pihak atau lebih terhadap kepemilikan, penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, keputusan pemberian sesuatu hak atas tanah atau yang berkaitan dengan tanah.
  • Konflik Pertanahan :
Perbedaan pendapat / perselisihan / kepentingan antara kelompok dengan lembaga pemerintahan, kelompok dengan kelompok, atau antar lembaga pemerintahan (sektor dengan sektor) atas bidang tanah yang bernilai strategis atau tidak.
  • Perkara Pertanahan :
Perselisihan persengketaan pertanahan yang oleh para pihak diselesaikan melalui lembaga peradilan yaitu pengadilan umum / negeri (perdata, pidana), PengadilanTata Usaha Negara, Pengadilan Agama (gugatan pembagian harta bersama perkawinan dan pembagian waris bagi pemeluk agama islam dengan objek tanah)
2. Pengkajian
a. Kegiatan penelitian kasus-kasus dan hasil penanganan kasus-
kasus sebagai hasil studi untuk gagasan / pemikiran menyempurnakan peraturan
perundang-undangan.
b. Merumuskan langkah-langkah penyelesaian secara sistematis cara-cara untuk
memperkecil timbulnya sengketa dan konflik pertanahan setelah mengenali dan
meneliti hasil penanganan kasus-kasus yang ada.
3. Penanganan
a. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi kasus
b. Pengumpulan dan Pengolahan data, investigasi
c. Analisis dan pembahasan kasus
d. Upaya penyelesaian mediasi, konsultasi, fasilitasi, negosiasi, advokasi,supervisi,
asistensi, ADR ( Alternative Dispute Resolution)
e. Pengambilan keputusan
f. Menangani perkara di Pengadilan dan melaksanakan putusan pengadilan
g. Evaluasi :
- Pemetaan akar masalah
- Perumusan kebijakan
II. Ruang Lingkup kegiatan penanganan dan penyelesaian
MASALAH, SENGKETA, KONFLIK DAN PERKARA PERTANAHAN
Tugas dan fungsi Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI No 3 th 2006 :
a. Merumuskan kebijaksanaan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa
dan konflik pertanahan
b. pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa dan konflik
pertanahan
c. penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum
d. penanganan perkara pertanahan
e. pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan
melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya.
f. pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan uang berkaitan dengan pertanahan
g. penyiapan, pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan / atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
TUJUAN :
- Jangka Pendek :
  • Menangani dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan yang bersifat strategis dan menjadi atensi masyarakat
- Jangka Panjang :
  • Terciptanya penyeragaman pola penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan di tingkat pusat dan daerah dengan sistematis, komprehensif, berkelanjutan dan partisipatif  dengan melakukan pengkajian ;
  • Teridentifikasinya akar permasalahan yang cemat dan menetapakan pola penanganan dan penyelesaian konflik yang tepat sehingga mencegah konflik-konflik baru dan mencegah konflik-konflik yang berdimensi social, ekonomi, budaya, politik dan keamanan Negara.
SASARAN :
- Tercapainya penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan atau mengurangi/
meminimalisir terjadinya sengketa/ konflik pertanahan
- Tersusunnya pola (prosedur dan tata cara) penanganan dan penyelesaian sengketa/
konflik pertanahan.
II. PERATURAN PERTANAHAN YANG MENGANDUNG KETENTUAN PIDANA
A. Ketentuan Pidana dalam UUPA
Pasal 52
Ayat (1): Barang siapa dengan melanggar ketentuan dalam pasal 15, dipidana dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tinggi
nya Rp. 10.000 ,-
Ayat (2): Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang dimaksud
dalam pasal 15, 22, 24, 26 ayat (1), 46, 47, 48, 49 ayat (3) dan ayat (2) dapat
memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukum-
an kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya
Rp. 10.000,-
Pasal 15
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan serta mencegah kerusakannya
adalah kewajiban tiap-tiap masyarakat, badan hukum, atau instansi-instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhtikan pihak yang
Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan ( pelaksanaan dari pasal-pasal yang dimaksud dalam pasal 52 ayat (2) ) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturan selama-lamanya 3 bulan :
Pasal 19 tentang  Pendaftaran Tanah (PP 10 th 1961, PP 24 th 1997)
Pasal 22 tentang terjadinya hak milik.
Pasal 26 ayat (1) tentang pemindahan hak milik.
Pasal 46 tentang Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan.
Pasal 47 tentang Hak Guna Air, pemelihara dan penangkapan ikan.
Pasal 48 tentang Hak Guna Ruang Angkasa.
Pasal 49 ayat (3) tentang Hak atas tanah untuk keperluan suci atau sosial ( perwakafan tanah milik)
Pasal 50 ayat (2) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai HGU, HGB, Hak pakai dan hak sewa untuk bangunan ( PP No 40 th 1996)
B. Peraturan yang mengandung ketentuan pidana di bidang pengaturan dan penguasaan
serta penggunaan dan pemanfaatan tanah
     1. PP No 18 th 1958 tentang Pelaksanaan UU Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
Pasal 12 :
Dipidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 3000,- :
a. Bekas pemilik atau wakil / kuasanya atau pengurus sesuatu bekas tanah partikelir
yang :
1. tidak memenuhi kewajiban bermaksud dalam pasal 3 atau
2. didalam menjalankan kewajibannya selaku pengurus sesuatu bekas tanah
partikelir meninggalkan kewajibannya tanpa ijin Menteri Agama atau Pejabat
yang ditunjukkannya atau melakukan suatu kecurangan, satu dan lain dengan
tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana lainnya yang lebih berat.
b. Mempersulit, merintangi atau menentang pelaksanaan likuidasi sesuatu tanah
partikelir.
2. UU  No 56 Prp th 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Maksimum
Pasal 10 :
Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-
a. Melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 4, jika terjadi tindak pidana,
pemindahan  hak itu batal karena hukum tanah ybs menjadi tanah Negara tanpa
menuntut ganti rugi.
b. Tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6, dan 7 ayat (1)
c. Melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1) atau tidak melaksana-
kan kewajiban tersebut pada pasal 9 ayat (2).
3.  PP No 224 th 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian
Pasal 19
Ayat (1) :
Pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan
tanah oleh pemerintah dan pembagiannya sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2)
dipidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 10.000,- tanahnya diambil oleh Pemerintah tanpa pemberian ganti kerugian.
Ayat (2) :
Barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi terlaksananya PP ini dipidana kurungan
3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-
4. Undang-Undang No 51 Prp Th 1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
Pasal 6. Ayat (1) :
Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan /atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 5000,- :
a. memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasa yang sah.
b. mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam menggunakan haknya atas
suatu bidang tanah
c. menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk
memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah atau sub b ayat (1) pasal ini.
d. memberi bantuan dengan cara apapun untuk memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau
kuasanya yang sah atau sub b ayat (1) pasal ini.
5. Undang-Undang No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
Pasal 36 ayat (1) :
Dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 24, pasal 26 ayat (1)
dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya
Rp. 100.000.000,-
Ayat (3)
Karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan dalam pasal 7 ayat (1),
Pasal 24 dan pasal 26 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan /atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,-
6. Undang-Undang No 41 th 2004 tentang Wakaf
Pasal 67
Ayat (1) :
Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, mengakibatnya, menjual, mewariskan,
mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa ijin memakai harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
Ayat (2) :
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf  tanpa ijin
sebagaimana dimaksud pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,-
C. Peraturan yang mengandung ketentuan pidana di bidang survey, pengukuran dan pemetaan.
PP No 24 th 1997 dan PMNA/ KBPN No 3 th 1997
tidak mengatur ketentuan pidana
  • Pasal 62 dan Pasal 63 PP 24 th 1997
- Pasal 62
mengatur sanksi administrasi kepada PPAT dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan
pasal 38, 39 dan pasal 40
- Pasal 63
mengatur sanksi administratif kepada Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan
tugasnya mengabaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaan-
nya.
  • Pelaksanaan kegiatan pengukuran berpotensi pidana
- Petugas ukur dalam melaksanakan pengukuran tidak ada surat tugas
- Pemasangan tenda batas oleh sepihak / belum ada persetujuan pemilik tanah yang berbatasan
- Penunjuk batas bukan pemilik / kuasanya yang sah
- Belum ada persetujuan mengenai batas-batas tanah ( contradictoire delimitatie )
- Pemalsuan tanda tangan persetujuan letak batas-batas tanah.
D. Peraturan yang mengandung ketentuan pidana di bidang Pengaturan dan Penetapan Hak dan
Pendaftaran Tanah.
1. UU No 16 th 1985 tentag Rumah Susun
Pasal 21
Ayat (1) :
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 6, 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat
(1) adalah kejahatan.
Ayat (2) :
Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
Ayat (3) :
Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6, 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (1) diancam pidana kurungan selama
1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-
PP No 48 th 1988 tentang Rumah Susun,
Pasal 77
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 30, 31, 35 ayat (2) dan (3), 38 ayat (2), 39 ayat (1), 61 ayat (2) dan (3) dan pasal 67 diancam pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-
  1.  UU No 4 th 1996 tentang Hak Tanggungan
Pasal 23 ( Sanksi Administratif)
Ayat (1)
Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1), 13 ayat (2) dan pasal 15 ayat (1) undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan
b. teguran tertulis
c. pemberhentian sementara dari jabatan
d. pemberhentian dari jabatan
Ayat (2)
Pejabat  yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (4), 16 ayat (4), dan pasal 22 ayat (8) undang-undang ini dan/atau peraturang pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi sanksi yang dapat dikenakan menurut perundang-undangan lain yang berlaku.
  1.  PMNA/KPBN No 3 Th 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian  dan pembatalan
Keputusan pemberian tanah atas tanah Negara.
  • tidak mengatur ketentuan pidana tetapi pada pelaksanaannya dapat berpotensi pidana.
  • Pasal 16
Ayat (2)
Pemegang pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dilarang dengan sengaja memecah bidang tanah yang telah siap untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada seseorang atau badan hukum dengan maksud agar penetapan pemberian hak tersebut dapat diterbitkan olehnya menurut ketentuan pelimpahan kewenangan dalam peraturan ini.
Ayat (3)
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenai sanksi disiplin pegawai sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (4)
Penetapan pemberian hak yang diterbitkan dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengandung cacad hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 12
Ayat (5)
Pemegang pelimpahan kewenangan bertanggung jawab secara pribadi mengenai kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain sebagai akibat penetapan hak atas tanah yang telah diterbitkan olehnya dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  1.  UU No 20 th 2000 tentang BPHTB
  • tidak mengatur ketentuan pidana, mengatur sanksi kepada pejabat: PPAT/ Notaris, BPN, Kepala Kantor Lelang
  • Pasal 26 UU No 20 th 2000
-         PPAT / Notaris dan Pejabat Lelang Negara dikenakan sanksi administrasi dan denda Rp. 7.500.000,- untuk setiap pelanggaran: pasal 24 ayat (1) dan (2) menandatangani akta pemindahan hak/lelang Wajib Pajak tidak menyerahkan Surat Setoran BPHTB
-         PPAT / Notaris dikenakan sanksi administrasi dan denda Rp. 250.000,- yang melanggar ketentuan pasal 25 ayat (1) untuk setiap laporan. ( keterlambatan penyampaian laporan bulanan )
-         Pejabat BPN yang berwenang menanda tangani dan menerbitkan Surat Keputusan pemberian hak dikenakan sanksi menurut perundang-undangan yang berlaku jika melanggar pasal 24 ayat (2), menanda tangani dan menerbitkan Surat Keputusan pemberian hak atas tanah yang wajib pajak tidak menyerahkan Bukti Surat Setoran (BPHTB)
-         Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota yang melanggar ketentuan pasal 24 ayat (3) dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  • Pejabat Kantor Pertanahan                  peralihan hak karena waris atau hibah wasiat, wajib pajak
  • tidak menyerahkan bukti Surat Setoran BPHTB
III. JENIS-JENIS SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN
A. SENGKETA JURIDIS
  • Aspek sengketa pertanahan pada umumnya :
- belum bersertifikat
- dalam proses seritifikasi
- telah bersertifikat
  • Aspek pelaku sengketa
- sengketa antara pihak BPN tidak dilibatkan
- sengketa antara pihak BPN dilibatkan
  • Sengketa yuridis bermula dari pengaduan sepihak (orang/badan) mengenai keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya, yang dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai peraturan yang berlaku.
  • Tujuannya berujung pada tuntutan bahwa pengadu adalah yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah sengketa
  •  Jenis-jenis sengketa yuridis antara lain :
  1.   mengenai status tanahnya, tanah milik adat, tanah Negara, tanah hak : hak apa
  2.   keabsahan sesuatu hak / alas hak
  3.   pemberian hak atas tanah
  4.   pemegang haknya
  5.   pendaftaran haknya, penerbitan sertifikatnya
  6.   peralihan/pemindahan haknya
  7.   hak yang membebani : Hak atas tanah, Hak Tanggungan
  8.   pembatalan haknya
  9.   pencabutan haknya
10.  penerbitan sertifikat pengganti
11.  mengenai alat-alat pembuktian adanya hak
12.  perpanjangan hak atas tanah
B. SENGKETA FISIK
Jenis-jenis sengketa Fisik anatar lain:
  1. sengketa batas bidang tanah dan batas wilayah
  2. sengketa luas bidang tanah
  3. overlaping / tumpang tindih hak
  4. sengketa letak pasal / bidang tanah
  5. sengketa lokasi dan penetapan luasnya
  6. sengketa penguasaan fisik
  7. mengenai pengosongan tanah
  8. penguasaan tanah secara illegal
C. SENGKETA LANDREFORM
1. Redistribusi tanah
Penerima pembagian tanah tidak memenuhi kewajibannya antara lan :
  • membayar sewa harga tanah (pasal 8 dan 9 PP 224/1961)
  • mendaftarkan hak atas tanah yang diterimanya
  • mengalihkan tanah yang telah diterima kepada pihak lain sebelum atau sesudah kewajiban- kewajibannya dipenuhi (“oper garapan”)
  • penambahan daftar nama penerima dalam SK Redistribusi tariff ( kolektif )
  • dua nama penerima atas bidang tanah yang sama (SK dobel)
2. Ganti rugi objek Landreform
Nilai ganti kerugian :
  • bekas pemilik tanah menginginkan ganti rugi dengan harga umum saat ini, sedangkan pemerintah (BPN) masih menggunakan rumusan perundang-undangan yang diterbitkan pada waktu yang lalu, karena keterbatasan anggaran.
  • Orang yang berhak menerima ganti rugi : bekas pemilik tanah sudah meninggal, banyak yang mengaku sebagai ahli warisnya.
3. Reclaiming
  • Tuntutan masyarakat hukum adat atas tanah rakyatnya :
- merasa belum menerima ganti rugi
- dalam hal ini diberikan recognitie, seperti pembangunan sekolah, puskesmas dan fasilitas
lainnya
  • Tuntutan bekas penerima pembagian tanah yang tanahnya dikuasai pihak lain
- Penerima pembagian tanah meninggalkan tanah yang diterima karena sikon politik th 1965
tanahnya dikuasai pihak lain. Setelah sikon politik berubah, penerima pembagian tanah atau
ahli warisnya menuntut kembali tanah tersebut atas dasar SIM atau SK Kinag yang dimiliki
nya.
4. Okupasi Liar
  • Pendudukan tanah kehutanan
- tanah kehutanan yang telah diduduki masyarakat selama bertahun-tahun dan telah menjadi
perkampungan, minta dilegalkan, dimohonkan sertifikat
- pihak kehutanan tetap mengklaim tanah tersebut masuk dalam “hutan register”
  • Pendudukan tanah perkebunan
- terhadap tanah HGB yang telah berakhir atau belum, milik pemerintah (PTPN) atau milik
swasta, baik masih produktif maupun yang diindikasikan diterlantarkan.
5. Konsolidasi tanah
  • Kesalahan desain tata letak
    - setelah dikonsolidasi, objek pembagian terlalu jauh dengan letak tanah semula, peserta
menjadi tidak puas
  • Penguasaan kembali tanah-tanah yang telah diserahkan untuk STUP (Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan) atau prasarana
- tanah yang diperuntukan pembangunan atau prasarana tidak segera dmanfaatkan. Tanah
dikuasai kembali oleh peserta konsolidasi
  • Ada peserta konsolidasi tidak menerima hasil tanah yang telah dikonsolidasi
  • Prosedur konsolidasi tidak sesuai peraturan yang berlaku.
Dasar hukum
- Keputusan bupati atau walikota mengenai penetapan lokasi objek konsolidasi
- sesuai peraturan KPBN No 4 th 1991 pasal 1 angka 3 dan pasal 8, tanah objek konsolidasi
ditegaskan oleh Kepala BPN
D. SENGKETA PENATAGUNAAN TANAH
  •  PP No. 16 th 2004 tentang Penatagunaan tanah
- pelaksanaan pasal 16 ayat (2) UU No 24 th 1992 tentang Penataan Ruang
  • Sengketa Rencana Pengunaan tanah dan Peruntukan Tanah (Rencana tata ruang wilayah)
- Penetapan RT / RW Kabupaten/ Kota terhadap suatu kawasan tertentu berbeda / tidak sesuai
dengan RT/RW propinsi
  • Ketidak sesuaian penggunaan tanah dengan jenis/ sifat hak atas tanah.
Artinya wujud kegiatan pengguanaan tanah seharusnya sesuai dengan hak yang melihat atas tanah itu.
Contoh tidak sesuai : lokasi industri di lokasi tanah pertanian.
  • Pelanggaran ketentuan dan prosedur perijinan/ penyediaan tanah.
E. SENGKETA PENGADILAN
1. Sengketa Pengadilan terdiri dari :
a. Sengketa perdata di Pengadilan umum/negeri, BPN tidak atau menjadi para pihak (Tergugat
atau Turut Tergugat)
b. Sengketa Tata usaha Negara, BPN menjadi tergugat.
c. Sengketa / perkara pidana, pejabat/pegawai BPN jadi :
- saksi biasa
- saksi ahli
- terdakwa
  • Untuk beracara di pengadilan jika mewakili dilengkapi lembaga, dengan surat kuasa dari pejabat yang berwenang
2. Sengketa pelaksanaan putusan pengadilan :
  • Amarnya tidak jelas
  • Ada dua atau tiga putusan pengadilan yang amarnya berbeda atas objek perkara bidang tanah yang sama.
  • Ada dua putusan badan peradilan ( pengadilan perdata/umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara ) atas asal objek yang sama (sertifikat) dengan putusan yang berbeda.
F. KONFLIK LEMBAGA, KELOMPOK MASYARAKAT DAN BADAN HUKUM
1. Konflik antar lembaga
  • Tarik menarik kekuasaan asset pemerintahan pusat yang ada di daerah berkaitan dengan otonomi daerah.
  • Pengadaan tanah / pembebasan tanah
- penetapan nilai / harga ganti kerugian
- semula untuk kepentingan umum, berubah menjadi kepentingan bisnis
  • Pengaturan tanah-tanah terlantar
  • Okupasi (pendudukan) ABRI
  • Tanah PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI)
  • Tanah Instansi Pemerintah
2. Konflik antar Kelompok Masyarakat
  • Pendudukan tanah-tanah yang dikuasai kelompok tertentu ( sampit-poso )
  • Pendudukan tanah dan/atau tuntutan ganti rugi masyarakat atas tanah yang telah dibebaskan (lokasi pangkalan terbang di Mataram (NTB)
  • Reclaiming Kelompok Masyarakat hukum adat yang  berkaitan dengan klaim sebagai Tanah Wayat
  • Penguasaan terhadap tanah yang sudah ada hak
  • Tanah garapan
3. Konflik antar Kelompok Masyarakat dengab Badan hukum
  • pendudukan masyarakat atas tanah ex HGU perkebunan
  • pendudukan sepihak oleh masyarakat di areal tanah kehutanan
  • tanah ex Transmigrasi
  • tanah ex Nasionalisasi
  • ex tanah milik Belanda perorangan / badan hukum
  • bekas tanah Surapraja
  • bekas hak barat, BKMC (Milik Cina)
  • tanah garapan turun temurun yang diambil alih dan dijadikan lahan perkebunan
  • pengalihan atau tukar menukar, pelepasan tanah desa menjadi Kantor Instansi / Kelurahan
  • dll
IV.   TAHAPAN PENANGANAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA/KONFLIK
PERTANAHAN
1. Pengaduan :
a. Kepastian pelayanan
-      proses / prosedur
-      lama waktu / jangka waktu
-      biaya
-      hasil / produk (kepastian hukum)
b. Masalah, sengkeTa / konflik / perkara
-      perilaku Pegawai BPN dalam melaksanakan tugas / jabatannya
-      hasil / produk administrasi BPN
-      keperdataan
-      tata usaha Negara
-      pelaksanaan jabatan PPAT
-      dan lain-lain
2. Identifikasi kasus
-      objek kasus
-      kompetensi / kewenangan BPN atau bukan
-      identitas pengadu (ybs atau kuasa)
-      hubungan hukum pengadu dengan objek
-      legalitas hubungan hukum
-      pokok masalah dan akar masalah
-      kelengkapan dokumen
-      dan lain-lain
Pengolahan data dengan pendalaman / analisa, pembahasan dan upaya penyelesaian
-      aspek hukum
-      aspek administrasi
-      aspek fisik
-      aspek politik, ekonomi, budaya
-      perlu data / dokumen tambahan dari
-         pengadu                 - Kantor pertanahan
-         Kanwil BPN
-      perlu data spasial
-         penelitian lapangan        - peta bidang
-         pengembalian batas        - penguasaan fisik
3. Investigasi
Investigasi adalah penelitian / pemerikasaan yang dilakukan dengan cara pengumpulan data di lapangan
Antara lain mengenai :
-      subjek dan objek
-      dokumen yang ada di Kantor Pertanahan / Kanwil
-      para pihak, pihak ketiga, Kantor Lurah / Desa, Kantor Kecamatan dan Kantor lembaga pemerintahan lainnya.
-      keadaan fisik tanah
-         letak, batas
-         benda-benda diatasnya
-         penggunaan atau pemanfaatan
-         subjek yang mengenai fisik
- pemilik, penyewa
- pendudukan illegal
- sejak kapan
-      wawancara formal / informal yang berkaitan dengan kasus yang ditangani dengan:
-         pengadu, pihak lain / lawan
-         Pejabat desa / Kelurahan, Camat, dll
-         yang berkepentingan terhadap objek
  • Dari investigasi ini hasilnya untuk melengkapi data mengenai kasus, sehingga kasus posisinya menjadi jelas, sangat membantu dalam pengambilan keputusan / penyelesaian dengan tepat / benar.
  1. Mediasi
  • Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
  • Proses penyelesaian masalah melalui negosiasi dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral.
  • Alternatif penyelesaian adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli ( Pasal 1 angka 10 UU No 31 th 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa )
  • Tipe Mediator
a. Mediator Jaring Sosial ( Social Network Mediator )
-         Tokoh-tokoh masyarakat / informal misalnya : ulama atau tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dll.
-         biasanya mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat.
-         penyelesaian sengketa didasari nilai-nilai sosial yang berlaku : nilai keagamaan / religi, adat kebiasaan, sopan santun, moral, dsb.
b. Mediator sebagai Pejabat yang berwenang ( Authoritative Mediator )
-   Tokoh formal, Pejabat-Pejabat yang mempunyai kompetensi dibidang sengketa yang
ditangani.
-         disyaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan sengketa yang ditangani.
c. Mediator Independen ( Independent Mediator )
-   Mediator professional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi utk
melakukan negosiasi-negosiasi dalam proses mediasi
-         Konsultan hukum, pengacara, arbiter
  •  Mediator tidak memihak, tidak mempengaruhi para pihak dalam proses negosiasi, memfasilitasi agar para pihak dapat menciptakan solusi penyelesaian sengketa terbaik, tidak boleh melanggar undang-undang. Dalam batas-batas tertentu mediator dapat mempengaruhi opsi yang ditawarkan serta negosiasinya agar kesepakatan yang dicapai dapat dilaksanakan secara efektif.
  •  Mekanisme Pelaksanaan Mediasi
1. Penelitian Masalah
-      untuk mengetahui relevansi permasalahan yang diadakan
-      kompetensi pihak pengadu terhadap objek masalah yang diadukan
-      meneliti substansi pokok permasalahan dan duduk permasalahannya, untuk menentukan apakah sengketa tersebut dapat ditindak lanjuti penyelesaiannya oleh BPN.
2. Kompetensi Para Pihak
-         Terlebih dulu perlu diteliti kewenangan para pihak terhadap objek bersengketa, karena para pihak dapat berbuat bebas terhadap miliknya. Maksudnya agar putusan mediasi dapat dilaksanakan secara sukarela dan tidak ada keberatan lagi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.
-         hubungan para pihak terhadap objek sengketa sebagai pemilik atau kuasanya, teliti identitasnya.
-         Apabila diwakili oleh kuasnya, teliti kewenangan yang diberikan kepada penerima kuasa dalam surat kuasanya.
3. Musyawarah
Setelah diketahui pokok masalah dan duduk masalah, mediator/BPN dapat mengambil
prakarsa untuk mempertemukan kedua belah pihak, tujuannya
  • klarifikasi data yang ada pada masing-masing pihak
  • mengupayakan perdamaian
  •  Kehadiran para pihak diperlukan, karena mereka yang berkepentingan langsung terhadap penyelesaian sengketa yang dihadapi, menggali kepentingan, memberikan opsi-opsi dan melakukan negosiasi, kehadirannya akan memperlancar mediasi.
  • Kehadiran pejabat kanwil BPN atau Kantor Pertanahan setempat diperlukan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan sengketa tersebut, baru dilakukan musyawarah dalam rangka penyelesaian sengketanya.
  • Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya mediasi
a. Hubungan personal antar pihak
  • Untuk melakukan mediasi / negosiasi perlu diupayakan hubungan personal yang harmonis antara dua belah pihak.
  • Terlaksananya mediasi harus berdasarkan keinginan secara sukarela, suasana kondusif dilakukan negosiasi mediator punya andil yang besar bagi terciptanya suasana kondusif.
  • Mediator harus dapat mengatur proses diskusi, musyawarah maupun negosiasi, agar terkendali dan terfokus pada persoalan yang menjadi bahan diskusi.
b. Perbedaan Nilai dan Status Sosial
  • Mediator harus menyadari hal tersebut, harus mampu menciptakan keadaan kedua belah pihak mempunyai kedudukan yang sederajat.
c. Akurasi dan kelengkapan data dan informasi
  • Data / informasi yang diberikan adalah data / informasi yang menguntungkan baginya, data/informasi yang melemahkan / merugikan kedudukan mereka akan di tutup, disembunyikan/dihilangkan.
  • Semua data informasi sangat berarti sebagai pertimbangan dalam putusan.
  • Penyelesaian sengketa sejauh mungkin dapat dicapai secara tuntas , tidak menyisakan masalah yang sewaktu-waktu muncul kembali menjadi sengketa baru.
  • Mediator harus mampu menggali data / informasi yang tersembunyi.
  •  Untuk mengumpulkan data / informasi dapat dihadirkan instansi terkait missal Kakanwil, Kakantah, Camat, Lurah, Kepala adat, dsb. Disamping memperoleh data/informasi tanah secara lengkap juga untuk meluruskan permasalahan yang dihadapi sekiranya proses musyawarah / negosiasi tidak sesuai dengan kebijakan pertanahan di wilayah tersebut.
d. Masalah teknik pelaksanaan Mediasi
  • Cara melakukan negosiasi, tatap muka (face to face), vedio conference, telepon atau cara lain yang memungkinkan kedua belah pihak berkomunikasi secara efektif.
  • Dilakukan secara transparan (tertulis / expose).
e. Kepentingan ( interest )
  • Penyelesaian masalah melalui mediasi menggunakan pendekatan kepentingan ( interest based ).
  • Kepentingan disini tidak sepenuhnya berkorelasi dengan benar atau tidak namun dikaitkan dengan persoalan baik atau kurang baik.
  • Penyelesaian sengketanya tidak semata-mata dikaji dari aspek kepastian hukum dan keadilan saja, melainkan lebih menekankan aspek Kemanfaatan bagi kedua belah pihak.
  • Kepentingan para pihak dipertemukan dalam mediasi ini untuk dicari cara terbaik penyelesaiannya. Para pihak tidak merasa kalah dan menang, dapat memenuhi keinginan masing-masing ( win-win solusion ).
  • Tahapan Mediasi
1. Persiapan
-         Untuk mempertemukan kedua belah pihak.
-         Mengetahui pokok masalah dan duduk masalah.
-         Apakah masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi atau tidak.
-         Pembentukan tim penanganan sengketa tentatif, tidak keharusan, ada kalangan pejabat structural yang berwenang dapat langsung menyelenggarakan mediasi.
-         Penyiapan bahan, selain persiapan prosedur disiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk melakukan mediasi terhadap pokok sengketa, resume telaahan. Agar mediator sudah menguasai substansi masalah, meluruskan persoalan, saran bahkan peringatan jika kesepakatan yang diupayakan akan cenderung melanggar peraturan dibidang pertanahan, missal melanggar kepentingan pemegang hak tanggungan, kepentingan ahli waris lain, melanggar hakekat pemberian haknya (berkaitan dengan tanah Redistribusi).
Undangan.
-         Para pihak yang berkepentingan, instansi terkait diundang untuk mengadakan musyawarah penyelesaian sengketa dimaksud ; acara juga dibahas, diminta membawa serta data / informasi yang diperlukan.
-         Penataan struktur pertemuan
- posisi tempat duduk huruf U atau lingkaran.
2. Memulai mediasi :
- Mengatasi hambatan hubungan antar pihak (hubungan personal antar pihak) diantara
mencairkan suasana diantara kedua belah pihak yang bersengketa, suasana akrab, tidak kaku.
-         Penjelasan peran mediator
  • Sebagai pihak ketiga yang tidak memihak ( berkedudukan netral )
  • Kehendak para pihak tidak dibatasi
  • Kedudukan para pihak dan kedudukan mediator sendiri harus netral.
  • Kunci dari sesi ini adalah penegasan mengenai kesediaan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan oleh mediator BPN.
  • Dalam hal-hal tertentu berdarkan kewenangannya ( authoritas mediator autoritatif ) mediator dapat melakukan intervensi / campur tangan dalam proses mencari kesepakatan dari persoalan yang disengketakan (bukan memihak /, untuk menempatkan kesepakatan yang hendak dicapai sesuai dengan hukum pertanahan. Hal ini perlu dipahami oleh para pihak agar tidak menimbulkan dugaan apriori.
-         Klarifikasi para pihak
  • Para pihak mengetahui kedudukannya.
  • Dikondisikan tidak ada rasa apriori pada salah satu pihak / kedua belah pihak dengan objektivitas penyelesaian sengketa, kedudukan, hak, dan kewajiban sama.
  • Masing-masing berhak memberikan dan memperoleh informasi / data yang disampaikan lawan.
  • Para pihak dapat membantah atau meminta klarifikasi dari lawan dan wajib menghormati pihak lainnya.
-         Pengaturan pelaksanaan mediasi
  • Dari permulaan mediasi telah disampaikan aturan-aturan mediasi yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam mediasi.
  • Aturan tersebut inisiatif dari mediator atau disusun baru kesepakatan para pihak, penyimpangan tersebut tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan para pihak.
Aturan-aturan tersebut antara lain untuk menentukan :
- apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mediator
- aturan tata tertib diskusi dan negosiasi
- pemanfaatan dari kaukus
- pemberian waktu untuk berpikir, dsb.
Perumusan aturan tersebut mungkin akan mengundang perdebatan yang panjang, namun
bagi mediator yang sudah terbiasa melakukan tugasnya tidak sulit mengatasinya.
3. Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda Musyawarah
  • Para pihak diminta untuk menyampaikan permasalahannya serta opsi-opsi alternatif penyelesaian yang ditawarkan, sehingga ditarik benang merah permasalahannya agar proses negosiasi selalu terfokus pada persoalan (isu) tersebut. Disini dapat terjadi kesalahpahaman baik mengenai permasalahannya, pengertian yang terkait dengan sengketanya atau hal yang terkait dengan pengertian status tanah Negara dan individualisasi. Perlu upaya/ kesepakatan untuk menyamakan pemahaman mengenai berbagai hal. Mediator / BPN harus memberi koreksi jika pengertian-pengertian persoalan yang disepakati tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, agar tidak terjadi kesesatan.
  • Menetapkan agenda musyawarah (setting agenda)
-      Setelah persoalan yang dapat menimbulkan mis interpretasi diatasi, kemudian ditentukan agenda yang perlu dibahas ( setelah diketahui persoalan yang melingkupi sengketa).
-      Agenda musyawarah bermaksud agar proses musyawarah, diskusi, negosiasi dapat terarah dan tidak melebar / keluar dari fokus persoalan mediator harus menjaga momen pembicaraan sehingga tidak terpancing atau terbawa / larut oleh pembicaraan para pihak.
-      Mediator menyusun acara/agenda diskusi yang mencakup substansi permasalahan, alokasi waktu, jadwal pertemuan berikutnya yang perlu memperoleh persetujuan para pihak.
4. Identifikasi kepentingan
  • Dilakukan identifikasi untuk menentukan pokok masalah sebenarnya, serta relevansi sebagai bahan untuk negosiasi. Pokok masalah harus selalu menjadi fokus proses mediasi selanjutnya. Jika terdapat penyimpangan mediator harus mengingatkan untuk kembali pada fokus permasalahan.
Kepentingan yang menjadi fokus mediasi dapat menentukan kesepakatan penyelesaiannya. Kepentingan disini tidak harus dilihat dari aspek hukum saja, dapat dilihat dari aspek lain sepanjang memungkinkan dilakukan negosiasi dan hasilnya tidak melanggar hukum.
5. Generalisasi opsi-opsi Para Pihak
  • Pengumpulan opsi-opsi sebagai alternatif yang diminta kemudian dilakukan generalisasi alternative tersebut sehingga terdapat hubungan antar alternatif dengan permasalahannya.
  • Dengan generalisasi terdapat kelompok opsi yang tidak dibedakan dari siapa, tetapi bagaimana cara menyelesaikan opsi tersebut melalui negosiasi, maka proses negosiasi lebih mudah.
  • Opsi adalah sejumlah tuntutan dan alternatif penyelesaian terhadap sengketa dalam suatu proses mediasi.
  • Kedua belah pihak dapat mengajukan opsi-opsi penyelesaian yang diinginkan
  • Dalam mediasi autoritatif mediator juga dapat menyampaikan opsi atau alternatif yang lain.
Contoh :
Generalisasi opsi yang dipilih misalnya: batas tanah tetap dibiarkan, tanah tetap dikuasai secara nyata, pihak yang seharusnya berhak meminta ganti rugi.
  • Tawar-menawar opsi dapat berlangsung alot dan tertutup kemungkinan dapat terjadi diad-lock. Disini mediator harus menggunakan sesi pribadi (periode session atau cancus)
  • Negosiasi tahap terpenting dalam mediasi
-         Cara tawar-menawar terhadap opsi-opsi yang telah ditetapkan, disini dapat timbul kondisi yang tidak diinginkan. Mediator harus mengingatkan maksud dan tujuan serta fokus permasalahan yang dihadapi.
-         Sesi pribadi ( sesi berbicara secara pribadi ) dengan salah satu pihak harus sepengetahuan dan persetujuan pihak lawan. Pihak lawan harus diberikan kesempatan menggunakan sesi pribadi yang sama.
-         Proses negosiasi sering kali harus dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang berbeda.
-         Hasil dari tahap ini adalah serangkaian daftar opsi yang dapat dijadikan alternatif penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
6. Penentuan opsi yang dipilih
  • Ada daftar opsi yang dipilih.
  • Pengkajian opsi-opsi tersebut oleh masing-masing pihak.
  • Menentukan menerima atau menolak opsi tersebut.
  • Menentukan keputusan menghitung untung-rugi bagi masing-masing pihak.
  • Para pihak dapat konsultasi pada pihak ketiga misalnya: pengacara, para ahli mengenai opsi-opsi tersebut.
  • Mediator harus mampu mempengaruhi para pihak untuk tidak menggunakan kesempatan guna menekan pihak lawan. Disini diperlukan perhitungan dengan pertimbangan logis, rasional dan objektif untuk merealisasikan kesepakatan terhadap opsi yang dipilih tersebut.
  • Kemampuan mediator akan diuji dalam sesi ini.
  • Hasil dari kegiatan ini berupa putusan mengenai opsi yang diterima kedua belah pihak, namun belum final, harus dibicarakan lebih lanjut.
7. Negosiasi akhir
  • Para pihak melakukan negosiasi final yaitu klarifikasi ketegasan mengenai opsi-opsi yang telah disepakati bagi penyelesaian sengketa dimaksud.
  • Hasil dari tahap ini adalah putusan penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersengketa.
  • Kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi: opsi yang diterima, hak dan kewajiban para pihak.
  • Klarifikasi kesepakatan kepada para pihak.
Penegasan / klarifikasi ini diperlukan agar para pihak tidak ragu-ragu lagi akan pilihannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan sukarela melaksanakannya.
8. Formalisasi kesepakatan penyelesaian sengketa
  • Dirumuskan dalam bentuk kesepakatan atau agreement / perjanjian
  • Dengan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut pelaksanaannya menjadi kewenangan pejabat tata usaha Negara.
  • Dalam mediasi tersebut hendaknya setiap kegiatan dicatat dalam bentuk notulen yang ditandatangani notulis dan mediator.
  • Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindak lanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Formalisasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian
  • Dalam setiap mediasi perlu dibuat berita acara atau notulen dari mediator yang berlangsung.
  • Agar mempunyai kekuatan memikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator
D. PEMBATASAN KESEPAKATAN
  • Pembatasan kesepakatan sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata :
-         Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
-         Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
-         Suatu hal tertentu
-         Suatu sebab yang halal
  • Pembatasan kesepakatan tersebut berlaku juga pada hukum pertanahan
  • Dibidang hukum pertanahan terdapat pembatasan-pembatasan berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
  • Kesepakatan para pihak dibatasi oleh hukum pertanahan, misal :
-         larangan pendudukan tanah tanpa ijin yang berhak ( pendudukan tanah secara illegal ) UU No
51 th 1960.
-    tanah wakaf tidak dapat beralih atau dialihkan
-    larangan menelantarkan tanah
-    larangan mengalih fungsikan tanah sawah
-    larangan mengalih fungsikan tanah yang berfungsi sebagai konservasi alam, flora, fauna maupun
Budaya.
-         larangan penguasaan tanah secara absentee ( PP No 224 th 1961 )
-         larangan penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum UU No 56 th 1960
-         mengalihkan tanah objek redistribusi
5. Peradilan
  • Permasalahan sengketa dan konflik pertanahan pada prinsipnya dapat diselesaikan dengan musyawarah / perdamaian, namun karena jalan / upaya musyawarah untuk kesepakatan tidak dapat dicapai, para pihak menempuk penyelesaian melalui lembaga peradilan, yaitu: pengadilan perdata, Tata Usaha Negara dan pidana.
  • Kedudukan BPN / pegawai BPN berkaitan dengan proses peradilan.
-         Pengadilan umum/perkara perdata
BPN menjadi tergugat / para pihak atau mungkin tidak menjadi para pihak, pejabatnya diminta sebagai saksi.
-         Pengadilan Tata Usaha Negara
BPN menjadi tergugat.
-         Pengadilan umum / Negara
Pejabat / pegawai BPN menjadi terdakwa atau saksi.
  • Pejabat / Pegawai BPN terkait dengan lembaga peradilan
-         Proses sertifikasi
Pengukuran, panitia A, batas-batas, luas letak, pengumuman, penerbitan sertifikat, pencatatan sita jaminan, perpanjangan hak, dll
-         Pembebasan tanah
Inventarisasi data fisik ( letak pensil / bidang tanah, luas, jenis bangunan, kelas tanah, status tanah ) pemegang hak/ penerima ganti rugi. Kebenaran dokumen, dokumen/pemilik ganda.
-         atas hak palsu / ganda.
-         Melanggar prosedur, missal: seharusnya diproses melalui pengakuan hak, tetapi diproses melalui konversi atau permohonan hak dan sebaliknya.
-         Tidak diukur, tidak melaksanakan pemeriksaan lapangan, tidak diumumkan ( pengumuman tidak ditempel pada papan pengumuman di Kelurahan / di Kantor Pertanahan).
-         Tanah masih sengketa / dikenakan sita jaminan diproses sertifikasinya.
-         Dokumen tidak lengkap diproses pemberian haknya.
-         Dsb.
  • Kuasa hukum dari BPN
-         didasari surat kuasa dari pejabat yang berwenang
-         harus mampu beracara di pengadilan
-         bagaimana kedudukan kuasa hukum dari BPN dengan berlakunya ketentuan dalam UU No 18 th 2003 tentang advokat
  • Melaksanakan peraturan peradilan
-         Amar putusan pengadilan tidak jelas
-         Ada dua atau lebih putusan pengadilan perdata terhadap objek sengketa yang sama isinya berbeda.
-         Putusan pengadilan perdata dan putusan PTUN atas objek sengketa yang sama ( misal sertipikat yang sama) amar putusannya berbeda atau berlawanan.
V.    PENYIMPANGAN TERHADAP KETENTUAN YANG MENGANDUNG PIDANA
DALAM PENANGANAN DAN KONFLIK PERTANAHAN
A. Penyimpangan Terhadap Para Pihak, Subjek dan Terhadap Objek
  • Para Pihak / Subjek disini adalah :
Mentri Agraria / sekarang Kepala BPN, Kakanwil BPN Propinsi, Kepala Kantor Pertanahan, Pegawai BPN, Pemilik tanah ( perorangan/badan hukum / pemohon atau kuasanya ), Bekas Pemilik tanah, Pemilik tanah yang berbatasan, Penerima hak, Petugas ukur Swasta, PPAT, Panitia Pemeriksaan Tanah, dll.
  • Objek disini adalah bidang tanah, SK Pemberian hak, SK Redistribusi, Sertipikat, dll.
1.  Pemberian ganti kerugian atas penghapusan tanah partikelir menurut UU No.1 th 1958, PP No. 18 th
1958.
  • Menteri  Agraria/Kepala BPN sampai saat ini belum memberi ganti rugi baik berupa uang ganti kerugian atau pemberian hak atas tanah kepada bekas pemilik tanah Partikelir (ahli warisnya) sebagaimana dimaksud UU No 1 th 1858 pasal 8 dan PP No 18 th 1958 pasal 10 dan pasal 11, sedangkan objek bekas tanah Partikelir yang bersangkutan, seluruhnya telah dikuasai pihak lain (perorangan dan badan hukum) dengan sesuatu hak.
  • Ahli waris / Pemilik bekas tanah Partikelir menuntut ganti kerugian melalui lembaga peradilan dengan tanah atau nilai ganti rugi harga tanah sekarang.
  1.  Penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan UU No. 56 th 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian dan PP No 224 th 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah ( Redistribusi ) dan pemberian ganti kerugian.
UU No 56 th 1960 :
-         Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
-         Penetapan luas minimum tanah pertanian dan larangan terhadap perbuatan hukum mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi kecil.
-         Pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan.
-         Tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya.
-         Tanah absentee wajib dialihkan kepada orang yang bertempat tinggal di kecamatan tanah itu terletak.
-         Pengecualian dalam PP No 4 th 1977 tentang Pemilihan tanah Absentee bagi pensiunan PNS.
v Masyarakat pemilik tanah, baik tanah yang terkena ketentuan UU No 1 th 1958 maupun UU No 56 th 1960, menerima dan mematuhi ketentuan UU tersebut karena ancaman dalam UU itu sendiri, tetapi terutama tekanan sikon politik waktu itu.
v Penyimpangan terhadap pembagian tanah kelebihan ( Redistribusi ) dan pemberian ganti kerugian :
a.  SK Pemberian hak / Redistribusi dari Kepala Inspeksi Agraria (KINAG).
-         Berekor ( tambahan/ikutan ), misal diajukan atas nama 60 orang calon penerima hak milik, menjadi 200 orang, mungkin ada nama fiktif.
-         Tidak dilampiri peta bidang, berakibat penerima hak lebih dari 1 orang atas bidang  tanah yang sama yang kemudian didaftar, tidak dipetakan, terjadi tumpang tindih sertipikat atas bidang tanahnya.
  1. Calon penerima hak / Penerima SK hak sebelumnya telah mengalihkan tanah garapannya, tidak
memenuhi kewajiban membayar harga tanah, mengalihkan SK Kinag kepada pihak lain, tidak mendaftarkannya.
Adapula penerima SK Kinag tidak mendaftarkan ke Kantor Pertanahan tapi ke Kantor Ipeda / Pajak Bumi Bangunan yang kemudian mendaftarkan girik ke Kantor Pertanahan, didaftar dengan proses konversi bukan pemberian hak.
  1. Ahli waris atau pemilik tanah kelebihan maksimum sampai saat ini belum pernah mendapat /
menerima ganti rugi atas tanah kelebihan dimaksud, selanjutnya menuntut ganti rugi melalui Pengadilan dengan nilai harga tanah sekarang.
  • Ada penyimpangan yang berpotensi pidana terhadap penerbitan SK berekor/ikutan, penerima hak atas tanah fiktif ; namun sulit pembuktiannya.
  1.  Penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan pasal 19 UU No 5 th 1960 tentang Pendaftaran Tanah.
-         pengukuran, perpetakan, pembukuan tanah ( daftar tanah )
-         pendaftaran hak-hak atas tanah (pendaftaran pertama kali), dan peralihan pembebanan hak
-         pemberian surat tanda bukti hak
a. Pengukuran, perpetakan, pembukuan tanah (daftar tanah)
a.1.  Petugas ukur dalam melaksanakan tugas tidak didasari surat tugas, dikemudian hari dimungkin
kan jika timbul masalah, dapat menjadi berpotensi pidana.
Contradictoire delimitatie tidak dilaksanakan, pemalsuan tanda tangan, penunjukan tanda batas
oleh orang yang tidak berwenang untuk itu.
a.2.  Perpetakan ; yang seharusnya setiap Kantor Pertanahan sudah mempunyai atau sudah membuat    peta dasar setiap desa / kelurahan, namun pada kenyataannya masih banyak Kantor Pertanahan
yang sama sekali belum pernah membuat atau mempunyai peta dasar, akibat dapat tumpang
tindih hak/sertipikat atas satu bidang tanah.
Banyak peta pendaftaran tanah yang pembuatan dan penggunaannya tidak disahkan oleh yang
berwenang, berakibat hakim ragu-ragu terhadap data yang ada pada peta yang bersangkutan,
yang berakibat sertifikat tanah dikalahkan girik, atau bukti garapan.
Hasil pengukuran tidak dipetakan pada peta pendaftaran (ini berpotensi pidana).
a.3.  Pembukuan tanah / pembuatan daftar tanah.
Pegawai/pejabat Kantor Pertanahan tidak membuat daftar tanah, padahal jika daftar tanah dibuat, dikelola/dipelihara, dapat menyajikan data / informasi yang mutakir bagi setiap bidang tanah, secara mudah dan cepat.
b. Pendaftaran tanah pertama kali dan pendaftaran peralihan, pembebanan hak dan pencatatan lainnya.
b.1. Pendaftaran tanah pertama kali
Panitia Pemeriksaan tanah tidak memeriksa / meninjau lokasi objek / bidang tanah yang dimohon
kan konversi / pengakuan hak / permohonan hak.
b.2. Kepala Kantor Pertanahan mendaftar SK Hak atas nama PT yang akta pendiriannya belum mendapatkan pengesahan dari mentri yang berwenang.
b.3. Lurah / Kepala Desa tidak menempel pengumuman permohonan konversi / pengakuan hak
ditempat yang disediakan di Kantor Lurah / Desa.
c. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
c.1.  Pejabat Kantor Pertanahan tetap mendaftar peralihan dan pembebanan hak walaupun dalam buku
tanah ada catatan sengketa pengadilan dimaksud pasal 45 ayat (1) huruf e   PP No 24 th 1997/
c.2.  Pejabat Kantor Pertanahan mendaftar roya parsial walaupun dalam APHT tidak diperjanjikan
mengenai roya parsial.
c.3.  Pejabat Kantor Pertanahan mendaftar akta peralihan hak / waris yang telah lewat 1 tahun
meninggalnya pewaris tanah hak milik, sedangkan sebagian dari ahli waris WNA dan tidak mencatat tanahnya gugur menjadi tanah negara.
c.4.  PPAT tidak cek sertipikat sebelum pembuatan akta pemindahan dan pembebanan hak.
d. Pemberian surat tanda bukti hak (penerbitan sertipikat)
d.1. Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat / sertipikat pengganti atas permohonan bukan
pemilik / kuasanya
  1. Penyimpangan terhadap tanah wakaf
  • Penukaran tanah wakaf oleh Nazir karena terkena pembebasan tanah untuk kepentingan umum tanpa ijin tertulis mentri agama.
B. Penyimpangan terhadap dokumen sengketa
  1.  Akta pemindahan hak atau pembebanan hak atas tanah hak bersama setelah perkawinan (gono-gini)         tanpa ada persetujuan suami-istri yang bersangkutan.
  1. Akta pengikatan jual-beli belum lunas pembayarannya dibuatkan akta jual beli PPAT.
  2. Akta jual-beli yang penjualnya subjek yang tidak berwenang kemudian dibebani hak tanggungan.
  3. Dua Surat Keterangan waris atas nama pewaris yang sama tetapi jumlah ahli waris berbeda.
  4. Bukti SSB BPHTB bertanggal setelah tanggal akta pemindahan hak ditanda tangani oleh para pihak, saksi dan PPAT.
  5. Pembuatan akta jual-beli dan pemberian Hak Tanggungan HGB diatas HPL tanpa persetujuan pemegang HPL.
  6. Penunjuk batas atau yang menandatangani batas sebelah menyebelah pada GU oleh orang yang tidak berwenang.
8.  Pendaftaran hak tanggungan dengan sertipikat tanah yang telah berakhir haknya.
9. SK Redistribusi tanah dilokasi perkebunan HGU PTPN yang kemudian jangka waktu HGU berakhir.
10.  Redistribusi tanah Absentee yang telah diterbitkan sertifikat atas nama penerima redistribusi tetapi
bekas pemilik tanah belum / tidak mau menerima ganti rugi yang terlalu rendah tidak sesuai harga
umum setempat dan sertipikatnya belum dibatalkan.
11.  Bermula utang piutang kemudian dibuatkan akte jual beli, dibebani hak tanggungan selanjutnya
dilelang.
  1. Data objek pembebasan tanah dalam daftar inventarisasi berbeda dengan fakta dilapangan mengenai
luas, letak, kelas tanah, jenis bangunan dan benda / tanaman yang ada di atas tanah yang bersangkutan.
C. Penyimpangan terhadap proses dan tata cara perolehan dan pembatalan hak.
1. Tanah bekas milik adat perolehan haknya diproses dengan tata cara permohonan hak atas nama Negara
karena bukti giriknya telah dipakai sebagai alas hak proses tanah milik ybs yang letaknya bersebelahan
  1. Tanah bekas milik adat yang bukti petuk/giriknya tidak ada diproses melalui konversi/ penegasan hak
bukan pengakuan hak.
  1. Perolehan hak atas tanah timbul diproses melalui konversi / pengakuan hak bukan permohonan hak.
  2. SK Redistribusi tanah ( SK Kinag ) oleh penerima redistribusi didaftar dikantor ipeda, terbit girik dan didaftar Kantor Pertanahan dengan proses pengakuan hak.
  3. Permohonan hak atas suatu hamparan bidang tanah yang kewenangan pemberian haknya oleh BPN Pusat dipecah luasnya sedemikian,sehingga kewenagan pemberian haknya menjadi kewenangan Kakanwil BPN atau Kepala Kantor Pertanahan.
  4. Permohonan konversi / pengakuan hak atas tanah bekas milik adat tidak melalui proses pengumuman di Kantor Desa / Kelurahan letak tanah.
  1.  Penyimpangan proses dan tata cara pembatalan hak:
  1. Putusan pengadilan yang amarnya menyatakan hak atas tanah/sertifikat tanah tidak mempunyai kekuatan hukum atau dinyatakan batal tetapi tidak ditindak lanjuti usulan pembatalan oleh Kepala Kantor Pertanahan, tetapi hanya ditulis pada buku tanah ybs bahwa sertipikat / hak atas tanah tsb dibatalkan.
  2.  Kakanwil BPN Propinsi mempunyai kewenangan pembatalan hak sebagaimana dimaksud pasal 12 PMNA/KBPN No 3 th 1999, namun dijumpai sertipikat tanah ( yang asalnya pemberian hak berdasarkan SK Kepala BPN dibatalkan pengadilan, SK pembatalan sertipikat dimaksud dibuat oleh Kakanwil BPN.
BAHAN AJAR DIKLAT PPNS BPN RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar