Senin, 30 Desember 2013

MEDIASI OLEH ERY SUWONDO, SH. BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 2008

MEKANISME PELAKSANAAN MEDIASI OLEH BPN RI
I Penggolongan
1.  Mediator adalah orang / pejabat yang ditunjuk dari jajaran BPN RI yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya
2.  Berita Acara Mediasi adalah suatu dokumen resmi yang dibuat dan dipertanggungjawabkan oleh mediator dan para pihak yang ada didalammya berisikan uraian hasil mediasi yang dilengkapi dengan data – data pada saat dilakukan proses mediasi.
II. Pelaksanaan
Mediasi dilaksanakan oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk dengan surat tugas / surat perintah dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah, Kepala BPN RI / Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa  dan Konflik  Pertanahan.
III. Mekanisme Mediasi
1.  Persiapan mempertemukan kedua belah pihak
a.  Mengetahui pokok masalah dan duduk masalah dan apakah masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi
b.  Pembentukan Tim Penanganan Sengketa (tentatif)
c.   Penyiapan bahan
d.  Menentukan waktu dan tempat mediasi
2.  Undangan kepada para pihak yang berkepentingan
3.  Kegiatan mediasi
a. Penjelasan para mediator
b. Verifikasi para pihak, yaitu para pihak satunya memberikan data / informasi satu sama lain.
c. Pengaturan pelaksanaan mediasi
d. Menyatukan pemahaman dan menetapkan Agenda Musyawarah (permasalahan terfokus)
4. Identifikasi kepentingan
5. Generasi opsi para pihak
-  Alternatif Penyelesaian sengketa yang diinginkan
6. Negosiasi Akhir
-  Penegasan putusan penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersengketa
7. Formalisasi Penyelesaian Sengketa
a.  Dirumuskan  dalam bentuk kesepakatan (D.I.512 C)
b.  Dituangkan dalam Berita Acara Mediasi (D.I.512A)
c.   Dibuat laporan mediasi yang berlangsung (D.I.512B)
TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI
  1. Tahap Pra Mediasi
1.  Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa
-        menjelaskan peran mediator
-        memberikan wawasan kepada para pihak tentang prosedur dan tata cara mediasi
2.  Memilih strategi untuk proses mediasi
-        mediator menjelaskan kekuatan dan kelemahan masing-masing pihak
-        mediator membantu para pihak dalam menganalisa sebagai saran dalam pengelolaan          sengketa
3.  Mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang masalah
-        Mengumpulkan data dan menganalisa sengketa untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat sengketa, menentukan pokok masalah dan kepentingan para pihak
4.  Menyusun rencana mediasi
-        Siapa saja yang terkait dalam perundingan
-        Dimana sebaiknya perundingan diselenggarakan
-        Bagaimana pengaturan tempat duduk pesertanya
-        Prosedur apa yang digunakan
-        Masalah, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian yang bagaimana yang diinginkan oleh  para pihak
-        Bagaimana aturan perundingan yang ditetapkan
-        Apa rencana umum untuk perundingan pertama
-        Bagaimana cara mengarahkan atau memberi wawasan kepada para pihak tentang proses            mediasi
-        Apabila menghadapi jalan buntu bagaimana cara mengatasinya.
5.  Membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para  pihak
-        Membangkitkan rasa percaya diri para pihak dalam mempersiapkan proses mediasi
II. Tahap Mediasi
1.  Memulai sesi mediasi
-        Mediator memperkenalkan diri dan para pihak
-        Menjelaskan pengertian mediasi dan peran mediator
-        Menjelaskan prosedur mediasi
-        Menekankan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaikan masalah melalui mediasi
-        Menjelaskan aturan perilaku dalam proses mediasi
-        Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk bertanya dan menjawab
-        Menjelaskan pengertian kaukus
-        Menguraikan jadwal dan waktu proses mediasi
2.  Merumuskan dan menyerahkan agenda
-        Mengidentifikasikan dan mensepakati permasalahan permasalahan yang akan dibahas
-        Menyusun agenda / issue – issue yang akan dibahas.
3.  Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para  pihak ,dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
a.  Secara langsung, yaitu mengajukan pertanyaan secara langsung kepada para pihak
b.  Secara tidak langsung, yaitu mendengarkan atau merumuskan kembali pernyataan - pernyataan yang di kemukakan para pihak
4.  Membangkitkan pilihan – pilihan penyelesaian sengketa
-        Mediator mendorong para pihak untuk bersikap terbuka dan mencari alternatif penyelesaian pemecahan masalah secara bersama
5.  Menganalisa pilihan – pilihan penyelesaian sengketa
-        Mediator membantu para pihak menentukan untung dan ruginya jika menerima atau menolak sesuatu pemecahan masalah
-        Mediator mengingatkan para pihak agar bersikap realistis dan tidak mengajukan tuntutan atau tawaran yang tidak masuk akal
6.  Proses tawar menawar
-        Para pihak telah melihat kepentingan bersama dan bersedia saling memberi konsensi satu sama lainnya
7.  Mencapai kesepakatan formal
-        Para pihak menyusun kesepakatan dan prosedur atau rencana  pelaksanaan kesepakatan mengacu                 pada langkah – langkah yang akan ditempuh para pihak untuk melaksanakan bunyi  keseepakatan dan mengakhiri sengketa.
MEKANISME PELAKSANAAN MEDIASI OLEH BPN RI
Maksud dan Tujuan
Sebagai pedoman bagi mediator yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala BPN RI / Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dalam menangani proses mediasi.
 KETRAMPILAN DAN TEKNIK MEDIATOR
1.  Keterampilan pengorganisasian
-  Mediator merencanakan dan menjadwalkan pertemuan
-  Mediator harus tepat waktu
-  Mediator menyambut kedatangan para pihak dalam ruang pertemuan
-  Mediator menghindari bincang – bincang dengan salah satu pihak sebelum atau pada  saat kedatangan pihak lain
Keterampilan Pengorganisasian
-        Mediator mengawasi para pihak meninggalkan ruang perundingan, terutama jika suasana masih emosional
-        Membiarkan para pihak mengambil tempat duduk atas dasar pertimbangan sendiri
-        Mediator mengambil tempat duduk dengan jarak  yang                sama diantara para pihak untuk menjaga netralitas
-        Mediator menyiapkan dan mampu menggunakan peralatan visual serta perlengkapan perundingan
2.  Keterampilan Perundingan
-        Memimpin dan mengarahkan perundingan sesuai agenda
-        Membantu siapa yang berbicara lebih dahulu dan siapa kemudian
-        Menentukan aturan perundingan
-        Mengadakan kaukus
3.  Keterampilan memfasilitasi :
-      Mampu menghadapi emosi para pihak
-      Mampu menahan emosi sendiri
-      Berusaha mencegah jalan buntu
-      Mengingatkan pihak yang emosi dengan komitmen pada proses penyelesaian   permasalahan
-       Skorsing pertemuan perbuatan untuk istirahat sejenak apabila ada pihak  yang emosi     tinggi atau adakan pertemuan terpisah (Kaukus)
-    Ingatkan pada aturan perundingan
Keterampilan komunikasi
-              Berbicara dengan senang dan meyakinkan
-              Jika para pihak menggunakan kata – kata keras mediator  dapat mengganti dengan kata –           kata yang lebih netral
-              Kemampuan bertanya
-              Mendengar secara efektif :
*             memahami pesan yang disampaikan
*             menangkap fakta yang dikemukakan
*             Mengikuti pembicaraan, tidak memutus / menyela pembicaraan
-              Membuat catatan :
*             identifikasi permasalahan
*             identifikasi kesamaan pandang para pihak
*             identifikasi perbedaan pandangan
*             Menyiapkan agenda
-                 Menyimpulkan
MEKANISME PELAKSANAAN MEDIASI OLEH BPN RI
Dasar Hukum
1.            Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
2.            Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
3.            Peraturan Kepala BPN RI Nomor  3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Laksana Kerja BPN   RI
4.            Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan
KAUKUS
Pengertian adalah
pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dimana isi pembicaraan bersifat rahasia bagi pihak yang lain
Fungsi Kaukus :
-              Membantu mediator dalam mengatasi terjadinya kebuntuan     (deadlack) dalam prosesmediasi
-              Memfasilitasi salah satu pihak untuk mengungkapkan kepentingan yang tidak ingin mereka ungkapkan dihadapan                pihak lain
-              Membantu mediator dalam memahami motivasi para pihak dan prioritas mereka dengan             membangun empati dan kepercayaan secara individu
-              Memberikan kesempatan kepada mediator untuk menguji seberapa realistis opsi – opsi yang    diusulkan
-              Memungkinkan mediator dan para pihak untuk                 mengembangkan dan mempertimbangkan         alternatif -alternatif baru
-              Memungkinkan mediator untuk mempengaruhi               para pihak untuk menerima penyelesaian
Waktu Kaukus :
a.            diawal mediasi
-              Merancang prosedur mediasi
-              Mengidentifikasi isu
-              Mengetahui kepentingan yang tersembunyi
b.            ditengah mediasi
-              mencegah komitmen yang prematur
-              untuk pendinginan suasana
c.             diakhir mediasi
-              Untuk mengatasi kebuntuan
-              Merancang atau memformulasikan kesepakatan
JEBAKAN MEDIATOR
Pengertian adalah
hal – hal yang perlu dihindari oleh mediator ataupun keadaan yang ditimbulkan oleh mediator sendiri
Yang termasuk dalam jebakan mediator :
1.            Tidak siap, terkait kasus yang diselesaikan
2.            Kehilangan kendali, yaitu membiarkan terjadinya pelanggaran dalam proses mediasi
3.            Kehilangan netralitas,yaitu memberikan arahan kepada salah satu pihak dihadapan pihak lain
4.            Mengabaikan emosi
5.            Terburu – buru mengejar solusi, ingin cepat-cepat membahas  solusi sedangkan kebutuhan dan                 kepentingan para pihak belum terungkap yang dapat menimbulkan resiko kegagalan
6.            Terlalu mengatur dan mendesak yang dapat berakibat   :
-              Kehilangan kepercayaan para pihak
-              para pihak merasa terpaksa untuk berdamai sehingga tidak menggambarkan kepentingan mereka
-              Mediator mengejar target agendanya sendiri.
KODE ETIK MEDIATOR
  1. Prinsip netralitas (Impartiality)
                -              Mediator wajib memelihara ketidakberpihakannya terhadap para pihak
-              Mediator dilarang mempengaruhi atau mengarahkan    para pihak
-              Mediator harus beritikad baik dan tidak                 mengorbankan kepentingan para pihak
-              Memberikan perlakuan yang seimbang kepada para pihak
  1.  Prinsip penentuan diri sendiri (self determination)
-              Mediator wajib menyelenggarakan proses mediasi sesuai dengan prinsip penentuan diri                                              sendiri oleh para pihak.
-              Mediator wajib memberitahu para pihak bahwa segala bentuk penyelesaian atau                                            keputusan yang diambil dalam proses mediasi memerlukan persetujuan para pihak
-              Mediator wajib menghormati hak para pihak, antara lain hak untuk konsultasi dengan penasehat hukumnya atau para ahli dan hak untuk keluar dari proses mediasi.
-              Mediator wajib menghindari penggunaan ancaman, tekanan      atau intimidasi terhadap para pihak untuk membuat suatu keputusan
3.            Prinsip kerahasiaan (confidentiality)
-              mediator wajib memelihara kerahasiaan baik dalam bentuk pernyataan,               notulensi atau catatan maupun dokumen yang terungkap dalam proses mediasi
4.            Prinsip bebas dari konflik pribadi (free from conflict of interest)
-              Mediator wajib mengundurkan diri bila keterlibatannya menimbulkan konflik                                     kepentingan
5.            Prinsip dasar aturan (Ground Rules)
-              Mediator wajib menjelaskan kepada para pihak                mengenai tata cara dan segala hal yang terkait dalam proses mediator (pengertian dan prosedur mediasi,pengertian kaukus serta peran mediator)
SEKIAN DAN TERIMA KASIH

RESUME PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUKUM ADAT DAN HUKUM PERDATA

  1. I.       PENDAHULUAN
Materi Ceramah Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Adat serta Hukum Perdata yang disampaikan oleh pengajar pada pokoknya mengandung dua (2) hal pokok yaitu masalah hukum dan peraturan perundang-undangan secara umum dan permasalahan  UUPA.
  1.  Masalah hukum dan peraturan perundang-undangan.
-  Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Ketetapan No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menetapkan tata urutan yaitu :
  1. UUD 1945 (termasuk Pancasila yg termuat dalam Mukadimah) sebagai sumber hukum dasar Nasional;
  2. Tap MPR RI;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.
- Asas Peraturan Perundangan yang baik menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan : Kejelasan Tujuan, Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, Dapat dilaksanakan, Kedayagunaan dan kehasilgunaan,  Kejelasan rumusan  dan Keterbukaan.
- Materi muatan tersebut mengandung asas : a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. kebangsaan; d. Kekeluargaan;e. Kenusantaraan; f. Bhinneka tunggal ika; g Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. K. asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan perundangan yang bersangkutan.
- Hukum  mempunyai 4(empat) fungsi :
  1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan;
  2. Hukum sebagai sarana pembangunan;
  3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan;
  4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
- Yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan menurut Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH.   menyatakan pendapatnya bahwa mereka (lembaga) yang ditunjuk dan diperintahkan oleh UUD dan penerima mandat dari Lembaga  Tertinggi Negara (MPR)  Kepala Negara langsung pula menerima mandat dari MPR  untuk :
  1. Menjalankan UUD 1945
  2. Menjalankan GBHN
  3. Menjalankan Pemerintahan Negara pada umumnya.
- Suatu peraturan perundangan dinyatakan baik dan benar apabila  memenuhi unsur-unsur  :
  1. Yuridis, yaitu Peraturan perundang-undangan tersebut tidak saling bertentangan dengan aturan-aturan ```lain.(Tap MPR No. III/MPR/2000 jo UU No. 10 Tahun 2004 dan PP No. 68 Tahun 2005)
  2. Sosiologis, sesuai karena diakui dan diterima oleh masyarakat bukan karena “dipaksakan” berlakunya oleh Pemerintah.
  3. Filosofis, yaitu ketentuan-ketentuan peraturan perundangan tsb. mencerminkan dan sesuai dengan cita-cita hukum dan nilai-nilai positif yang berlaku di masyarakat.
- Pendapat para Ahli Hukum:
  1. Mustapadidjaja AR.  memandang Peraturan perundang-undangan tersebut sebagai hasil proses suatu Sistem Kebijakan dalam rangka penyelenggaraan Negara yang disebut dengan kebijakan publik.
  2. Irawan Soejito menyatakan beberapa kendala dan kesulitan dalam penerapan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang antara lain bahwa karena sifatnya yang sentralistik, undang-undang tidak mungkin dibuat dan berfungsi untuk menggantikan keseluruhan hukum adat dan peraturan-peraturan lain yang berlaku secara regional.
  3. Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL., menyatakan bahwa unsur teknik perancangan merupakan unsur yang lain yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundangan yang baik.
- Contoh undang-undang yang dianggap baik yaitu :
  1. Undang-undang organik; yang dibuat oleh Thorbecke yaitu dengan sedikit kalimat pendek melahirkan apa yang akan dikatakannya itu tersusun secara teliti dan jelas.
  2. Code Civil Perancis (1804) suatu undang-undang yang dapat dimengerti dan dipahami sedalam-dalamnya oleh rakyat.
  3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Swiss, yang disusun Engen Huber; yang dinilai uraian pada pasal-pasalnya, kaidah-kaidahnya sederhana tapi mudah dimengerti dan tepat.
  4. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960, LN 1960 No.104), suatu undang-undang Nasional yang menggantikan warisan undang-undang Kolonial menurut anggapan umum dipandang sebagai suatu undang-undang yang baik sekalipun ditinjau dari segi teknik per-undang-undangan, disana-sini masih dapat disempurnakan.
     B. Masalah Undang-Undang Pokok Agraria.
     Kedudukan UUPA Dalam Susunan dan Tata Hukum Indonesia.
           -    Sumber Hukum Agraria Nasional.
    Prof. Boedi Harsono menyatakan sumber Hukum Agraria Nasional tertulis sebagai berikut :
  1.  Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 33 : 3).
  1. UUPA (UU No. 5 Tahun 1960).
  2. Peraturan pelaksanaan UUPA.
  3. Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA yang dikeluarkan sesudah 24 September 1960 karena suatu masalah yang perlu diatur (UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya).
  4. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan (Hukum positif yang bukan lagi hukum Nasional).
-  Sumber Hukum Agraria Sebelum Berlakunya UUPA.
               Pemerintah Kolonial membuat antara lain :
-   Agrarische Wet (Stb. 1870 No.55) Pasal 51 I.S. (1925-447).
Agrarische Wet  menetapkan kepada yang memerlukan dapat diberikan hak erfpacht selama 75 tahun, untuk tanah-tanah yang belum ada hak-hak pribumi, tanah yang sudah dibuka, hutan penduduk, penggembalaan umum/desa, kecuali dengan pembebasan/ganti rugi yang layak.
Agrarische Wet juga dibuat sebagai hasil perjuangan pengusaha besar dan penanam modal untuk meruntuhkan  sistim monopoli negara.
-   Agrarische Besluit (Stb. 1870 No.118).
Sebagai peraturan pelaksanaan (ordonansi) dari Agrarische Wet yang mengatur pemberian-pemberian hak erfpacht di P. Jawa dan Madura kecuali daerah swapraja. Karesidenan Sumatera, Manado, Kalimantan Timur dan Selatan (Buiten Gewesten)
-   Algemein Domein Verklaring (Stb. 1875 No. 119 a).
Asas bahwa  “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domein (milik) negara).”
Pernyataan domein ini merupakan politik hukum Belanda Untuk mencari alasan pembenar landasan hukum bahwa Negara adalah sebagai pemilik tanah  untuk melaksanakan ketentuan psl 720 KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa hanya pemilik yang dapat memberikan hak eigendom, opstal, erfpacht,  oleh karena pemberian hak adalah suatu pemindahan Hak milik (Negara) kepada penerima hak.
Negara harus dapat menunjukkan bukti pemilikan sesuai dengan  ketentuan hukum acara.
Negara selain pemilik juga penguasa sehingga berwenang untuk memberikan hak walaupun tanah tersebut belum dapat dibuktikan sebagai  miliknya.
-   Domein verklaring untuk Surakarta (S. 1874-94 f), Karesidenan Manado (S. 1877-55), untuk karesidenan Zuider en Oostterafdeling van Borneo (Kalimantan Selatan dan Timur) Stb. 1888-10
-   Koninklijk Besluit Stb. 1872-117
-   Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) terutama yang diatur dalam Buku II.
-   Dalam konsiderans UUPA tersirat maksud penyusun Undang-undang mengenai apa yang diartikan dengan Agraria, yaitu bahwa hukum Agraria (nasional) meliputi fungsi bumi,air dan ruang angkasa.
 Ketentuan peraturan lain yang  bersifat lokal diantaranya.
  1.  Bataviasche Grondhuur  diatur  lebih lanjut dengan Woonerven Ordonantie (Stb 1918-287)  mengatur persewaan tanah di kota Batavia.
  1. Peraturan mengenai landerijen bezitirecht Stb 1926-121 yang mengatur tanah-tanah Kong-Kwan (Tionghoa), tanah ini termasuk tanah pertuanan (partikelir)
  2. Orang Tionghoa dan Timur Asing yang semula mempunyai hak usaha diatasnya menjadi pemegang Altijdurende erfpacht kemudian menjadi “ Landrijen bezitsrecht, tetapi kalau beralih kepada golongan Bumi putera, menjadi tanah milik adat
  3. Rijksblad Yogyakarta th 1918 No 16 disebut juga sebagai domein Sultan yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak ada tanda bukti dan bukan tanah eigendom, menjadi milik  kesultanan Yogyakarta”.
  4. Tanah swapraja Sumatera Timur yang mengatur mengenai Grant Sultan (Grant .S.),yaitu hak milik adat yang lahir karena pemberian pem swapraja kepada para Kaula yang didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.
  5. Grant Controleur (Grant .C.), yang diberikan oleh Pem Swapraja kepada bukan Kaula Swapraja, didaftar di Kantor Controleur (Pejabat Pangreh Praja Belanda).
  6. Grant Deli Maatschappij (Grant D), diberikan oleh Deli Maatschappij didaftar di Perusahaan tersebut yang menyangkut tanah yang luas (untuk perkebunan tembakau, pelayanan umum, dan tanah) dari Pemerintah Swapraja Deli dengan grant.
  7. Hak Konsesii untuk perkebunan besar, diberikan oleh Pemerintah  Swapraja dan didaftar di Kantor Residen.
  8. Rijksblad Yogyakarta no 13 th 1926 dan Rijksblad Surakarta  No 14 th 1938 mengatur mengenai pendaftaran tanah-tanah milik Kaula Swapraja Yogyakarta dan Surakarta.
  9. Larangan pengasingan tanah (Grond Vervreemdingsverbood) Stb 1875-179 yaitu larangan bagi orang pribumi untuk mengalihkan tanah milik adatnya kepada orang asing (bukan pribumi).
  1.  Verponding Indonesia (V.I) Stb 1923-425 jo Stb 1931-168 yang mengatur bagi pemegang tanah hak milik adat di wilayah gemeente untuk ditetapkan sebagai wajib pajak (wajib pajak=pemilik). Sedangkan untuk diluar wilayah gemeente dikenakan landrente atau pajak bumi didaftar di Kantor Landrente/PHB)
Land verhuur reglement Stb 1906-93 yang kemudian diubah menjadi Vorstenlands Grondhuur reglement dan selanjutnya dicabut dengan UU no 13 th 1948 oleh karena mengandung prinsip-prinsip feodal.
  1. Reglement omtrent de particuliere landerijen bewesten de Cimanuk op Java “ Stb 1912-432 Tentang usaha pemerintah untuk pembelian kembali tanah-tanah particuliere Yang berlangsung sampai dengan Tahun 1936 dengan melalui BUMN-nya pemerintah Hindia Belanda  NV. Javasche Particuliere landerijen Maatschappij.
      UUPA Pada saat berlakunya
 UUPA adalah hukum nasional yang mengatur mengenai Agraria. Ciri-ciri suatu hukum disebut dengan Hukum Nasional, Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCl. menyatakan bahwa Hukum Nasional adalah hukum yang dibentuk selama masa kemerdekaan (setelah Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945). UU No. 5 Tahun 1960 (Pasal 5) yang disusun  menurut asas-asas hukum adat tidak mengartikan hukum barat sebagai hukum positif sehingga harus diartikan atau dipahami sebagai :
  • PERTAMA : asas hukum kolonial tidak diteruskan karena bertentangan dengan pengertian dan asas kepemilikan, kedudukan dan fungsi tanah menurut hukum adat.
  • KEDUA : ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas dan ketentuan keagrariaan yang baru (UU No. 5 Tahun 1960) harus dianggap tidak berlaku … Kalau tidak ditentukan demikian, khususnya hukum Pertanahan tetap bersifat dualisme. Dimasa Kolonial ada batas-batas yang jelas antara yang tunduk pada Hukum Pertanahan Adat dan yang tunduk pada ketentuan BW. Sekarang “pilihan hukum”  diterapkan sekehendak hati, tergantung pada kemauan atau kepentingan yang bersangkutan atau hakim.
  • KETIGA : ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal didapati kekosongan dalam ketentuan keagrariaan baru.
Dualisme hukum  terjadi karena  “kekeliruan” menafsirkan ketentuan UU No.5 Tahun 1960 yang menyebutkan “Hukum Agraria ialah Hukum Adat”, seolah-olah hukum adat tradisional masih sepenuhnya berlaku disamping ketentuan yang didasarkan dalam UU No.5 Tahun 1960. Pemecahan masalah ini dianjurkan agar penerapan hukum positif menggunakan asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis. Namun  harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis apabila ketentuan hukum tertulis merupakan pembaharuan terhadap hukum tidak tertulis atau terjadi transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis.
  2. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis tidak dilakukan, apabila ketentuan hukum tidak tertulis merupakan suatu yang tumbuh kemudian sebagai koreksi atau penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum tertulis, karena hukum tertulis telah usang atau ada kekosongan-kekosongan tertentu dalam hukum tertulis. Hukum tertulis juga tidak didahulukan apabila penerapannya akan bertentangan dengan kepatutan, keadilan, kesusilaan, kepentingan umum atau ketertiban umum.
Oleh Penjelasan III (1) UUPA yaitu :  ...Hukum Agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk kepada hukum adat, maka hukum Agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang merdeka dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
Dari uraian penjelasan tersebut terkandung semangat dan pesan kepada Pemerintah untuk senantiasa menggali dan menemukan hukum adat tanah/agraria untuk diangkat menjadi hukum positif yang modern dan sesuai dengan kemajuan hubungan dunia internasional.
Dengan berlakunya UUPA timbul pertanyaan bagaimana kekuatan berlakunya peraturan-peraturan keagrariaan/pertanahan yang telah mengatur dan berlaku sebelumnya?
UU No.5 Tahun 1960 dalam Bab IV mengenai Ketentuan Peralihan memuat pasal-pasal khusus yang mengatur ketentuan peralihan atas peraturan-peraturan keagrariaan/pertanahan yaitu :
Pasal 56 :
“Selama undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Pasal 57 :
“Selama undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 No.542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.190.”
Pasal 58 :
“Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.”
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., : “apabila suatu ketentuan peraturan dalam aturan peralihannya tidak menentukan secara tegas mengenai keberlakuan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya, dengan terbentuknya norma-norma atau lembaga-lembaga baru  maka secara materiil ketentuan peraturan yang terdahulu menjadi tidak berlaku.”
Hakim berperan besar untuk menetapkan atau tidak menerapkan, memberlakukan atau tidak memberlakukan ketentuan hukum menurut keyakinannya.
Dengan  penemuan hukum dari hakim atas, secara materiil peraturan hukum tersebut masih dapat berlaku walaupun  sebatas sebagai pedoman. Contoh : Kitab UU Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) yang dengan SE. Mahkamah Agung RI No.3 tahun 1963  dinyatakan sebagai pedoman sehingga fungsinya tidak lagi sebagai kitab UU (Wetboek) tetapi  menjadi buku hukum (rechtboek) semata-mata, tetapi hakim masih menggali dan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan putusan-putusannya.
Mr. R. Soedargo  Wakil Kepala Biro Pengawasan dan Pemindahan Hak, Direktorat Agraria menyatakan perlu untuk mempelajari dan mengikuti beberapa peraturan-peraturan yang sebenarnya sudah tidak selaras lagi dengan jiwa UUPA akan tetapi masih mempunyai arti penting ditinjau dari  sudut masa peralihan dan perubahan.
1. Masalah UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
UU tersebut sesuai dengan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka dimuat didalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut UUPA bertujuan :
a         meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional dst.
b         meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c         Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pasal-pasal UUPA banyak memerintahkan dan mensyaratkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah  atau Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5 (2) UUD 1945, kekuasaan membentuk UU ada pada Presiden dengan persetujuan DPR, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah hanya ditetapkan apabila memang diperintahkan secara tegas oleh undang-undang.
Bagaimana kalau tidak ada perintah UU tetapi Presiden merasa perlu untuk mengaturnya?
  • Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL.18) berpendapat bahwa presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti Keputusan Presiden (yang bersifat mengatur), kecuali apabila dilakukan akan  melanggar asas-asas umum peraturan perundangan yang baik atau larangan pemuatan sanksi pidana.
Menemukan masalah penerapan dan pemberlakuan UUPA (UU No.5 Tahun 1960) tersebut yaitu :
    1. asas-asas pada UUPA sesuai dengan penegasan pada Pasal 5 adalah berdasarkan hukum adat yang sebagian besar dalam ketentuan tidak tertulis menyulitkan dalam menentukan asas-asas hukum agraria secara lengkap.
    1.  Pembentuk UU mengisyaratkan dan menghendaki bahwa UUPA tersebut akan merupakan dasar bagi  penyusun peraturan perundangan lainnya. Kenyataannya pengaturan mengenai pertambangan dalam UU No. 11 tahun 1967 dan bahkan UU Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun 1967) tidak mengikuti fungsi UUPA sebagai Undang-undang Pokok.
    1. UUPA sebagai Undang-Undang Pokok yang bersifat hanya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan dalam garis-garis besarnya, maka untuk dapat berjalan (operasional)-nya UU tersebut disyaratkan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan.
Akibatnya adalah apabila lembaga tersebut tidak cukup berwenang dalam penyiapan peraturan tersebut maka peraturan-peraturan pelaksanaan sebatas peraturan-peraturan yang dikeluarkan lembaga tersebut (Instansi Agraria pada masa sebagai Direktorat Jenderal pada Departemen Dalam Negeri).
  1. 1.      Peraturan Pelaksanaan

n  Ada peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena merupakan pendelegasian wewenang dan pengisian hukum (rechtsvacum), tetapi ada juga karena perintah dari ketentuan perundangan yang lebih tinggi.
n  UU No.5 Tahun 1960, memerintahkan banyak sekali jumlah peraturan perundangan dari mulai UU, Peraturan Pemerintah serta peraturan lainnya baik yang secara tegas dimuat dalam pasal-pasalnya maupun yang tersirat dalam beberapa ketentuan yang bersangkutan memerlukan pengaturan lebih lanjut
n  UUPA akan merupakan masalah yang besar dan strategis terbukti dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang harus dibuat.
Ada materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri, padahal menurut ilmu perundang-undangan seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi seperti :
1        Undang-Undang;
2        Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu);
3        Peraturan Pemerintah;
Presiden bebas memilih bentuk PP atau Keppres dalam hal tertentu Presiden harus menggunakan PP misalnya :
Peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana
4        Keputusan Presiden
Ada 2 (dua) macam Keppres yang dibuat Presiden selaku fungsi pimpinan administrasi negara (bestuur) yaitu membuat keputusan (beschikking) berupa ketetapan atau peraturan-peraturan (regeling).
Ada yang bersifat kongkrit, individual dan final (beschikking), ada yang bersifat pengaturan secara umum
Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri
Dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak lagi termasuk dalam tata urut peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri hanya dapat mengatur :
-           hal-hal yang secara tegas diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
6. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Peraturan Daerah mengatur dalam kaitan dengan system rumah tangga daerah dimana segala urusan pada dasarnya dapat diatasi oleh Daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan Keputusan Menteri/Peraturan Menteri,  Menteri Kehakiman dan HAM dalam surat edarannya tanggal 23 Pebruari 2001 No. M.UM.01.06-27 menyatakan :
    1. Keputusan Menteri yang bersifat “mengatur” tetap merupakan    salah satu jenis/bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dibuat oleh Menteri sebagai pembantu Presiden dan sekretarisnya yang diatur Keputusan Menteri bersifat nasional.
2        . Tap MPR tersebut mensyaratkan “tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tata urut peraturan perundang-undangan yang mengindikasikan bahwa keputusan menteri adalah bagian dari jenis perundang-undangan.
3        . Materi muatan Keputusan Menteri adalah materi/substansi yang didelegasikan kepada keputusan menteri.
4        . Keputusan Menteri adalah sama dengan Peraturan Menteri sebelum berlakunya Keppres No.44/1993.
5        Keputusan Menteri sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan berlaku diseluruh Indonesia kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Daerah, sehingga apabila ada Perda yang bertentangan dengan Keputusan Menteri, maka Perda tersebut harus dibatalkan.
6        Perda dapat diuji material oleh Mahkamah Agung apabila bertentangan dengan Keputusan Menteri.
7        Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) bersifat teknis sesuai dengan ruang lingkup tugas/wewenang menteri yang bersangkutan.
8        Rancangan Keputusan Menteri sebelum ditetapkan terlebih dulu dikonsultasikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Materi muatan harus diatur dengan UU dengan ukuran-ukuran :
Pertama :         Materi muatan yang secara tegas diperintahkan UUD                       harus diatur dengan UU.
Kedua     :       UU tersebut dibentuk karena berdasarkan ketentuan                UU yang terdahulu.
Ketiga :           UU dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah             UU yang sudah ada. Hal ini didasarkan pada prinsip,       suatu peraturan perundang-undangan yang sederajat             atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Keempat          :           UU dibentuk karena menyangkut hal-hal yang                         berkaitan dengan hak-hak dasar atau hak asasi                 manusia.
Kelima     :       materi muatan yang menyangkut dengan kepentingan,             kewajiban, beban kepada rakyat banyak harus diatur        dengan UU.
Pendelegasian  terjadi karena :
1        DPR kekurangan waktu untuk membahas secara rinci (detail) hal-hal yang harus diatur dengan UU.
2        Faktor-faktor yang bersifat teknis, DPR tidak senantiasa mempunyai anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus
3        Faktor kecepatan dan urgensi, delegasi pengaturan dari DPR didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan urgensi karena tata cara pembahasan di DPR relatif panjang yaitu :
Tingkat Pertama,         Sidang Paripurna penyampaian Keterangan dari Pemerintah.
Tingkat Kedua,           Sidang Paripurna penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi dan                          Jawaban Pemerintah
Tingkat Ketiga,           Pembahasan oleh Komisi atau Panitia Khusus (Pansus) yang                                    ditentukan oleh Badan Musyawarah dibicarakan/dibahas DIM                                (Daftar Inventarisasi Masalah). Panitia Perumus dan/atau Panitia                           Kecil yang merupakan Panitia Kerja.
Tingkat keempat,        pembicaraan sidang paripurna. Fraksi-fraksi menyampaikan                                      persetujuan terhadap RUU untuk dijadikan menjadi UU.
4        Faktor kekenyalan/elastisitas. Mengubah UU tidak semudah mengubah misalnya Peraturan Pemerintah.
. Masalah Penerapan Peraturan
a. Kedudukan Hukum Peraturan Pertanahan
Pertanahan merupakan sub sistem dari  sumber daya Agraria. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) menyatakan                             bahwa
                        “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan             adanya            macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah …”
Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai sumber daya agraria diluar tanah tidak merujuk pada                ketentuan UUPA.sering terjadi konflik atau benturan diantara  pengaturan dari sumber daya agraria
Pertanahan merupakan permasalahan yang bersifat multi aspek.  Pengaturan sumber daya agraria yang             saling berbenturan menyebabkan kesulitan penerapan hukum terhadap kasus yang timbul di bidang             pertanahan.
Apabila terjadi konflik berkaitan dengan sumber daya agraria maka peraturan pertanahan merupakan suatu    lex specialis, sehingga terhadap kasus yang bersangkutan harus diterapkan peraturan pertanahan.
Suatu kasus harus diidentifikasi bahwa kasus tersebut merupakan kasus pertanahan oleh sebab itu             diterapkan peraturan pertanahan.
Benturan dengan peraturan-peraturan yang mengatur                           pembangunan/ sektor lain.
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang                              kepada  negara untuk :
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan,                persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang                      angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                     antara orang-orang dengan bumi, air dan                                      angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                    antara orang-orang             dan perbuatan-perbuatan hukum          yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
sasaran kewenangan negara untuk mengatur tersebut sangat luas yang mencakup bumi maka akan terdapat benturan antara peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanahan dengan peraturan yang mengatur diluar soal pertanahan
1) Pertambangan
Pengaturan tentang pertambangan telah diatur dalam undang-undang no. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan kuasa Pertambangan
Mengenai  kuasa Pertambangan dengan hak atas tanah diatur dalam Pasal 25 s/d pasal 27 Undang-undang no. 11 tahun 1967.
Pasal 25 ayat:
(1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan                                       mengganti kerugian kepada yang berhak atas      tanah               didalam lingkungan daerah kuasa                                           pertambangan maupun diluarnya, dengan atau tidak              dengan sengaja,
(2)             Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha                                     dari kedua pemegang kuasa pertambangan atau                    lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26 :
Kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan
memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa
pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas
dasar mufakat kepadanya :
a         sebelum pekerjaan dimulai,
b diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal 27
Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan,  kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
Kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
Pengairan
Masalah pengairan diatur dalam undang-undang
no.11 tahun 1974 tentang pengairan.
Prof. Budi Harsono berpendapat :
“Sepanjang diatas air tersebut dapat   didirikan bangunan, dapat ditancapkan tiang-           tiang untuk bangunan , maka tanah yang   ada dibawah permukaan air tersebut dapat    diberikan hak atas tanah.”
Transmigrasi
Pengaturan tentang transmigrasi telah diatur               dalam             undang-undang No. 3 tahun 1972                            tentang           ketentuan-ketentuan masalah                           transmigrasi.
Pasal 7 :
Transmigrasi berhak mendapatkan tanah pekarangan           dan/atau tanah pertanian dengan hak-hak tanah             menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Daerah Transmigrasi harus  dibebaskan dari segala hak-hak yang ada di atasnya, oleh Menteri yang diserahi urusan Agraria           dan selanjutnya memberikan hak hak pengelolaan atas tanah            tersebut kepada Menteri ;
Apabila suatu daerah transmigrsi sampai dengan jangka waktu         yang telah ditentukan tidak dipergunakan sebagaimana     mestinya, maka status daerah transmigrasi kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Kehutanan
Masalah kehutanan telah diatur dalam Undang
Undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah.
Semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
untuk sebesar kemakmuran rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara sebagai mana dimaksud ayat
memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
c         Menetapkan status wilayah tertentu seperti kawasan hutan atau bukan kawasan hutan
c         Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Apabila dalam dalam perkembangannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat kembali kepada pemerintah.
Setiap bidang tanah yang ada harus dilandasi dengan suatu alas hak berupa hak-hak atas tanah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1jo pasal 16 ayat 1 UUPA, termasuk juga hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan yang juga diatur dalam undang-undang No.41 tahun 1999 tersebut.
Seluruh bidang tanah yang ada di wilayah Indonesia harus didaftar sesuai ketentuan pasal 19 UUPA (termasuk tanah-tanah kawasan hutan). Permasalahannya adalah apabila hutan tersebut berstatus hutan negara atau hutan adat yang tidak diusahakan atau yang diusahakan oleh pihak lain (perorangan, koperasi, swasta, BUMN/D), bagaimana cara mendaftar, siapa subyek haknya dan dengan hak apa?.
Minyak dan Gas Bumi.
Pengaturan tentang minyak dan gas bumi telah diatur
dalam Undang-undang No.44 Prp. tahun1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi, undang-undang
no. 8 tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan
minyak dan gas bumi yang telah dicabut dengan
Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi.
Hubungan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah telah diatur dalam pasal 33 s/d pasal 36.
Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas permukaan bumi.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara didalam wilayah kerjanya wajib terlebih dahulu menyelesaikan dengan pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap telah diberikan
wilayah kerja maka terhadap bidang-bidang tanah yang
dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas
bumi dan areal pengamanannya, diberikan Hak Pakai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
Bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha minyak dan gas bumi dapat diberikan         kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri.
Kelompok Peraturan :
  1. 1.      UUPA.
-       Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan ketentuan-    ketentuan konversi (UU No.5 Tahun 1960) dengan penjelasan.
-       Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960)
  1. 2.      LANDREFORM
-       Penetapan luas tanah pertanian (UU No.56 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
-       Pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian (PP No.224 Tahun 1961).
  1. 3.      LAND-USE PLANNING.
-       Penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu (UU No.38 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
-       Peruntukan dan penggunaan tanah Ancol (PP No.51 Tahun 1960).

  1. 4.      DEPARTEMEN AGRARIA, SUSUNAN DAN TUGAS.
-       Pembentukan Kementerian Agraria (Keputusan Presiden No.55 Tahun 1955).
-       Peralihan tugas dan wewenang Agraria (UU No.7 Tahun 1958) dengan lampiran serta penjelasan.
  1. 5.      TANAH DIBAWAH KEKUASAAN LANGSUNG NEGARA.
-       Penguasaan tanah-tanah Negara (PP No.8 Tahun 1953) dengan penjelasan.
-       Penyelesaian tanah-tanah yang dahulu diambil oleh Pemerintah Jepang (Edaran Departemen Dalam Negeri).
-       Grondbedrijf Tawangmangu (Pranatan Mangkunegaran No.9/R. Tahun 1932).
  1. 6.      PENDUDUKAN TANAH SECARA LIAR
-       Penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat (UU No.8 Drt. Tahun 1954) dengan penjelasan, perubahan dan penambahan.
-       Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya (Peperpu No.011 Tahun 1958) dengan penjelasan, penambahan dan perubahan.
-       Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya (UU No. 51 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
  1. 7.      TANAH DI KEBAYORAN BARU
Pedoman mengenai pelaksanaan peraturan pokok tentang tanah dikota Kebayoran Baru (Keputusan Menteri Agraria No.Sk/533/Ka Tahun 1959).
8.   TANAH UNTUK KEPERLUAN AGAMA DAN SOSIAL
Tempat pemakaman jenazah untuk penduduk Tionghwa (Edaran Menteri Agraria No.
Ka.23/2/2 tanggal 28 Agustus 1957 dan No.Ka.23/1/23 tanggal 3 Maret 1959).
9.   PEMBELIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN       PEMERINTAH
      - Pembelian tanah (Edaran Menteri Keuangan No.158641/G.T. tanggal 25 Agustus 1957).
- Pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-undang
keadaan bahaya (UU No.23 Prp. Tahun 1959) dengan penjelasan.
10. PANITIA BERTALIAN DENGAN URUSAN TANAH
- Peraturan pembiayaan panitia-panitia (Keputusan Perdana Menteri RI No.100/PM/1954).
- Bijblad 11372 jo.12476.
- Peraturan tentang panitia-panitia kerja likuidasi tanah-tanah partikelir (Peraturan Menteri
Agraria No. 1 Tahun 1958).
11.PEMBERIAN,PERPANJANGAN,      PENGHENTIAN      DAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH
- Pemberian dan pembaharuan beberapa hak atas tanah serta pedoman mengenai tata cara
kerja bagi pejabat-pejabat yang bersangkutan (Peraturan Menteri Agraria No.6 Tahun
1959).
- Pemberian dan pembaharuan beberapa hak atas tanah serta pedoman mengenai tata cara
kerja bagi pejabat-pejabat yang bersangkutan (Peraturan Menteri Agraria No.15 Tahun
1959).
- Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya (UU No.20 Tahun
1961).
12. TANAH PARTIKELIR
- Penghapusan tanah-tanah partikelir (UU No. 1 Tahun 1958) dengan penjelasan.
- Pelaksanaan Undang-undang penghapusan tanah-tanah Partikelir (PP No. 18 Tahun
1958) dengan penjelasan.
13.  PERKEBUNAN
- Pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan (UU No.28 Tahun
1956) dengan penjelasan.
- Peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan (UU
No.29 Tahun 1956) dengan penjelasan.
14.  NASIONALISASI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MILIK BELANDA
- Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda (UU No.86 Tahun 1958) dengan          penjelasan.
- Pokok-pokok pelaksanaan undang-undang nasionalisasi perusahaan Belanda (PP No.2
Tahun 1959) dengan penjelasan.
15. CANON DAN CIJN
Perubahan canon dan cijns atas hak-hak erfpacht           dan konsesi guna perusahaan kebun besar (UU No.78 Tahun 1957).
16.  PERSEWAAN DAN BAGI HASIL
- Persewaan tanah kepada pengusaha pertambangan (Bijbl. No.14168).
- Uang sewa tanah untuk tanaman tebu musim tahun 1959/1960 (Peraturan Menteri
Agraria No.2 Tahun 1958).
- Perjanjian bagi hasil (UU No.2 tahun 1960) dengan      penjelasan.
17. PERATURAN-PERATURAN AGRARIA UNTUK DAERAH YOGYAKARTA
           DAN SOLO
- Hak atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (Peraturan Daerah Istimewa
Yogyakarta No.5 Tahun 1954 Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta No.3 Tahun
1956).
- Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (Peraturan DIY No.11
Tahun 1954 Lembaran DIY Tahun 1956 No.7).
18. PERATURAN-PERATURAN AGRARIA UNTUK KEPULAUAN RIAU
- Peraturan Agraria untuk Daerah Riau (Stbl. 1923 No.253 jo.1924 No.595 dan 1926
No.392).
-  Pendaftaran hak-hak tanah dalam Kepulauan Riau (Peraturan Penguasa Militer
No.14/Per/PM/1957 tanggal 12 Desember 1957).
19. PEMINDAHAN HAK ATAS BENDA-BENDA TETAP YANG TUNDUK PADA 
         HUKUM BARAT
- Peraturan pangkal bagi larangan pemindahan hak atas benda tetap (Osamu Seirei No.2
Tahun 1942).
- Pemindahan dan pemakaian tanah-tanah dan barang-barang tetap yang lainnya yang
mempunyai titel menurut hukum Eropa (UU No. 1 Drt. Tahun 1952) dengan penje-
lasan serta perubahan-perubahannya.
- Peraturan-peraturan L.A.A.P.L.N. yang bertalian dengan izin jual beli benda-benda
tetap antara penduduk devisen dan bukan penduduk devisen (Edaran L.A.A.P.L.N. C
No.317, 368, 371 dan 381) dengan lampiran-lampiran E, F dan G.
- Permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria
No.14 Tahun 1961).

20. KADASTER
- Pedoman tata kerja tentang pendaftaran hak-hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria
No.9 Tahun 1959).
- Peraturan tentang tanda-tanda batas tanah milik (Peraturan Menteri Agraria No. 10
Tahun 1959).
- Pendaftaran Tanah (PP No.10 tahun 1961 L.N. 1961 No.28)

21. BENDA-BENDA TETAP MILIK  PERSEORANGAN WARGA NEGARA         
         BELANDA
- Penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (UU No.3
Prp. Tahun 1960).
- Pedoman I untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 17 Pebruari 1960).
- Pedoman II untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 12 Juli 1960).
- Pedoman III untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 1 April 1961).
22. PANITIA UNTUK MENYELESAIKAN URUSAN PEMULIHAN HAK
- Pengelolaan tanah/persil milik Negara berdasarkan PP No.4 Tahun 1960 (Edaran
Departemen Agraria No. Ka.42/1/30 tanggal 31 Oktober 1960).
- Instruksi pengelolaan persil-persil milik Negara berdasarkan PP No.4 Tahun 1960
(Edaran Departemen Agraria No.Ka.42/2/15 tanggal 12 Desember 1960).
Peraturan Perundang-undangan Sesudah Berlakunya UUPA

1. Masalah UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
UU tersebut sesuai dengan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka dimuat didalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut UUPA bertujuan :
a         meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional dst.
b         meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c         Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pasal-pasal UUPA banyak memerintahkan dan mensyaratkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah  atau Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5 (2) UUD 1945, kekuasaan membentuk UU ada pada Presiden dengan persetujuan DPR, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah hanya ditetapkan apabila memang diperintahkan secara tegas oleh undang-undang.
Bagaimana kalau tidak ada perintah UU tetapi Presiden merasa perlu untuk mengaturnya?
Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL.18) berpendapat bahwa presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti Keputusan Presiden (yang bersifat mengatur), kecuali apabila dilakukan akan  melanggar asas-asas umum peraturan perundangan yang baik atau larangan pemuatan sanksi pidana.
Menemukan masalah penerapan dan pemberlakuan UUPA (UU No.5 Tahun 1960) tersebut yaitu :
a.   asas-asas pada UUPA sesuai dengan penegasan pada Pasal 5 adalah berdasarkan hukum adat yang sebagian besar dalam ketentuan tidak tertulis menyulitkan dalam menentukan asas-asas hukum agraria secara lengkap.
  1. Pembentuk UU mengisyaratkan dan menghendaki bahwa UUPA tersebut akan merupakan dasar bagi  penyusun peraturan perundangan lainnya. Kenyataannya pengaturan mengenai pertambangan dalam UU No. 11 tahun 1967 dan bahkan UU Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun 1967) tidak mengikuti fungsi UUPA sebagai Undang-undang Pokok.
  1. UUPA sebagai Undang-Undang Pokok yang bersifat hanya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan dalam garis-garis besarnya, maka untuk dapat berjalan (operasional)-nya UU tersebut disyaratkan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan.
Akibatnya adalah apabila lembaga tersebut tidak cukup berwenang dalam penyiapan peraturan tersebut maka peraturan-peraturan pelaksanaan sebatas peraturan-peraturan yang dikeluarkan lembaga tersebut (Instansi Agraria pada masa sebagai Direktorat Jenderal pada Departemen Dalam Negeri).
  1. 2.      Peraturan Pelaksanaan

n  Ada peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena merupakan pendelegasian wewenang dan pengisian hukum (rechtsvacum), tetapi ada juga karena perintah dari ketentuan perundangan yang lebih tinggi.
n  UU No.5 Tahun 1960, memerintahkan banyak sekali jumlah peraturan perundangan dari mulai UU, Peraturan Pemerintah serta peraturan lainnya baik yang secara tegas dimuat dalam pasal-pasalnya maupun yang tersirat dalam beberapa ketentuan yang bersangkutan memerlukan pengaturan lebih lanjut
n  UUPA akan merupakan masalah yang besar dan strategis terbukti dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang harus dibuat.
Ada materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri, padahal menurut ilmu perundang-undangan seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi seperti :
1        Undang-Undang;
2        Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu);
3        Peraturan Pemerintah;
Presiden bebas memilih bentuk PP atau Keppres dalam hal tertentu Presiden harus menggunakan PP misalnya :
Peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana
4        Keputusan Presiden
Ada 2 (dua) macam Keppres yang dibuat Presiden selaku fungsi pimpinan administrasi negara (bestuur) yaitu membuat keputusan (beschikking) berupa ketetapan atau peraturan-peraturan (regeling).
Ada yang bersifat kongkrit, individual dan final (beschikking), ada yang bersifat pengaturan secara umum
Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri
Dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak lagi termasuk dalam tata urut peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri hanya dapat mengatur :
-           hal-hal yang secara tegas diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
6. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Peraturan Daerah mengatur dalam kaitan dengan system rumah tangga daerah dimana segala urusan pada dasarnya dapat diatasi oleh Daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan Keputusan Menteri/Peraturan Menteri,  Menteri Kehakiman dan HAM dalam surat edarannya tanggal 23 Pebruari 2001 No. M.UM.01.06-27 menyatakan :
    1. Keputusan Menteri yang bersifat “mengatur” tetap merupakan    salah satu jenis/bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dibuat oleh Menteri sebagai pembantu Presiden dan sekretarisnya yang diatur Keputusan Menteri bersifat nasional.
2        . Tap MPR tersebut mensyaratkan “tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tata urut peraturan perundang-undangan yang mengindikasikan bahwa keputusan menteri adalah bagian dari jenis perundang-undangan.
3        . Materi muatan Keputusan Menteri adalah materi/substansi yang didelegasikan kepada keputusan menteri.
4        . Keputusan Menteri adalah sama dengan Peraturan Menteri sebelum berlakunya Keppres No.44/1993.
5        Keputusan Menteri sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan berlaku diseluruh Indonesia kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Daerah, sehingga apabila ada Perda yang bertentangan dengan Keputusan Menteri, maka Perda tersebut harus dibatalkan.
6        Perda dapat diuji material oleh Mahkamah Agung apabila bertentangan dengan Keputusan Menteri.
7        Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) bersifat teknis sesuai dengan ruang lingkup tugas/wewenang menteri yang bersangkutan.
8        Rancangan Keputusan Menteri sebelum ditetapkan terlebih dulu dikonsultasikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Materi muatan harus diatur dengan UU dengan ukuran-ukuran :
Pertama :         Materi muatan yang secara tegas diperintahkan UUD                       harus diatur dengan UU.
Kedua     :       UU tersebut dibentuk karena berdasarkan ketentuan                UU yang terdahulu.
Ketiga :           UU dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah             UU yang sudah ada. Hal ini didasarkan pada prinsip,       suatu peraturan perundang-undangan yang sederajat             atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Keempat          :           UU dibentuk karena menyangkut hal-hal yang                         berkaitan dengan hak-hak dasar atau hak asasi                 manusia.
Kelima     :       materi muatan yang menyangkut dengan kepentingan,             kewajiban, beban kepada rakyat banyak harus diatur        dengan UU.
Pendelegasian  terjadi karena :
1        DPR kekurangan waktu untuk membahas secara rinci (detail) hal-hal yang harus diatur dengan UU.
2        Faktor-faktor yang bersifat teknis, DPR tidak senantiasa mempunyai anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus
2        Faktor kecepatan dan urgensi, delegasi pengaturan dari DPR didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan urgensi karena tata cara pembahasan di DPR relatif panjang yaitu :
Tingkat Pertama,         Sidang Paripurna penyampaian Keterangan dari Pemerintah.
Tingkat Kedua,           Sidang Paripurna penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi dan                          Jawaban Pemerintah
Tingkat Ketiga,           Pembahasan oleh Komisi atau Panitia Khusus (Pansus) yang                                    ditentukan oleh Badan Musyawarah dibicarakan/dibahas DIM                                (Daftar Inventarisasi Masalah). Panitia Perumus dan/atau Panitia                           Kecil yang merupakan Panitia Kerja.
Tingkat keempat,        pembicaraan sidang paripurna. Fraksi-fraksi menyampaikan                                      persetujuan terhadap RUU untuk dijadikan menjadi UU.
4        Faktor kekenyalan/elastisitas. Mengubah UU tidak semudah mengubah misalnya Peraturan Pemerintah.
. Masalah Penerapan Peraturan
a. Kedudukan Hukum Peraturan Pertanahan
Pertanahan merupakan sub sistem dari  sumber daya Agraria. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) menyatakan                             bahwa
                        “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan             adanya            macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah …”
Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai sumber daya agraria diluar tanah tidak merujuk pada                ketentuan UUPA.sering terjadi konflik atau benturan diantara  pengaturan dari sumber daya agraria
Pertanahan merupakan permasalahan yang bersifat multi aspek.  Pengaturan sumber daya agraria yang             saling berbenturan menyebabkan kesulitan penerapan hukum terhadap kasus yang timbul di bidang             pertanahan.
Apabila terjadi konflik berkaitan dengan sumber daya agraria maka peraturan pertanahan merupakan suatu    lex specialis, sehingga terhadap kasus yang bersangkutan harus diterapkan peraturan pertanahan.
Suatu kasus harus diidentifikasi bahwa kasus tersebut merupakan kasus pertanahan oleh sebab itu             diterapkan peraturan pertanahan.
Benturan dengan peraturan-peraturan yang mengatur                           pembangunan/ sektor lain.
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang                              kepada  negara untuk :
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan,                persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang                      angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                     antara orang-orang dengan bumi, air dan                                      angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                    antara orang-orang             dan perbuatan-perbuatan hukum          yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
sasaran kewenangan negara untuk mengatur tersebut sangat luas yang mencakup bumi maka akan terdapat benturan antara peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanahan dengan peraturan yang mengatur diluar soal pertanahan
1) Pertambangan
Pengaturan tentang pertambangan telah diatur dalam undang-undang no. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan kuasa Pertambangan
Mengenai  kuasa Pertambangan dengan hak atas tanah diatur dalam Pasal 25 s/d pasal 27 Undang-undang no. 11 tahun 1967.
Pasal 25 ayat:
(1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan                                       mengganti kerugian kepada yang berhak atas      tanah               didalam lingkungan daerah kuasa                                           pertambangan maupun diluarnya, dengan atau tidak              dengan sengaja,
(2)             Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha                                     dari kedua pemegang kuasa pertambangan atau                    lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26 :
Kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan
memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa
pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas
dasar mufakat kepadanya :
a         sebelum pekerjaan dimulai,
b diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal 27
Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan,  kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
Kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
Pengairan
Masalah pengairan diatur dalam undang-undang
no.11 tahun 1974 tentang pengairan.
Prof. Budi Harsono berpendapat :
“Sepanjang diatas air tersebut dapat   didirikan bangunan, dapat ditancapkan tiang-           tiang untuk bangunan , maka tanah yang   ada dibawah permukaan air tersebut dapat    diberikan hak atas tanah.”
Transmigrasi
Pengaturan tentang transmigrasi telah diatur               dalam             undang-undang No. 3 tahun 1972                            tentang           ketentuan-ketentuan masalah                           transmigrasi.
Pasal 7 :
Transmigrasi berhak mendapatkan tanah pekarangan           dan/atau tanah pertanian dengan hak-hak tanah             menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Daerah Transmigrasi harus  dibebaskan dari segala hak-hak yang ada di atasnya, oleh Menteri yang diserahi urusan Agraria           dan selanjutnya memberikan hak hak pengelolaan atas tanah            tersebut kepada Menteri ;
Apabila suatu daerah transmigrsi sampai dengan jangka waktu         yang telah ditentukan tidak dipergunakan sebagaimana     mestinya, maka status daerah transmigrasi kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Kehutanan
Masalah kehutanan telah diatur dalam Undang
Undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah.
Semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
untuk sebesar kemakmuran rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara sebagai mana dimaksud ayat
memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
c         Menetapkan status wilayah tertentu seperti kawasan hutan atau bukan kawasan hutan
c         Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Apabila dalam dalam perkembangannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat kembali kepada pemerintah.
Setiap bidang tanah yang ada harus dilandasi dengan suatu alas hak berupa hak-hak atas tanah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1jo pasal 16 ayat 1 UUPA, termasuk juga hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan yang juga diatur dalam undang-undang No.41 tahun 1999 tersebut.
Seluruh bidang tanah yang ada di wilayah Indonesia harus didaftar sesuai ketentuan pasal 19 UUPA (termasuk tanah-tanah kawasan hutan). Permasalahannya adalah apabila hutan tersebut berstatus hutan negara atau hutan adat yang tidak diusahakan atau yang diusahakan oleh pihak lain (perorangan, koperasi, swasta, BUMN/D), bagaimana cara mendaftar, siapa subyek haknya dan dengan hak apa?.
Minyak dan Gas Bumi.
Pengaturan tentang minyak dan gas bumi telah diatur
dalam Undang-undang No.44 Prp. tahun1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi, undang-undang
no. 8 tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan
minyak dan gas bumi yang telah dicabut dengan
Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi.
Hubungan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah telah diatur dalam pasal 33 s/d pasal 36.
Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas permukaan bumi.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara didalam wilayah kerjanya wajib terlebih dahulu menyelesaikan dengan pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap telah diberikan
wilayah kerja maka terhadap bidang-bidang tanah yang
dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas
bumi dan areal pengamanannya, diberikan Hak Pakai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
Bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha minyak dan gas bumi dapat diberikan         kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri.
Saran
n  Tap MPR No.IX/MPR/2001 yang merupakan perintah  dari Lembaga Negara selaku penyelenggara yang menyalurkan kedaulatan rakyat merupakan tugas Pemerintah untuk melaksanakannya.
n  Dengan menunjuk Tap MPR tersebut tentang Pembaharuan Agraria dan Pengaturan Sumber Daya Alam harus ditanggapi sebagai isyarat pentingnya suatu peraturan perundang-undangan –payung bidang keagrariaan yang dapat menjawab dan memecahkan masalah tumpang tindihnya pengaturan dan kewenangan sebagai implementasi dari Pasal 33 UUD 1945.
Ciri-Ciri Hukum Nasional.

  1. UUPA sejak diundangkan tanggal 24 September 1960 pada masa penerapan dan pelaksanaannya mengalami pengujian-pengujian berdasarkan gejolak dan dinamika kehidupan masyarakat dari segi politik.
  2. UUPA senantiasa dikaji oleh setiap rezim pemerintahan terutama terhadap apakah tujuan, filosofi dan yuridis tersebut sesuai atau sejalan atau mungkin bertentangan dengan politik pemerintahan yang terkait.
  3. Simposium Nasional Agraria 1977 (16 tahun setelah UUPA berlaku) di Banjarmasin menghasilkan rekomendasi antara lain bahwa pada dasarnya UUPA masih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
  4. Setiap UU lahir berdasarkan kebutuhan masyarakat berdasarkan kondisi yang ada pada saat itu bersifat “ photographis “ yaitu merupakan gambaran dan aspirasi dari kenyataan masyarakat pada waktu itu.
  5. Terbitnya suatu UU bersifat “einmalig”, padahal dinamika masyarakat selalu berkembang. Wajar kalau masyarakat selalu menuntut suatu UU untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu bertambah. UUPA juga memiliki kekurangan, contoh : kemajuan tehnologi menuntut agar diadakan mengenai Hak atas ruang bawah tanah, Hak atas ruang udara (bangunan tinggi, monumen, jalan layang dsb), Hak guna air/bangunan dibawah air dll.
  1. Contoh; UU No.16 th 1985 tentang Rumah Susun  yang belum ada landasan yang jelas dalam UUPA.

  1. 4.       PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PADA SAAT BERLAKUNYA UUPA.

NILAI PENTING KONSTITUSI DALAM SUATU NEGARA

Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara, ibarat “perja­lanan cinta romeo dan juliet yang setia dan abadi”. De­mikian halnya negara dan konstitusi merupakan lem­baga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegang­an dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.
Sejalan dengan pemahaman di atas, Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
  1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatane­garaan bangsa.
  3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
  1. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan ke­hidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-undang di atas, menunjukkan arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara. Karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah per­juangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam menge­mudikan suatu negara yang mereka pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terkaver dalam konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupa­kan cabang yang utama dalam studi ilmu hukum tata negara.
Pada sisi lain, eksistensi suatu “negara” yang diisyaratkan oleh A.G. Pringgodigdo, baru riel-ada kalau  memenuhi empat unsur: (1) memenuhi unsur peme­rintahan yang berdaulat, (2) wilayah tertentu, (3) rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation), dan (4) pengakuan dari negara-negara lain. Dari ke empat unsur untuk berdirinya suatu negara ini belumlah cu­kup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar yang mengatur­nya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah Konstitusi atau Undang Undang Dasar.
Untuk memahami hukum dasar suatu negara, juga belum cukup kalau hanya dilihat pada ketentuan-ke­tentuan yang terkandung dalam Undang Undang Dasar atau konstitusi saja, tetapi harus dipahami pula aturan-­aturan dasar yang muncul dan terpelihara dalam prak­tek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis, atau sering dicontohkan dengan “konvensi” ketatane­garaan suatu bangsa. Sebab dengan pemahaman yang demikian inilah “ketertiban“ sebagai fungsi utama adanya hukum dapat terealisasikan.
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi (grondwet) dari dua segi. Pertama, dari segi isi (naar de inhoud) karena konstitusi memuat dasar (grondslagen) dari struktur (inrichting) dan memuat fungsi (administratie) negara. Kedua, dari segi bentuk (naar demaker) oleh karena yang memuat konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga. Mungkin bisa oleh se­orang raja, raja dengan rakyat, badan konstituante, atau lembaga diktator. Pada sudut pandang yang ke­dua ini, K.C. Wheare mengkaitkan pentingnya kon­stitusi dengan pengertian hukum dalam arti sempit, di mana konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai “wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konsti­tusi. Tapi dalam kenyataannya tidak menutup ke­mungkinan adanya konstitusi yang sama sekali hampa (tidak sarat makna, kursif penulis), karena tidak ada pertalian yang nyata antara pihak yang merumuskan dan membuat konstitusi dengan pihak yang benar-be­nar menjalankan pemerintahan negara. Sehingga kon­stitusi hanya menjadi dokumen historis semata atau justru menjadi tabir tebal antara perumus atau peletak dasar konstitusi dengan pemerintah pemegang astafet berikutnya. Kondisi obyektif semacam inilah yang men­jadi salah satu penyebab    jatuh bangunnya suatu peme­rintahan yang sering diikuti pula oleh perubahan kon­stitusi negara tersebut. Seperti yang pernah terjadi di Philiphina, Kamboja, dan lain sebagainya.
Tidak heran, kalau dalam praktek ketatanegaraan suatu negara dijumpai suatu konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, oleh karena salah satu dari beberapa pasal di dalamnya tidak berjalan atau tidak dijalankan lagi. Atau dapat juga karena konstitusi yang berlaku itu tidak dijalankan, karena kepentingan suatu golongan/kelompok atau kepentingan pribadi penguasa semata. Disamping itu tentunya masih banyak nilai-nilai dari konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.
Dari pemikiran tersebut, Karl Loewenstein       meng­adakan suatu penyelidikan mengenai apakah arti dari suatu konstitusi tertulis (UUD) dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik, terutama kenyataannya bagi rakyat biasa sehingga membawanya kepada tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut:
  1. Konstitusi yang mempunyai nilai Normatif
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akari tetapi juga merupakan suatu kenyataan yanghidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
  1. Konstitusi yang mempunyai nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenya­taannya kurang sempurna. Sebab pasal-pasal ter­tentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
  1. Konstitusi yang mempunyai nilai Semantik
Suatu konstitusi disebut mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi tersebut hanyalah sekedar suatu istilah belaka, sedangkan dalam pelaksana­annya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa.
SUPREMASI  KONSTITUSI DALAM NEGARA
Dalam negara modern, penyelenggaraan keku­asaan negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (droit constitutionil). Undang Undang Dasar atau ver­fassung, oleh Carl Schmit dianggap sebagai keputusan politik yang tertinggi. Sehingga konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi yaitu di mana konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.
Benarkah konstitusi atau Undang-Undang Dasar mempunyai derajat yang tertinggi dalam suatu negara? Terhadap pertanyaan ini, K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions memberikan ulasan cukup panjang lebar. Pada intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral.
Pertama, konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajattertinggi (supremasi). Dasar pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena bebera­pa hal:
  1. Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang­-undang atau lembaga-lembaga.
  2. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada rnasya­rakat untuk kepentingan mereka.
  3. Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.
Superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi para penguasa dan bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri.
Kedua, jika konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental, maka konstitusi berada di bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh berten­tangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Oleh karena itu dilihat dari constitutional phyloshofi, apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan. William H. Seward mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan perbudakan sudah sewajarnya tidak dituruti. Contoh lain seandainya konstitusi mele­galisir sistem apartheid, dengan sendirinya ia bertentangan dengan moral.
Kembali kepada masalah konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremasi law) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara, muncul masalah baru yaitu siapakah yang akan men­jamin bahwa ketentuan konstitusi atau Undang-Undang Dasar benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif mau­pun badan pemerintah lainnya.
Dalam menanggapi permasalahan di atas, Miriam Budiardjo mensinyalir adanya beberapa aliran pikiran yang berbeda-beda sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut. Di Inggris, Parlemenlah yang dianggap sebagai badan yang tertinggi dan oleh karena itu hanya parlemen yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga supaya semua undang-­undang dan peraturan-peraturan lain sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitu­sional itu. Ini berarti bahwa       parlemen merupakan satu­-satunya badan yang boleh mengubah maupun memba­talkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Di negara-negara federasi, diperlukan ada satu ba­dan diluar badan legislatif yang berhak meneliti apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Di Amerika Serikat, India, dan Jerman Barat wewenang itu terletak di tangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu berlaku asas judicial su­premacy dan Mahkamah Agung ditambah beberapa  hakim lain.   Berbeda dengan di Indonesia, hak uji materiil  judicial refiew  yang berada di Mahkamah Agung itu hanya berlaku sebatas di bawah undang­-undang. Satu hal lagi yang perlu penulis tambahkan berkenaan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertulis yang tertinggi, maka kehidupan konstitusional pun merupakan kehidupan hukum yang mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Seluruh kehi­dupan konstitusional di negara Indonesia, baik yang tercantum dalam batang tubuh Undang Undang Dasar maupun yang terkandung dalam aturan-aturan dasar yang tidak tertulis yang berkembang dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan, semuanya mengikat warga negara sebagai hukum.
Karenanya agak keliru, apabila praktek penyelenggaraan negara hanya diuji pada ketentuan-ketentuan Undang Undang Dasar tertulis saja dengan mengabai­kan aturan-aturan hukum dasar yang tidak  tertulis yang telah dipraktekkan di Indonesia.
Isyarat yang diberikan dalam UUD 1945 sungguh tepat dan menunjukkan sikap “waskita” atau arif dan waspada dari para pendiri Republik ini, yakni yang berbunyi:
“Oleh karena itu, kita harus hidup secara dina­mis, harus melihat segala gerak-gerik kehidup­an masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa mem­beri kristalisasi, memberi bentuk (gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah”.
Setelah melihat praktek penyelenggaraan konstitusi di berbagai negara di atas, hemat penulis yang menjadi jaminan pelaksanaan Undang Undang Dasar secara konstitusional atau sejalan dengan bunyi ketentuan dan jiwa naskah konstitusi yaitu terletak pada kesa­daran dan semangat para penyelenggara negara itu sendiri. Sebab bagaimanapun baiknya konstitusi, tapi kalau penyelenggaranya tidak mempunyai kesadaran dan semangat yang tinggi demi tercapainya tujuan ne­gara, maka konstitusi tersebut tidak akan memberi arti banyak bagi kelangsungan hidup bernegara. Berarti pula bisa mengurangi kedudukan supremasi konstitusi dalam arti hakikatnya.
Masih berkait dengan masalah supremasi konsti­tusi, yaitu berkenaan dengan adanya kemungkinan perubahan konstitusi atau Undang Undang Dasar. Realitasnya menunjukkan bahwa tidak semua negara memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada Undang Undang Dasar daripada undang-undang da­lam arti formal. Artinya tidak semua Undang Undang Dasar memerlukan persyaratan yang lebih berat untuk perubahan atau amandemennya daripada undang-­undang biasa. Dalam hal ini prosedur pembuatan, pe­nyempurnaan dan perubahan Undang  Undang Dasar adalah sama dengan prosedur pembuatan undang-­undang. Jika pengertian ini diterapkan kepada kon­stitusi dalam arti luas, maka konstitusi dalam bentuk apa pun (Undang Undang Dasar, undang-undang, ke­biasaan dan konvensi) dapat diubah dengan cara yang sama seperti pembuatan undang-undang biasa.
Pada umumnya negara-negara mengakui supre­masi Undang Undang Dasar di atas segala peraturan perundang-undangan lainnya, hal mana terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat daripada pembuatan undang-undang. Me­mang pembuatan Undang  Undang Dasar didorong oleh kesadaran politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin.
Menurut Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi (supreme) ada semacam jaminan bahwa:
“konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan diru­sak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dapat dilaksana­kan dengan baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang khusus atau istimewa”.
Menurut Bryce, motif politik yang menonjol dalam penyusunan Undang Undang Dasar adalah:
  1. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan
    untuk mengendalikan tingkah laku penguasa.
  2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerin­tahan yang ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenang-­wenang dari penguasa di masa depan.
  3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau mengamankanberlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang dapat dipahami oleh warga negara.
  4. Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah untuk menjamin aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu berkeinginan tetap memper­tahankan hak serta kepentingannya sendiri-sendiri.
Atas dasar hal-hal yang dikemukakan oleh Bryce di atas dapat disimpulkan bahwa Undang Undang Da­sar dibuat secara sadar sebagai perangkat kaidah fun­damental yang mempunyai nilai politik lebih tinggi dari jenis kaidah lain karena menjadi dasar bagi seluruh tata kehidupan negara. Dengan asumsi ini maka bagian-­bagian lain dari tata hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan Undang  Undang Dasar.
Kemudian masih perlu dipikirkan kemungkinan adanya kaidah hukum lain di luar Undang Undang Dasar yang harus dianggap mempunyai derajat yang sama dengan kaidah Undang Undang Dasar. Contoh dari kemungkinan ini adalah rangkaian amandemen atau kaidah tambahan terhadap Undang Undang Dasar seperti di Amerika Serikat, yang dilihat dari segi urutan waktu harus dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada Undang-Undang Dasar itu sendiri.
Supremasi amandemen terhadap Undang Undang Dasar penting artinya dalam hal terjadi keragu-raguan di dalam penafsiran arti dan konsekuensi amandemen terhadap satu bagian atau keseluruhan Undang Undang Dasar. Kemungkinan kedua adalah dalam hal terjadi kebiasaan tata negara yang menyimpulkan kaidah baru yang harus dianggap sebagai setaraf dengan Undang Undang Dasar dan oleh karenanya mempunyai supre­masi yang sama terhadap kaidah hukum yang lainnya. Dihubungkan dengan pengertian konstitusi dalam arti luas, di mana bagi negara dengan konstitusi kaku per­bedaan derajad antara berbagai kaidah konstitusional akan berupa kaidah setaraf Undang Undang Dasar, kaidah setaraf undang-undang, dan kaidah setaraf peraturan perundang-undangan di bawah undang­undang. Bagi negara dengan konstitusi luwes seperti Inggris dan New Zaeland hanya ada dua jenis kaidah konstitusi, yakni kaidah setaraf undang-undang dan kaidah di bawah itu.
SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI
Apabila dipelajari serta diteliti sistem yang dipergunakan oleh negara-negara dalam mengubah     konsti­tusi pada asasnya dapat dikemukakan dengan dua macam sistem. Sistem yang pertama ialah, bahwa apabila suatu Undang Undang Dasar atau konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah Undang Undang Dasar atau konstitusi yang baru secara keseluruhan; artinya konstitusi yang sudah diubah bagian atau bagian­-bagiannya. Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia.
Sistem yang kedua ialah, bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat.
Adapun cara yang dapat digunakan untuk meng­ubah Undang Undang Dasar atau konstitusi melalui jalan penafsiran, menurut K.C. Wheare ada empat ma­cam cara, yaitu melalui:
  1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer (some pri­mary forces);
  2. Perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement);   ,
  3. Penafsiran secara hukum (judicial interpretation);
  4. Kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention).
Menurut C.F. Strong, prosedur perubahan kon­stitusi-konstitusi ada empat macam cara perubahan, yaitu:
  1. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh peme­gang kekuasaan legislatif, akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu;
  2. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum;
  3. Perubahan konstitusi dan ini berlaku dalam negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian;
  4. Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Ad.1. Perubahan konstitusi yang pertama ini terjadi melalui tiga macam kemungkinan. Cara kesatu, bahwa untuk mengubah konstitusi, sidang pe­megang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota terten­tu. Hal ini disebut korum. Adapun korum ini ditentukan secara pasti, umpamanya sekurang-­kurangnya 2/3 dari seluruh jumlah anggota pemegang kekuasaan legislatif harus hadir. Keputusan untuk mengubah konstitusi tersebut adalah sah, apabila disetujui oleh umpamanya sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Cara kedua, bahwa untuk meng­ubah konstitusi, lembaga perwakilan rakyatnya harus dibubarkan dan kemudian diselengga­rakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat yang diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah konstitusi. Ketiga, cara ini terjadi dan berlaku dalam sistem dua kamar. Untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah dengan syarat-syarat seperti dalam cara kesatu yang berwenang mengubah konstitusi.
Ad.2. Secara garis besar prosedur yang kedua ini berlangsung sebagai berikut:
Apabila ada kehendak untuk mengubah kon­stitusi, maka lembaga negara yang diberi we­wenang untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum atau peblisit. Usul perubahan konstitusi yang dimak­sud disiapkan lebih dulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau publisit ini rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam konstitusi.
Ad.3. Cara yang ketiga ini berlaku dalam negara yang berbentuk negara serikat. Oleh karena konstitusi dalam negara yang berbentuk negara serikat ini dianggap sebagai “perjanjian” antara negara-negara bagian, maka perubahan terha­dapnya harus dengan persetujuan sebagian terbesar negara-negara tersebut. Usul perubah­an konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat dalam hal ini lembaga perwakilan rakyatnya akan tetapi kata akhir berada pada negara-negara bagian. Disamping itu usul per­ubahan dapat pula berasal dari negara-negara bagian.
Ad.4. Cara yang keempat ini dapat dijalankan baik dalam negara serikat maupun dalam negara yang berbentuk kesatuan. Apabila ada kehen­dak untuk mengubah Undang Undang Dasar, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Apabila lembaga negara khu­sus dimaksud telah melaksanakan tugas serta wewenang sampai selesai, dengan sendirinya dia bubar.
Bagaimana halnya dengan Undang Undang Dasar 1945? Ternyata bahwa UUD 1945 menyediakan satu pasal yang khusus mengatur tentang cara perubahan UUD, yaitu pasa137. Pasa137 menyebutkan:
(1)       Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir ;
(2)       Putusan diambil dengan persetujuan sekurang­kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu:
  1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai Lembaga Negara Tertinggi;
  2. bahwa untuk mengubah UUD korum yang harus dipenuhi sekurang-kurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR;
  3. bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Undang Undang Dasar 1945, yakni Pasal 37- nya apabila dihadapkan pada pengklasifikasian yang dikemukakan oleh K.C. Wheare, merupakan UUD yang bersifat “tegar”. Sebab selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga karena dibutuhkannya suatu prosedur khususyakni dengan cara by the people through a referendum yang dikemukakan oleh C.F. Strong. Hal demikian tampak semakin jelas di dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, yaitu dengan diberlakukannya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 jo UU No. 5 tahun 1985 yang mengatur tentang Referendum.
Menurut K.C. Whearez ada empat sasaran yang hendak dituju dalam usaha mempertahankan konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya. Adapun keempat sasaran tersebut ialah:
  1. agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki);
  2. agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilaku­kan;
  3. agar - dan ini berlaku di negara serikat- keku­asaan negara serikat dan kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-­perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri;
  4. agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas bahasa atau kelompok minori­tas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh C.F. Strong maupun K.C. Wheare tentang cara perubahan konstitusi di atas, maka salah satu cara perubahan yang dapat ditempuh yaitu dengan konvensi.
Suatu konvensi atau convention (of the convention), kerap diberi pengertian sebagai aturan hukum kebi­asaan mengenai hukum publik; hukum kebiasaan yang tidak tertulis di bidang ketatanegaraan.  Dengan lain perkataan, bahwa konvensi ketatanegaraan adalah kelaziman-kelaziman yang timbul dalam praktek hidup ketatanegaraan.
Konvensi ketatanegaraan juga dapat diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum.
Dari beberapa pembahasan masalah konstitusi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi tidak sama dengan Undang Undang Dasar. Undang Undang Dasar hanya merupakan bagian dari konstitusi yaitu konstitusi yang tertulis. Materi muatan atau isi konstitusi pada umumnya mengatur tiga masalah pokok, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya; ditetapkannya susunan ketata­negaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatane­garaan yang bersifat fundamental.
Apabila kita lihat praktek dibeberapa negara, maka nampak bahwa tidak semua negara memberi keduduk­an yang lebih tinggi kepada Undang Undang Dasar daripada undang-undang dalam arti formal. Namun pada umumnya, negara-negara mengakui supremasi Undang Undang Dasar di atas segala peraturan perun­dangan lainnya, hal ini terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat daripada pembuatan undang-undang.
Kedudukan dan fungsi konstitusi dalam suatu negara ditentukan oleh ideologi yang melandasi negara tersebut. Berhubung dengan hal itu, konstitusi di zaman  modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan prinsip-prinsip hukum, haluan negara dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.
FAKTOR-FAKTOR DAYA IKAT KONSTITUSI
Mengawali pembahasan pada bab ini, ada satu permasalahan yang memerlukan alternatif jawaban konkrit yaitu berangkat dari pertanyaan sederhana, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi warga negara mentaati suatu konstitusi? Mungkin alternatif jawabannya banyak, namun penulis membatasi diri dengan menggunakan tiga jalur pendekatan yaitu pen­dekatan jalur hukum, aspek politik, dan aspek moral. Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa itu warga negara?
Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kela­hiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang di­sahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dalam suatu negara tertentu.
Sedangkan pengertian tentang negara itu sendiri sangat beraneka ragam. Di antaranya, negara didefinisikan sebagai suatu susunan kelas atau organisasi satu kelas yang terdiri atas kelas-kelas lain. Definisi yang lain lagi ialah "satu-satunya organisasi yang mengatasi kelas­-kelas dan mewakili masyarakat sebagai satu keutuh­an?
Berdasar pada rumusan di atas, maka yang dapat digolongkan sebagai warga negara ialah penduduk asli dan atau orang asing yang dinyatakan secara syah oleh undang-undang sebagai warga negara baik yang menduduki jabatan sebagai alat kelengkapan negara maupun rakyat biasa.
Setelah menemukan rumusan arti “warga negara” sampailah pada pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan warga negara terhadap konstitusi.
PENDEKATAN DARI ASPEK HUKUM
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumus­kan) melainkan juga dalam pelaksanaannya sesuai de­ngan hukum harus sesuai dengan hukum kodrati. De­ngan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat.
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk mencipta­kan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara. Kendatipun hukum dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.
Dimana titik taut antara pembahasan hukum di atas dengan konstitusi. Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran positivisme hukum maka kon­stitusi itu mengikat, karena ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang di dalam­nya sarat dengan ketentuan sanksi yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik, kursif penulis).
Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawas­an negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagai­mana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-­prinsip ini mengandung jaminan terhadap ditegak­kannya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut.  Prinsip wawasan negara hukum yang dikemukakan oleh Zippelius tadi pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada pada materi muatan konstitusi yang disam­paikan Steenbeek pada Bab I di muka.
Berarti berbicara tentang esensi hukum positif, wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-alat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara.
PENDEKATAN DARI ASPEK POLITIK
Ada dua hal yang menarik dalam pendekatan aspek politik ini, yaitu pernyataan hukum sebagai produk politik dan bagaimana hubungan hukum dengan kekuasaan.
Banyak di antara sarjana ilmu politik mengatakan bahwa hukum adalah produk politik, artinya setiap produk hukum pasti merupakan kristalisasi dari pemi­kiran dan atau proses politik. Oleh sebab itu kegiatan legislatif (pembuat undang-undang) lebih banyak me­muat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika perbuatan hukum ter­sebut dikaitkan pada masalah prosedur. Dengan de­mikian lembaga legislatif lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum.
Masih dalam perspektif yang sama, Mulyana W. Kusumah menyatakan bahwa hukum sebagai sarana kekuasaan politik menempati posisi yang lebih domi­nan dibandingkan dengan fungsi lain.  Salah satu indi­kasinya adalah negara sebagai suatu organisasi kekuasaan/ kewibawaan, mempunyai kompetensi untuk menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat meme­nuhi kebutuhan-kebutuhannya secara maksimal. Da­lam kerangka pelaksanaan kekuasaan inilah tindakan pemerintah dalam suatu negara perlu dibatasi dengan konstitusi, walaupun dalam praktek kenegaraannya kadang-kadang hukum sering disimpangi dengan dalih politik.
Van Apeldoorn dalam hubungannya “hukum dan kekuasaan” menyatakan bahwa banyak orang yang mengikuti pendapat bahwa hukum adalah identik dengan kekuasaan. Padahal sebenarnya tidak semua kekuasaan adalah hukum, karena keduanya tidak mem­punyai arti yang satu. Memang hukum mendekati pengertian kekuasaan, dikarenakan negara harus diberi kekuasaan untuk menegakkan hukum. Sebab tanpa kekuasaan hukum hanya akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran dan sebaliknya kekuasaan sendiri akan ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Selanjutnya Apeldoorn mencatat beberapa peng­ikut paham hukum adalah kekuasaan sebagaiberikut: Pertama, Kaum Shopis di Yunani berpendapat bahwa keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat; kedua, Lassalie mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah Undang Undang Dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas melain­kan merupakan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Hanya sebagai kekecualian dan dalam keadaan luar biasa (yakni pada waktu revolusi) para pekerja dan orang kecil merupakan ba­gian dari konstitusi; ketiga, Gumplowics mengatakan bahwa berdasar atau penaklukan yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya; keempnt, pengikut aliran positivisme banyak yang berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum merupakan hak orang yang terkuat.
Berangkat dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, yaitu dengan pendekatan politis maka hukum adalah produk politik yang telah menjadikan badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai ba­dan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang. Proses yang dilaku­kan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan atau proses politik. Sehingga produk politik yang be­rupa konstitusi atau segala macam peraturan perun­dang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuan­nya bagi warga negara. Kemudian hubungan hukum dan kekuasaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk mena­atinya.
PENDEKATAN DARI ASPEK MORAL
Moral adalah pengaturan perbuatan manusia seba­gai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahan diri secara mutlak. Moral tidak mengenal tawar-menawar, menuntut ketaatan secara mutlak. Tetapi moral tidak mengenal aparat atau sarana untuk menuntut dari kita manusia supaya kita melaksanakan apa yang diminta oleh moral. Moral tidak dapat melembaga. Disamping itu moral menuntut bukan hanya perbuatan lahiriah manusia melainkan juga sikap batin manusia. Manusia secara total sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial tunduk kepada norma moral.
Paul Scholten menambahkan bahwa keputusan moral adalah otonom/teonom. Barangkali yang dimak­sud dengan “teonom” adalah hukum abadi, yakni kehendak Illahi yang mengarahkan segala ciptaan-­Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal sanksi, tapi tidak bersifat lahiriah melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu, me­nyesal, dan karena orang yang melanggar moral merasa dirinya tidak tenang dan tidak tenteram. Di sinilah esensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup manu­sia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pan­dang suku, agama, dan tidak mengenal rasial. Mengenal daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu ter­tentu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.
Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkanpada nilai-nilai moral. Lebih tegas lagi seperti dikatakan di muka bahwa konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.
Dua sarjana kenamaan juga memberikan tesisnya yang mendukung pernyataan di atas, menurut K.C. Wheare konstitusi mengklaim diri mempunyai otoritas dengan dasar moral. William H. Hewet dalam pendiriannya menyatakan bahwa masih ada hukum yang lebih tinggi di atas konstitusi yaitu moral.
Lalu muncul pertanyaan dalam benak penulis, apa yang menjadi dasar hukum kalau moral mempunyai kedudukan lebih tinggi di atas konstitusi ? Wheare memberikan pertimbangan sebagai berikut, sepertinya moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu komu­nitas untuk menaatinya. Adapun teori moral yang digunakan untuk mendefinisikan ketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara con­stitutional phylosophy jika aturan konstitusi bertentang­an dengan etika moral, ia dapat disimpangi. Sebagai contoh konstitusi yang mengesahkan perbudakan. Sebaliknya jika aturan konstitusi itu justru menopang etika moral, maka konstitusi mempunyai daya berla­kunya di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan sikap patuh masyarakat terhadap konstitusi, Baharuddin Lopa, menyatakan bahwa kepatuhan kepada hukum (konstitusi, kursif penulis) bisa disebabkan karena adanya faktor “kete­ladanan dan rasio”. Pola keteladanan itu bisa dipakai bahkan efektif berlakunva apabila lapisan atas (baca: supra struktur) mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap hukum dan berakhlak mulia, sebab bila tidak akan berbahaya. Sementara arus bawah atau lapisan bawah (baca: infra struktur) dapat terbawa-bawa meng­ikuti apa saja yang dilihat dari perilaku atasannya.
Atau sebaliknya justru menjadi “sikap berontak” akibat  pemasungan struktural yang dikondisikannya. Visi keteladanan ini, sejalan dengan misi Kerasulan Muhammad SAW. Ke dunia ini untuk memakmurkan bumi dan memberi contoh keteladanan “akhlak yang mulia” (al-Hadits).