Jumat, 10 Mei 2013

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERTANAHAN OLEH : RUSMADI MURAD, S.H., M.H. BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2008

DAFTAR  ISI
BAB I       PENDAHULUAN              ……………………………………….…         1
BAB II  UUPA SEBAGAI UNDANG-UNDANG POKOK          ……..….. 10
1        Kedudukan UUPA dalam susunan Tata Hukum Indonesia              10
1        UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
1        yang mengatur Agraria  …………………………………..  14
1        UUPA pada masa yang akan datang……………………….         16
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SEBELUM DAN PADA SAAT BERLAKUNYA UUPA                …..          18
  1. Politik Hukum Agraria pada masa Pemerintahan Belanda..            18
  2. Sebelum berlaku UUPA                …………………………………..  21
  3. Pada saat berlakunya UUPA        ………………………………        24
BAB IV  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SESUDAH BERLAKUNYA UUPA   ………………………..               56
  1. Masalah UUPA sebagai Undang-Undang Pokok …………   56
  2. Peraturan Pelaksanaan …………………………………… 59
  3. Masalah Penerapan Peraturan  ……………………………..         66
    1. Kedudukan Hukum Peraturan-Peraturan Pertanahan
    2. Benturan dengan peraturan-peraturan yang mengatur pembangunan /sektor lain.
BAB  V PELAKSANAAN HUKUM (RECHTSHANDELING)
1   Masyarakat dan Hukum
2   Penafsiran
a. Penafsiran Subsumptif
b. Penafsiran Gramatikal
c. Penafsiran Sistimatis
d. Penafsiran Historis:
1) Penafsiran menurut sejarah pembentukannya;
2) Penafsiran menurut sejarah hukumnya.
e. Penafsiran Sosiologis
f. Penafsiran Komparatif
g. Penafsiran Futuristis
h. Penafsiran Terbatas (Restriktif)
i.  Penafsiran secara Luas (Ekstensif)
j.  Penafsiran Resmi (Otentik)
k. Penafsiran Keilmuan:
1) Penafsiran antar Disiplin Ilmu Hukum;
2) Penafsiran antar Disiplin Keilmuan Lain.
3   Konstruksi Hukum
a. Konstruksi Analogi;
b. Argumentum a Contrario;
c. Penyempitan atau Pengkonkritan Hukum (Rechtsvervijning)
d  Fiksi Hukum
4    Penemuan Hukum (Rechtsvervinding)
a. Penemuan Hukum Tertulis;
b. Penemuan Hukum Adat.
c. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999.
BAB V  PENUTUP              ……………………………………………………             80
  1. Kesimpulan
  2. Saran
1        BAB I
1        PENDAHULUAN
1        Dalam sistim berlakunya hukum suatu peraturan perundangan dinyatakan baik dan benar apabila  memenuhi unsur-unsur  :
1        1. Yuridis, yaitu Peraturan perundang-undangan tersebut tidak saling bertentangan dengan aturan-aturan `lain.(Tap MPR No. III/MPR/2000 jo UU No. 10 Tahun 2004 dan PP No. 68 Tahun 2005)
1        2. Sosiologis, sesuai karena diakui dan diterima oleh masyarakat bukan karena “dipaksakan” berlakunya ```oleh Pemerintah.
1        3.            Filosofis, yaitu ketentuan-ketentuan peraturan perundangan tsb. mencerminkan dan sesuai dengan cita-cita hukum dan nilai-nilai positif yang berlaku di masyarakat.
1        Menurut Hasil pengkajian akademis Peraturan tsb. berlaku dengan baik apabila didukung faktor-faktor:
1        1. Peraturan perundangan tersebut cocok dan tidak saling bertentangan dengan aturan lain
1        2.            Mentalitas dan pengetahuan petugas penegak hukum terhadap peraturan perundang-undangan tersebut
1        3.            Fasilitas untuk mendukung pelaksanaan hukum/peraturan perundang-undangan tersebut.
1        4.            Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku hukum
Mustapadidjaja AR.  memandang Peraturan perundang-undangan tersebut sebagai hasil proses suatu Sistem Kebijakan dalam rangka penyelenggaraan Negara yang disebut dengan kebijakan publik.
n  Irawan Soejito menyatakan beberapa kendala dan kesulitan dalam penerapan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang antara lain bahwa karena sifatnya yang sentralistik, undang-undang tidak mungkin dibuat dan berfungsi untuk menggantikan keseluruhan hukum adat dan peraturan-peraturan lain yang berlaku secara regional.
n  Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang sejauh mungkin dapat digunakan terus menerus oleh masyarakat yang senantiasa terus berkembang.
Contoh undang-undang yang dianggap baik yaitu :
  • Undang-undang organik; yang dibuat oleh Thorbecke yaitu dengan sedikit kalimat pendek melahirkan apa yang akan dikatakannya itu tersusun secara teliti dan jelas.
  • Code Civil Perancis (1804) suatu undang-undang yang dapat dimengerti dan dipahami sedalam-dalamnya oleh rakyat.
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata Swiss, yang disusun Engen Huber; yang dinilai uraian pada pasal-pasalnya, kaidah-kaidahnya sederhana tapi mudah dimengerti dan tepat.
  • Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960, LN 1960 No.104), suatu undang-undang Nasional yang menggantikan warisan undang-undang Kolonial menurut anggapan umum dipandang sebagai suatu undang-undang yang baik sekalipun ditinjau dari segi teknik perundang-undangan, disana-sini masih dapat disempurnakan.
  • Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL., menyatakan bahwa unsur teknik perancangan merupakan unsur yang lain yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundangan yang baik.
Ketetapan No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menetapkan tata urutan yaitu :
  1. UUD 1945 (termasuk Pancasila yg termuat dalam                                              Mukadimah) sebagai sumber hukum dasar Nasional;
2.    Tap MPR RI;
3.    Undang-undang;
4.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5.    Peraturan Pemerintah;
6.    Keputusan Presiden;
7.    Peraturan Daerah.
Ketetapan tersebut menegaskan  setiap aturan hukum yang lebih rendah dan aturan yang dibuat oleh MA, BPK, Menteri, BI, Badan, Lembaga atau komisi tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
Asas Peraturan Perundangan yang baik (UU No. 10 Tahun 2004 Ttg Pembentukan Peraturan Perundangan):
1.    Kejelasan Tujuan;
2.    Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3.    Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4.    Dapat dilaksanakan;
5.    Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6.    Kejelasan rumusan; dan
7.    Keterbukaan.
Materi muatan tersebut mengandung asas :
a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. kebangsaan; d. Kekeluargaan;e. Kenusantaraan; f. Bhinneka tunggal ika; g Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. K. asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan perundangan yang bersangkutan.
n  Hukum Positif dihadapkan kaidah hukum tidak tertulis.
n  Frederick C v Savigny :” Das Recht Wird nicht gemacht, aber Ist und Wird mit dem volke”
n  Ter Haar dengan beschikkingsleer (ajaran Keputusan): Hukum terbentuk dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan diakui oleh Penguasa (adat) dalam keputusan-keputusannya.
n  Prof. Dr. CFG. Sunarjati Hartono, SH.6) menyatakan bahwa memang suatu kebiasaan dapat membentuk hukum dalam masyarakat. Dalam masyarakat seperti Indonesia  yang membangun secara berencana, hukum yang harus membentuk kebiasaan.
n  Hukum  mempunyai 4(empat) fungsi :
n  . Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan;
n  . Hukum sebagai sarana pembangunan;
n  . Hukum sebagai sarana penegak keadilan;
n  . Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
n  Siapa yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan ?
n  Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH.  menyatakan pendapatnya bahwa mereka (lembaga) yang ditunjuk dan diperintahkan oleh UUD dan penerima mandat dari Lembaga  Tertinggi Negara (MPR)  Kepala Negara langsung pula menerima mandat dari MPR  untuk :
1.            Menjalankan UUD 1945
2.            Menjalankan GBHN
3.           Menjalankan Pemerintahan Negara pada umumnya.
n  Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut diperlukan adanya peraturan perundangan
BAB II  Kedudukan UUPA dalam Susunan dan Tata Hukum Indonesia
n  Apakah UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 LN 104-1960) ini termasuk hukum publik atau perdata.
n  Timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru masyarakat menyebabkan timbulnya kaidah dan pranata-pranata baru yang sulit dikategorikan kedalam bentuk sistem hukum perdata maupun sistem hukum publik (Hukum Continental dipengaruhi Hukum Anglo Saxon)
n  Prof. Iman Soetiknjo dengan menunjuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 ayat (1) UUPA dan ayat (3).
n  Kaidah-kaidah dalam UUPA bersifat kolektif dan bersifat privat yaitu mendasarkan kepada sifat hakekat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial, mementingkan kerjasama, kooperasi, gotongroyong, mencegah pemerasan dan melindungi golongan ekonomi lemah (Pasal 11, 12 dan 13 UUPA).
n  Prof. Boedi Harsono menyatakan sumber Hukum Agraria Nasional tertulis sebagai berikut :
1.    Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 33 : 3)
2.    UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
3.    Peraturan pelaksanaan UUPA
4.    Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA  yang  dikeluarkan sesudah 24 September 1960 karena suatu masalah yang perlu diatur (UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya)
5.    Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan (Hukum positif yang bukan lagi hukum Nasional).
n  Bagaimana selanjutnya mengenai pengaturan hukum perdata mengenai bumi ini setelah berlakunya UUPA pada tgl. 24 September 1960 ?
n  Pasal 2 (2) huruf b dan c UUPA menyatakan Negara yang akan menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan bumi dan antara orang dengan orang yang menyangkut perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
n  Pasal 16 UUPA tidak mengatur secara terperinci tentang bagaimana seseorang atau badan hukum selaku pemegang hak atas tanah untuk mewujudkan dan mempertahankan haknya, maupun kewajiban -kewajiban hukum apa yang harus mereka jalankan sebagai pertanggungan jawab kepada Negara
Dicabutnya Buku II KUHPerdata  mengakibatkan perlunya suatu pengaturan hukum perdata tanah walaupun  ahli hukum  membedakan hukum publik dan hukum perdata dalam sistim hukum modern, hukum adat Indonesia juga tidak mengenal pembedaan hukum publik dan perdata secara konvensional.
n  Salah satu fakta timbulnya masalah/sengketa pertanahan  dikarenakan masih adanya perbedaan pemahaman dan perselisihan pengertian hukum pertanahan  yang mempengaruhi aspirasi sehingga menyebabkan tuntutan terhadap sesuatu hak atas tanah menjadi salah sasaran.
n  Prof. Boedi Harsono.12) menyatakan bahwa dalam pasal-pasal Buku III KUH Perdata (tentang perikatan) ada pasal-pasal perjanjian yang mengatur persewaan tanah (pasal 1588 s/d 1600) yang oleh UUPA tidak dinyatakan dicabut dan Buku IV KUH Perdata (tentang Bukti dan Kadaluwarsa) juga terdapat pasal-pasal yang menyangkut hubungan hukum Lembaga Kadaluwarsa sebagai cara untuk memperoleh hak milik (eigendom) atas tanah yang disebut “acquisitive verjaring”. Lembaga tersebut dikukuhkan sebagai kebijakan hukum dalam pasal 24 Peraturan Pemerintah No 24 th 1997.
n  Juga yang menyangkut lembaga “rechts verwerking” yaitu tentang tidak berlaku/gugurnya tuntutan terhadap sesuatu hak atas tanah setelah melampaui 5 (lima) tahun hak tersebut ditetapkan ( pasal 30 (2) huruf b).
  • 2. UUPA sebagai Undang-undang Pokok yang mengatur Agraria.
  • Perlu di jelmakan suatu hukum Tanah Nasional yang realistis tidak pluralistis, berlandaskan falsafah bangsa Indonesia dan bersifat kolektif dengan tetap menghargai hak-hak perseorangan.
  • Dimasa pemerintahan Kolonial Belanda peraturan perundang-undangan yang mengatur bumi, air dan ruang angkasa terutama tanah tersebar dalam banyak ketentuan peraturan yang berlaku terhadap berbagai golongan penduduk seperti Indische Statsregeling (I.S.) Pasal 163 jo. 131 yaitu untuk golongan penduduk atau yang dipersamakan tunduk kepada Hukum Barat sedangkan bagi penduduk Bumiputera dibiarkan tunduk kepada hukum adatnya masing-masing, baik  tertulis maupun  tidak tertulis.
  • Dengan pembedaan ini Pemerintah Kolonial membuat antara lain :
    • Agrarische Wet (Stb. 1870 No.55) Pasal 51 I.S. (1925-447)
    • Agrarische Besluit (Stb. 1870 No.118)
    • Algemein Domein Verklaring (Stb. 1875 No. 119 a)
    • Domein verklaring untuk Surakarta (S. 1874-94 f), Karesidenan Manado (S. 1877-55), untuk karesidenan Zuider en Oostterafdeling van Borneo(Kalimantan Selatan dan Timur) Stb. 1888-10
    • Koninklijk Besluit Stb. 1872-117
    • Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) terutama yang diatur dalam Buku II.
    • Dalam konsiderans UUPA tersirat maksud penyusun Undang-undang mengenai apa yang diartikan dengan Agraria, yaitu bahwa hukum Agraria (nasional) meliputi fungsi bumi,air dan ruang angkasa.
Prof. Boedi Harsono,  berpendapat bahwa dalam pengertian UUPA, hukum agraria merupakan suatu kelompok bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber daya alam tertentu yaitu, terdiri atas :
  • Hukum Tanah ;
  • Hukum Air ;
  • Hukum Pertambangan;
  • Hukum Perikanan ;
  • Hukum Penguasaan atas tenaga-tenaga unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law)
  • Dalam bagian tubuh UUPA, pada Bab II mengatur mengenai Hak-hak atas tanah,air dan ruang angkasa. Kemudian pada pasal 8 UUPA juga diatur cara pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
  • Yang diatur oleh UUPA adalah Agraria dalam arti luas yang tidak hanya mengatur mengenai permukaan bumi (tanah) tetapi meliputi juga benda yang terkandung didalamnya, air dan ruang angkasa. Kelemahan ketentuan UUPA ini lebih dominan mengatur tanah dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Kelebihannya  UUPA merupakan Undang-undang Pokok yang memayungi ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan yang terkandung didalamnya.
  • 3.UUPA pada masa yang akan datang
  • UUPA sejak diundangkan tanggal 24 September 1960 pada masa penerapan dan pelaksanaannya mengalami pengujian-pengujian berdasarkan gejolak dan dinamika kehidupan masyarakat dari segi politik.
  • UUPA senantiasa dikaji oleh setiap rezim pemerintahan terutama terhadap apakah tujuan, filosofi dan yuridis tersebut sesuai atau sejalan atau mungkin bertentangan dengan politik pemerintahan yang terkait.
  • Simposium Nasional Agraria 1977 (16 tahun setelah UUPA berlaku) di Banjarmasin menghasilkan rekomendasi antara lain bahwa pada dasarnya UUPA masih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
n  Setiap UU lahir berdasarkan kebutuhan masyarakat berdasarkan kondisi yang ada pada saat itu bersifat “ photographis “ yaitu merupakan gambaran dan aspirasi dari kenyataan masyarakat pada waktu itu.
n  Terbitnya suatu UU bersifat “einmalig”, padahal dinamika masyarakat selalu berkembang. Wajar kalau masyarakat selalu menuntut suatu UU untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu bertambah. UUPA juga memiliki kekurangan, contoh : kemajuan tehnologi menuntut agar diadakan mengenai Hak atas ruang bawah tanah, Hak atas ruang udara (bangunan tinggi, monumen, jalan layang dsb), Hak guna air/bangunan dibawah air dll.
n  Contoh; UU No.16 th 1985 tentang Rumah Susun yang belum ada landasan yang jelas dalam UUPA.
n  BAB III
n  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PADA SAAT BERLAKUNYA UUPA
n  a.Politik Hukum Agraria pada masa pemerintahan Hindia Belanda
n  Undang-undang ini buat di negeri Belanda namun tidak dengan prinsip konkordasi seperti halnya KUH Perdata Indonesia.
n  Zaman cultur-stelsel (tanam paksa) hubungan hukum yang ada antara orang dengan tanah hanya sebatas hubungan sewa dengan pemerintah oleh karena Gubernur Jendral  tidak dibenarkan menjual tanah kecuali untuk tanah yang tidak luas untuk keperluan kota, desa dan kegiatan usaha, melainkan hanya menyewakan tanah yang belum dibuka.
n  Agrarische Wet  menetapkan kepada yang memerlukan dapat diberikan hak erfpacht selama 75 tahun, untuk tanah-tanah yang belum ada hak-hak pribumi, tanah yang sudah dibuka, hutan penduduk, penggembalaan umum/desa, kecuali dengan pembebasan/ganti rugi yang layak.
n  Agrarische Wet juga dibuat sebagai hasil perjuangan pengusaha besar dan penanam modal untuk meruntuhkan  sistim monopoli negara.
b. Agrarische Besluit (Stb. 1878-118)
  • Sebagai peraturan pelaksanaan (ordonansi) dari Agrarische Wet yang mengatur pemberian-pemberian hak erfpacht di P. Jawa dan Madura kecuali daerah swapraja. Karesidenan Sumatera, Manado, Kalimantan Timur dan Selatan (Buiten Gewesten)
  • Sebelum itu didaerah swapraja hanya diberikan hak konsesi perkebunan besar. Grondhuur ordonantie St. 1918-88 membolehkan rakyat menyewakan tanah kepada perusahaan kebun besar.
  • c. Algemeine domein verklaring (Stb 1875-119 a)
  • Asas bahwa  “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domein (milik) negara.”
  • Pernyataan domein ini merupakan politik hukum Belanda Untuk mencari alasan pembenar landasan hukum bahwa Negara adalah sebagai pemilik tanah  untuk melaksanakan ketentuan psl 720 KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa hanya pemilik yang dapat memberikan hak eigendom, opstal, erfpacht,  oleh karena pemberian hak adalah suatu pemindahan Hak milik (Negara) kepada penerima hak.
  • Negara harus dapat menunjukkan bukti pemilikan sesuai dengan  ketentuan hukum acara.
  • Negara selain pemilik juga penguasa sehingga berwenang untuk memberikan hak walaupun tanah tersebut belum dapat dibuktikan sebagai  miliknya.
  • 2.            Sebelum berlaku UUPA
  • Politik hukum Agraria yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan peraturan Agraria masih bertitel Barat. Burgerlijk Wetboek sebagai  landasan berlakunya hukum perdata termasuk Hukum Agraria, yang diberlakukan secara umum, dan sentralistik, pemerintah Hindia Belanda  juga mengatur dan mengakui kondisi-kondisi lokal tanah jajahannya. Misalnya : Konijnklijk Besluit Stb 1872-117 tentang pengaturan “ hak agrarische eigendom” Yaitu tanah milik yang tumbuh dan berasal dari hukum adat   yang dimohon melalui prosedur pengadilan (Uitwijzing procedur) yang menambah ketentuan pasal 570 KUUH Perdata.
  • Hak milik adat ini dikategorikan sebagai erfelijk individual gebruikrecht (hak pakai turun temurun), dengan Agraria Besluit menjadi inlands bezijtrecht dan dalam konsep domein menjadi onvrijlands domein (tanah negara tidak bebas)  menunjukkan adanya  pengakuan  penguasaan yang berhak ganti rugi yang layak kecuali tanah ulayat yang masuk golongan vrijlands domein (tanah negara bebas)  hanya diakui sebatas adanya kepentingan masyarakat hukum adat sehingga cukup diberikan recognitie.
Ketentuan peraturan lain yang  bersifat lokal diantaranya
    1. Bataviasche Grondhuur diatur lebih lanjut dengan Woonerven Ordonantie (Stb 1918-287)  mengatur persewaan tanah di kota Batavia.
    2.  Peraturan mengenai landerijen bezitirecht Stb 1926-121 yang mengatur tanah-tanah Kong-Kwan (Tionghoa), tanah ini termasuk tanah pertuanan (partikelir)
    3. Orang Tionghoa dan Timur Asing yang semula mempunyai hak usaha diatasnya menjadi pemegang Altijdurende erfpacht kemudian menjadi “ Landrijen bezitsrecht, tetapi kalau beralih kepada golongan Bumi putera, menjadi tanah milik adat;
    4. Rijksblad Yogyakarta th 1918 No 16 disebut juga sebagai domein Sultan yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak ada tanda bukti dan bukan tanah eigendom, menjadi milik  kesultanan Yogyakarta”.
    5. Tanah swapraja Sumatera Timur yang mengatur mengenai Grant Sultan (Grant .S.),yaitu hak milik adat yang lahir karena pemberian pem swapraja kepada para Kaula yang didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.
    6. Grant Controleur (Grant .C.), yang diberikan oleh Pem Swapraja kepada bukan Kaula Swapraja, didaftar di Kantor Controleur (Pejabat Pangreh Praja Belanda).
    7. Grant Deli Maatschappij (Grant D), diberikan oleh Deli Maatschappij didaftar di Perusahaan tersebut yang menyangkut tanah yang luas (untuk perkebunan tembakau, pelayanan umum, dan tanah) dari Pemerintah Swapraja Deli dengan grant.
    8. Hak Konsesii untuk perkebunan besar, diberikan oleh Pemerintah  Swapraja dan didaftar di Kantor Residen.
    9. Rijksblad Yogyakarta no 13 th 1926 dan Rijksblad Surakarta  No 14 th 1938 mengatur mengenai pendaftaran tanah-tanah milik Kaula Swapraja Yogyakarta dan Surakarta;
    10. Larangan pengasingan tanah (Grond Vervreemdingsverbood) Stb 1875-179 yaitu larangan bagi orang pribumi untuk mengalihkan tanah milik adatnya kepada orang asing (bukan pribumi)”.
    11. Verponding Indonesia (V.I) Stb 1923-425 jo Stb 1931-168 yang mengatur bagi pemegang tanah hak milik adat di wilayah gemeente untuk ditetapkan sebagai wajib pajak (wajib pajak=pemilik). Sedangkan untuk diluar wilayah gemeente dikenakan landrente atau pajak bumi didaftar di Kantor Landrente/PHB)
    12.  Land verhuur reglement Stb 1906-93 yang kemudian diubah menjadi Vorstenlands Grondhuur reglement dan selanjutnya dicabut dengan UU no 13 th 1948 oleh karena mengandung prinsip-prinsip feodal.
    13. Reglement omtrent de particuliere landerijen bewesten de Cimanuk op Java “ Stb 1912-432 Tentang usaha pemerintah untuk pembelian kembali tanah-tanah particuliere Yang berlangsung sampai dengan Tahun 1936 dengan melalui BUMN-nya pemerintah Hindia Belanda  NV. Javasche Particuliere landerijen Maatschappij
Pada zaman pendudukan Jepang, tanah–tanah particuliere  dikuasai Bala tentara Dai Nippon.
3.   Pada saat berlakunya UUPA
UUPA adalah hukum nasional yang mengatur mengenai Agraria.
        Ciri-ciri suatu hukum disebut dengan Hukum Nasional, Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCl. menyatakan bahwa Hukum Nasional adalah hukum yang dibentuk selama masa kemerdekaan (setelah Proklamasi tanggal   17 Agustus 1945).
UU No. 5 Tahun 1960 (Pasal 5) yang disusun  menurut asas-asas hukum adat tidak mengartikan hukum barat sebagai hukum positif sehingga harus diartikan atau dipahami sebagai :
  • PERTAMA  :  asas hukum kolonial tidak diteruskan karena bertentangan dengan pengertian dan asas kepemilikan, kedudukan dan fungsi tanah menurut hukum adat.
  • KEDUA  :  ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas dan ketentuan keagrariaan yang baru (UU No. 5 Tahun 1960) harus dianggap tidak berlaku … Kalau tidak ditentukan demikian, khususnya hukum Pertanahan tetap bersifat dualisme. Dimasa Kolonial ada batas-batas yang jelas antara yang tunduk pada Hukum Pertanahan Adat dan yang tunduk pada ketentuan BW. Sekarang “pilihan hukum”  diterapkan sekehendak hati, tergantung pada kemauan atau kepentingan yang bersangkutan atau hakim.
  • KETIGA  :  ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal didapati kekosongan dalam ketentuan keagrariaan baru.
Dualisme hukum  terjadi karena  “kekeliruan” menafsirkan ketentuan UU No.5 Tahun 1960 yang menyebutkan “Hukum Agraria ialah Hukum Adat”, seolah-olah hukum adat tradisional masih sepenuhnya berlaku disamping ketentuan yang didasarkan dalam UU No.5 Tahun 1960. Pemecahan masalah ini dianjurkan agar penerapan hukum positif menggunakan asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis. Namun  harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(1)    Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis apabila ketentuan hukum  tertulis merupakan pembaharuan terhadap hukum tidak tertulis atau terjadi  transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis.
(2)    Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis tidak dilakukan, apabila ketentuan hukum tidak tertulis  merupakan suatu yang tumbuh kemudian sebagai koreksi atau penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum tertulis, karena hukum tertulis telah usang atau ada kekosongan-kekosongan tertentu dalam hukum tertulis. Hukum tertulis juga tidak didahulukan apabila penerapannya  akan bertentangan dengan kepatutan, keadilan, kesusilaan, kepentingan umum atau ketertiban umum.
  • oleh Penjelasan III (1) UUPA yaitu :  ...Hukum Agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk kepada hukum adat, maka hukum Agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang merdeka dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
  • Dari uraian penjelasan tersebut terkandung semangat dan pesan kepada Pemerintah untuk senantiasa menggali dan menemukan hukum adat tanah/agraria untuk diangkat menjadi hukum positif yang modern dan sesuai dengan kemajuan hubungan dunia internasional.
  • Sehubungan dengan berlakunya UUPA timbul pertanyaan bagaimana kekuatan berlakunya peraturan-peraturan keagrariaan/pertanahan yang telah mengatur dan berlaku sebelumnya?
UU No.5 Tahun 1960 dalam Bab IV mengenai Ketentuan Peralihan memuat pasal-pasal khusus yang mengatur ketentuan peralihan atas peraturan-peraturan keagrariaan/pertanahan yaitu :
  • Pasal 56 :
  • “Selama undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
  • Pasal 57 :
  • “Selama undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 No.542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.190.”
  • Pasal 58 :
  • “Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.”
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., : “apabila suatu ketentuan peraturan dalam aturan peralihannya tidak menentukan secara tegas mengenai keberlakuan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya, dengan terbentuknya norma-norma atau lembaga-lembaga baru  maka secara materiil ketentuan peraturan yang terdahulu menjadi tidak berlaku.”
  • Hakim berperan besar untuk menetapkan atau tidak menerapkan, memberlakukan atau tidak memberlakukan ketentuan hukum menurut keyakinannya.
  • Dengan  penemuan hukum dari hakim atas , secara materiil peraturan hukum tersebut masih dapat berlaku walaupun  sebatas sebagai pedoman.
  • Contoh : Kitab UU Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) yang dengan SE. Mahkamah Agung RI tahun 1963  dinyatakan sebagai pedoman sehingga fungsinya tidak lagi sebagai kitab UU (Wetboek) tetapi  menjadi buku hukum (rechtboek) semata-mata, tetapi hakim masih menggali dan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan putusan-putusannya.
Mr. R. Soedargo  Wakil Kepala Biro Pengawasan dan Pemindahan Hak, Direktorat Agraria menyatakan perlu untuk mempelajari dan mengikuti beberapa peraturan-peraturan yang sebenarnya sudah tidak selaras lagi dengan jiwa UUPA akan tetapi masih mempunyai arti penting ditinjau dari  sudut masa peralihan dan perubahan.
Makna dari suatu ketentuan hukum adakalanya baru dapat dipahami apabila menengok ke hukum yang silam.
Kelompok peraturan mengenai :
I.     UUPA
    1. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan ketentuan-ketentuan konversi (UU No.5 Tahun 1960) dengan penjelasan.
    2. Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960)
II.    LANDREFORM
1. Penetapan luas tanah pertanian (UU No.56 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
2. Pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian (PP No.224 Tahun 1961)
III.  LAND-USE PLANNING
  1. Penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu (UU No.38 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
  2. Peruntukan dan penggunaan tanah Ancol (PP No.51 Tahun 1960).
IV. DEPARTEMEN AGRARIA, SUSUNAN DAN TUGAS
  1. Pembentukan Kementerian Agraria (Keputusan Presiden No.55 Tahun 1955).
  2. Peralihan tugas dan wewenang Agraria (UU No.7 Tahun 1958) dengan lampiran serta penjelasan.
V.    TANAH DIBAWAH KEKUASAAN LANGSUNG NEGARA
  1. Penguasaan tanah-tanah Negara (PP No.8 Tahun 1953) dengan penjelasan.
  2. Penyelesaian tanah-tanah yang dahulu diambil oleh Pemerintah Jepang (Edaran Departemen Dalam Negeri).
  3. Grondbedrijf Tawangmangu (Pranatan Mangkunegaran No.9/R. Tahun 1932).
VI. PENDUDUKAN TANAH SECARA LIAR
  1. Penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat (UU No.8 Drt. Tahun 1954) dengan penjelasan, perubahan dan penambahan.
  2. Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya (Peperpu No.011 Tahun 1958) dengan penjelasan, penambahan dan perubahan.
  3. Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya (UU No. 51 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
VII.                 TANAH DI KEBAYORAN BARU
Pedoman mengenai pelaksanaan peraturan pokok tentang tanah dikota Kebayoran Baru (Keputusan Menteri Agraria No.Sk/533/Ka Tahun 1959).
VIII. TANAH UNTUK KEPERLUAN AGAMA DAN SOSIAL
Tempat pemakaman jenazah untuk penduduk Tionghwa (Edaran Menteri Agraria No. Ka.23/2/2 tanggal 28 Agustus 1957 dan No.Ka.23/1/23 tanggal 3 Maret 1959).
  1.           IX.            PEMBELIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PEMERINTAH
-        Pembelian tanah (Edaran Menteri Keuangan No.158641/G.T.  tanggal 25 Agustus 1957).
-        Pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-undang keadaan bahaya (UU No.23 Prp. Tahun 1959) dengan penjelasan.
  1.             X.            PANITIA BERTALIAN DENGAN URUSAN              TANAH
1.  Peraturan pembiayaan panitia-panitia (Keputusan Perdana Menteri RI No.100/PM/1954).
2.  Bijblad 11372 jo.12476.
3.  Peraturan tentang panitia-panitia kerja likuidasi tanah-tanah partikelir (Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1958).
  1.           XI.            PEMBERIAN, PERPANJANGAN,             PENGHENTIAN DAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH
1.  Pemberian dan pembaharuan beberapa hak atas tanah serta pedoman mengenai tata cara kerja bagi pejabat-pejabat yang bersangkutan (Peraturan Menteri Agraria No.6 Tahun 1959).
2.  Pemberian dan pembaharuan beberapa hak atas tanah serta pedoman mengenai tata cara kerja bagi pejabat-pejabat yang bersangkutan (Peraturan Menteri Agraria No.15 Tahun 1959).
3.  Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya (UU No.20 Tahun 1961).
  1.         XII.            TANAH PARTIKELIR
1.    Penghapusan tanah-tanah partikelir (UU No. 1 Tahun 1958) dengan penjelasan.
2.    Pelaksanaan Undang-undang penghapusan tanah-tanah Partikelir (PP No. 18 Tahun 1958) dengan penjelasan.
  1.       XIII.             PERKEBUNAN
1.    Pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan (UU No.28 Tahun 1956) dengan penjelasan.
2.    Peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan (UU No.29 Tahun 1956) dengan penjelasan.
  1.       XIV.            NASIONALISASI PERUSAHAAN-            PERUSAHAAN MILIK BELANDA
1.    Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik  Belanda (UU No.86 Tahun 1958) dengan penjelasan.
2.    Pokok-pokok pelaksanaan undang-undang nasionalisasi perusahaan Belanda (PP No.2 Tahun 1959) dengan penjelasan.
  1.         XV.            CANON DAN CIJN
Perubahan canon dan cijns atas hak-hak erfpacht  dan konsesi guna perusahaan kebun besar (UU  No.78 Tahun 1957).
  1.       XVI.            PERSEWAAN DAN BAGI HASIL
  2. Persewaan tanah kepada pengusaha pertambangan (Bijbl. No.14168).
  3. Uang sewa tanah untuk tanaman tebu musim tahun 1959/1960 (Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1958).
  4. Perjanjian bagi hasil (UU No.2 tahun 1960) dengan penjelasan.
    1.     XVII.            PERATURAN-PERATURAN AGRARIA UNTUK DAERAH YOGYAKARTA DAN SOLO
1.  Hak atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No.5 Tahun 1954 Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta No.3 Tahun 1956).
2.   Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (Peraturan DIY No.11 Tahun 1954 Lembaran DIY Tahun 1956 No.7).
  1.   XVIII.            PERATURAN-PERATURAN AGRARIA UNTUK KEPULAUAN RIAU
  2. Peraturan Agraria untuk Daerah Riau (Stbl. 1923 No.253 jo.1924 No.595 dan 1926 No.392).
  3. Pendaftaran hak-hak tanah dalam Kepulauan Riau (Peraturan Penguasa Militer No.14/Per/PM/1957 tanggal 12 Desember 1957).
    1.       XIX.            PEMINDAHAN HAK ATAS BENDA-BENDA TETAP YANG TUNDUK  PADA  HUKUM BARAT
1.    Peraturan pangkal bagi larangan pemindahan hak atas benda tetap (Osamu Seirei No.2 Tahun 1942).
2.    Pemindahan dan pemakaian tanah-tanah dan barang-barang tetap yang lainnya yang mempunyai titel menurut hukum Eropa (UU No. 1 Drt. Tahun 1952) dengan penjelasan serta perubahan-perubahannya.
3.    Peraturan-peraturan L.A.A.P.L.N. yang bertalian dengan izin jual beli benda-benda tetap antara penduduk devisen dan bukan penduduk devisen (Edaran L.A.A.P.L.N. C No.317, 368, 371 dan 381) dengan lampiran-lampiran E, F dan G.
4.    Permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas  tanah (Peraturan Menteri Agraria No.14 Tahun 1961).
  1.         XX.            KADASTER
1.    Pedoman tata kerja tentang pendaftaran hak-hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria No.9 Tahun 1959).
2.    Peraturan tentang tanda-tanda batas tanah milik (Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1959).
3.    Pendaftaran Tanah (PP No.10 tahun 1961 L.N. 1961 No.28)
  1.       XXI.            BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA NEGARA BELANDA
1.    Penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (UU No.3 Prp. Tahun 1960).
2      Pedoman I untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 17 Pebruari 1960).
3.    Pedoman II untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 12 Juli 1960).
4.    Pedoman III untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 1 April 1961).
  1.     XXII.            PANITIA UNTUK MENYELESAIKAN URUSAN PEMULIHAN HAK
1.      Pengelolaan tanah/persil milik Negara berdasarkan PP No.4 Tahun 1960 (Edaran Departemen Agraria No. Ka.42/1/30 tanggal  31 Oktober 1960).
2.      Instruksi pengelolaan persil-persil milik Negara berdasarkan PP No.4 Tahun 1960 (Edaran Departemen Agraria No.Ka.42/2/15 tanggal 12 Desember 1960).
BAB IV PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SESUDAH BERLAKUNYA UUPA
  1. 1.  Masalah UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
UU tersebut sesuai dengan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka dimuat didalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut UUPA bertujuan :
  1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional dst.
  2. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
n  Pasal-pasal UUPA banyak memerintahkan dan mensyaratkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah  atau Peraturan Perundang-undangan.
n  Pasal 5 (2) UUD 1945, kekuasaan membentuk UU ada pada Presiden dengan persetujuan DPR, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
n  Peraturan Pemerintah hanya ditetapkan apabila memang diperintahkan secara tegas oleh undang-undang.
n  Bagaimana kalau tidak ada perintah UU tetapi Presiden merasa perlu untuk mengaturnya?
  • Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL.18) berpendapat bahwa presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti Keputusan Presiden (yang bersifat mengatur), kecuali apabila dilakukan akan  melanggar asas-asas umum peraturan perundangan yang baik atau larangan pemuatan sanksi pidana.
Menemukan masalah penerapan dan pemberlakuan UUPA (UU No.5 Tahun 1960) tersebut yaitu :
    1. asas-asas pada UUPA sesuai dengan penegasan pada Pasal 5 adalah berdasarkan hukum adat yang sebagian besar dalam ketentuan tidak tertulis menyulitkan dalam menentukan asas-asas hukum agraria secara lengkap.
    2.  Pembentuk UU mengisyaratkan dan menghendaki bahwa UUPA tersebut akan merupakan dasar bagi  penyusun peraturan perundangan lainnya. Kenyataannya pengaturan mengenai pertambangan dalam UU No. 11 tahun 1967 dan bahkan UU Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun 1967) tidak mengikuti fungsi UUPA sebagai Undang-undang Pokok.
    3. UUPA sebagai Undang-Undang Pokok yang bersifat hanya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan dalam garis-garis besarnya, maka untuk dapat berjalan (operasional)-nya UU tersebut disyaratkan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan.
Akibatnya adalah apabila lembaga tersebut tidak cukup berwenang dalam penyiapan peraturan tersebut maka peraturan-peraturan pelaksanaan sebatas peraturan-peraturan yang dikeluarkan lembaga tersebut (Instansi Agraria pada masa sebagai Direktorat Jenderal pada Departemen Dalam Negeri).
2. Peraturan Pelaksanaan
n  Ada peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena merupakan pendelegasian wewenang dan pengisian hukum (rechtsvacum), tetapi ada juga karena perintah dari ketentuan perundangan yang lebih tinggi.
n  UU No.5 Tahun 1960, memerintahkan banyak sekali jumlah peraturan perundangan dari mulai UU, Peraturan Pemerintah serta peraturan lainnya baik yang secara tegas dimuat dalam pasal-pasalnya maupun yang tersirat dalam beberapa ketentuan yang bersangkutan memerlukan pengaturan lebih lanjut
n  UUPA akan merupakan masalah yang besar dan strategis terbukti dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang harus dibuat.
Ada materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri, padahal menurut ilmu perundang-undangan seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi seperti :
1.  Undang-Undang;
2.  Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu);
3.  Peraturan Pemerintah;
Presiden bebas memilih bentuk PP atau Keppres dalam hal tertentu Presiden harus menggunakan PP misalnya :
Peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana
4.  Keputusan Presiden
Ada 2 (dua) macam Keppres yang dibuat Presiden selaku fungsi pimpinan administrasi negara (bestuur) yaitu membuat keputusan (beschikking) berupa ketetapan atau peraturan-peraturan (regeling).
Ada yang bersifat kongkrit, individual dan final (beschikking), ada yang bersifat pengaturan secara umum
5. Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri
Dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak lagi termasuk dalam tata urut peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri hanya dapat mengatur :
- hal-hal yang secara tegas diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
6.  Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Peraturan Daerah mengatur dalam kaitan dengan system rumah tangga daerah dimana segala urusan pada dasarnya dapat diatasi oleh Daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan Keputusan Menteri/Peraturan Menteri,  Menteri Kehakiman dan HAM dalam surat edarannya tanggal 23 Pebruari 2001 No. M.UM.01.06-27 menyatakan :
    1. Keputusan Menteri yang bersifat “mengatur” tetap merupakan    salah satu jenis/bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dibuat oleh Menteri sebagai pembantu Presiden dan sekretarisnya yang diatur Keputusan Menteri bersifat nasional.
    2. Tap MPR tersebut mensyaratkan “tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tata urut peraturan perundang-undangan yang mengindikasikan bahwa keputusan menteri adalah bagian dari jenis perundang-undangan.
    3. Materi muatan Keputusan Menteri adalah materi/substansi yang didelegasikan kepada keputusan menteri.
    4. Keputusan Menteri adalah sama dengan Peraturan Menteri sebelum berlakunya Keppres No.44/1993.
    5. Keputusan Menteri sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan berlaku diseluruh Indonesia kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Daerah, sehingga apabila ada Perda yang bertentangan dengan Keputusan Menteri, maka Perda tersebut harus dibatalkan.
    6. Perda dapat diuji material oleh Mahkamah Agung apabila bertentangan dengan Keputusan Menteri.
    7. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) bersifat teknis sesuai dengan ruang lingkup tugas/wewenang menteri yang bersangkutan.
    8. Rancangan Keputusan Menteri sebelum ditetapkan terlebih dulu dikonsultasikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Materi muatan harus diatur dengan UU dengan ukuran-ukuran :
Pertama : Materi muatan yang secara tegas diperintahkan UUD harus diatur dengan UU.
Kedua   : UU tersebut dibentuk karena berdasarkan ketentuan UU yang terdahulu.
Ketiga    : UU dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah UU yang sudah ada. Hal ini didasarkan pada prinsip, suatu peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Keempat: UU dibentuk karena menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar atau hak asasi manusia.
Kelima   : materi muatan yang menyangkut dengan kepentingan, kewajiban, beban kepada rakyat banyak harus diatur dengan UU.
Pendelegasian  terjadi karena :
  1. DPR kekurangan waktu untuk membahas secara rinci (detail) hal-hal yang harus diatur dengan UU.
  2. Faktor-faktor yang bersifat teknis, DPR tidak senantiasa mempunyai anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus
  3. Faktor kecepatan dan urgensi, delegasi pengaturan dari DPR didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan urgensi karena tata cara pembahasan di DPR relatif panjang yaitu :
Tingkat Pertama, Sidang Paripurna penyampaian Keterangan dari Pemerintah.
Tingkat Kedua,  Sidang Paripurna penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi dan Jawaban Pemerintah Tingkat Ketiga, Pembahasan oleh Komisi atau Panitia Khusus (Pansus) yang ditentukan oleh Badan Musyawarah dibicarakan/dibahas DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Panitia Perumus dan/atau Panitia Kecil yang merupakan Panitia Kerja. Tingkat keempat, pembicaraan sidang paripurna. Fraksi-fraksi menyampaikan  persetujuan terhadap RUU untuk dijadikan menjadi UU.
  1. Faktor kekenyalan/elastisitas. Mengubah UU tidak semudah mengubah misalnya Peraturan Pemerintah.
  2. 3.   Masalah Penerapan Peraturan
a. Kedudukan Hukum Peraturan Pertanahan
Pertanahan merupakan sub sistem dari  sumber daya Agraria. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa
“atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah …”
Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai sumber daya agraria diluar tanah tidak merujuk pada ketentuan UUPA.sering terjadi konflik atau benturan diantara  pengaturan dari sumber daya agraria
Pertanahan merupakan permasalahan yang bersifat multi aspek.  Pengaturan sumber daya agraria yang saling berbenturan menyebabkan kesulitan penerapan hukum terhadap kasus yang timbul di bidang pertanahan.
Apabila terjadi konflik berkaitan dengan sumber daya agraria maka peraturan pertanahan merupakan suatu lex specialis, sehingga terhadap kasus yang bersangkutan harus diterapkan peraturan pertanahan.
Suatu kasus harus diidentifikasi bahwa kasus tersebut merupakan kasus pertanahan oleh sebab itu diterapkan peraturan pertanahan.
Benturan dengan peraturan-peraturan yang mengatur pembangunan/ sektor lain.
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang kepada negara untuk :
a.    mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan  angkasa;
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
sasaran kewenangan negara untuk mengatur tersebut sangat luas yang mencakup bumi maka akan terdapat benturan antara peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanahan dengan peraturan yang mengatur di luar soal pertanahan
1) Pertambangan
Pengaturan tentang pertambangan telah diatur                dalam    undang-undang no. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan kuasa Pertambangan
Mengenai  kuasa Pertambangan dengan hak atas tanah                diatur dalam Pasal 25 s/d pasal 27 Undang-undang no. 11    tahun 1967.
Pasal 25 ayat:
(1)          Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian kepada yang berhak atas           tanah didalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun diluarnya, dengan        atau tidak dengan sengaja,
(2)          Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari kedua pemegang kuasa             pertambangan atau lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26 :
Kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya :
A.            Sebelum pekerjaan dimulai,
B.            Diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal 27
Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan,  kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
Kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
2)  Pengairan
Masalah pengairan diatur dalam Undang-Undang No.11 tahun 1974 tentang pengairan.
Prof. Budi Harsono berpendapat :
Sepanjang diatas air tersebut dapat didirikan bangunan, dapat ditancapkan tiang-tiang untuk bangunan , maka tanah yang ada dibawah permukaan air tersebut dapat diberikan hak atas tanah.”
3). Transmigrasi
Pengaturan tentang transmigrasi telah diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1972  tentang ketentuan-ketentuan masalah transmigrasi.
Pasal 7 :
Transmigrasi berhak mendapatkan tanah pekarangan dan/atau tanah pertanian dengan hak-hak tanah menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Daerah Transmigrasi harus  dibebaskan dari segala hak-hak yang ada di atasnya, oleh Menteri yang diserahi urusan Agraria                 dan selanjutnya memberikan hak hak pengelolaan atas tanah tersebut kepada Menteri ;
Apabila suatu daerah transmigrasi sampai dengan jangka waktu yang telah ditentukan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka status daerah transmigrasi kembali menjadi       tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
4)            Kehutanan
Masalah kehutanan telah diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar kemakmuran rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara sebagai mana dimaksud ayat memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
b. Menetapkan status wilayah tertentu seperti kawasan               hutan atau bukan kawasan hutan
c.  Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.
Setiap bidang tanah yang ada harus dilandasi dengan suatu alas hak berupa hak-hak atas tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 16 ayat 1 UUPA, termasuk juga hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan yang juga diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tersebut.
Seluruh bidang tanah yang ada di wilayah Indonesia harus didaftar sesuai ketentuan pasal 19 UUPA (termasuk tanah-tanah kawasan hutan). Permasalahannya adalah apabila hutan tersebut berstatus hutan negara atau hutan adat yang tidak diusahakan atau yang diusahakan oleh pihak lain (perorangan, koperasi, swasta, BUMN/D), bagaimana cara mendaftar, siapa subyek haknya dan dengan hak apa ?.
5). Minyak dan Gas Bumi.
Pengaturan tentang minyak dan gas bumi telah diatur dalam Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi, Undang-Undang No. 8 tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang telah dicabut dengan Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.
Hubungan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah telah diatur dalam Pasal 33 s/d Pasal 36.
Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas permukaan bumi.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara didalam wilayah kerjanya wajib terlebih dahulu menyelesaikan dengan pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap telah diberikan wilayah kerja maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan areal pengamanannya, diberikan Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
Bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri.
BAB V  PELAKSANAAN ATURAN HUKUM (Rechtshandeling)                        
1.            Masyarakat dan Hukum
Ubi societas ibi ius (Cicero):  dimana ada masyarakat disitu berlaku hukum
Hukum yang diatur Undang-undang tidak dibatasi 18 jenis masalah yang dirinci dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja tapi juga mengenai segala jenis kehidupan masyarakat.
Fungsi pelaksanaan aturan hukum sebagai perlindungan terhadap kepentingan manusia baik secara damai maupun terjadi pelanggaran hukum
Hukum yang dilanggar harus ditegakkan dengan memperhatikan tiga unsur:
1. Kepastian Hukum (Rechtssicherheit);
2. Kemanfaatan (Zweckmasiggkeit);
3. Keadilan (Gerechtigkeit)
Penegakkan hukum secara normatif dilakukan oleh Hakim apabila terjadi pelanggaran dan dapat dilakukan oleh penegak hukum lain dalam keadaan damai.
Pembentuk Undang-undang membuat aturan hukumnya, hakim mengkonstatir undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwanya. Hakim adalah corong undang-undang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang.
Asas “Ius Curia Novit” : Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Hakim harus menggali, menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat (psl 28 UU No 24/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman)
Prof. Mochtar Kusumaatmadja: Hakim dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat kearah pembaharuan, pembangunan hukum dan pembinaan hukum.
Kebebasan hakim tidak mutlak karena dibatasi wewenang yudisial yaitu hanya menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan cara penafsiran (interpretasi), penemuan dalam rangka penerapan hukum (rechtstoepassing) dan pelaksanaan aturan hukum (rechtshandeling)
2.          Penafsiran
Penafsiran diperlukan karena undang-undang adalah ciptaan manusia masih menunjukkan kekosongan mengingat pergeseran nilai-nilai akibat perkembangan dan perubahan masyarakat.
a.     Penafsiran subsumptif; suatu metode penerapan teks undang-undang terhadap kasus konkrit hanya dengan silogisme (berpikir logis) berupa pencocokan unsur –unsur undang-undang terhadap peristiwa konkrit, contoh: Ps 362 KUHP unsur mengambil suatu barang, sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud memiliki, secara melawan hukum; Ps 9 PP 40/1996 HGU dapat diperpanjang dgn syarat tanahnya diusahakan dengan baik, sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak, subyek pemegang hak masih tetap, belum berakhir waktunya dll.
b. Penafsiran Gramatikal;  Penafsiran yang memberikan pengertian kepada Undang-Undang berdasarkan arti kata-kata sesuai kaidah bahasa. KUHPidana adalah terjemahan dari Wetboek van Strafrecht (WvS Belanda) contoh Ps 424 “Indonesische gebruiks rechten” diterjemahkan dengan “Hak Pakai Indonesia” yang dalam UUPA tidak dikenal lagi.
c.   Penafsiran Sistimatis; Penafsiran yang menghubungkan antara satu pasal dengan pasal lain sebagai bagian dari sistimatika undang-undang yang merupakan bagian dari sistem hukum. Contoh: pengertian Tanah Negara dalam konteks UUPA (Hak Menguasai Negara) atau “Lands domeins” dalam Domeinverklaring ps 1 Agrarische besluit (Stb 1870-118)
d. Penafsiran Historis ; Penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan cara meneliti: 1) sejarah hukumnya dan 2) sejarah pembentukan dan terjadinya undang-undang tersebut. Contoh: Mengartikan hak sewa dalam UUPA dapat diketahui dari pandangan pidato Ketua DPRD-GR tgl 12 September 1960.
e.  Penafsiran Sosiologis; Penafsiran ini disebut juga penafsiran teleologis yaitu makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyaraktan. Contoh: Psl 362 KUHPidana “eenig goed” diterjemahkan sebagai “barang sesuatu” Hakim menggunakan kata barang tersebut termasuk jaringan dan aliran listrik.
Penafsiran ini mendekatkan kesenjangan berlakunya hukum positif (rechtpositiviteit) dengan daya kerja hukum (rechtswerkerlijkheid)
f.   Penafsiran Komparatif: Penafsiran dengan metode melalui cara membandingkan sistem hukum yang berlaku dalam hukum nasional, hukum asing atau hukum internasional. Contoh; kasus pembatalan tanah Hak Pakai No 78/Karet Semanggi Kedutaan Besar Kerajaan Saudi Arabia sehubungan pasal 31 (1) dan (3) Vienna Convention On Diplomatic Relations And Optional Protocols 1961, Putusan MA-RI tdk dapat dieksekusi thd subyek hukum yang dijamin kekebalan diplomatiknya dari yurisdiksi hukum pidana,sipil dan administrasi.
g.  Penafsiran Futuristis; Apabila undang-undang yang berlaku (ius constitutum) tidak dapat menjelaskan suatu penafsiran dapat ditempuh metode berpedoman kepada undang-undang yang akan datang (ius constituendum) yang pasti akan diundangkan (dugaan politis). Contoh: pengertian “hak atas tanah” ps 4 (2) UUPA akan termasuk juga “hak guna ruang atas tanah” dalam RUU Pertanahan.
h. Penafsiran Terbatas (Restriktif); metode interpretasi yang sifatnya membatasi ruang lingkup suatu ketentuan undang-undang dengan bertitik tolak menurut arti bahasa. Contoh; Hak Tanggungan atas tanah hanya dibebankan diatas tanah dengan hak sebagaimana diatur dalam psl 16 UUPA sedangkan untuk yang belum bersertipikat akan dibebani hak tanggungan setelah  hak tanahnya didaftar terlebih dahulu (ps 10 UU No.4/1996).
i.  Penafsiran secara Luas (Ekstensif); adalah metode interpretasi yang membuat interpretasi yang melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Contoh; perkataan “menjual” ps 1576 KUHPerdata berarti “jual beli” ps 1457 berati “peralihan hak”. Bijblad No.11372 memperluas termasuk “pembelian tanah untuk Pemerintah” (Aankoop van Gronden), “pembebasan tanah” (Permendagri No.15/1975), “pengadaan tanah” (Keppres No.55/1993 dan Perpres No.65/2006 jo No.36/2005).
j.     Penafsiran Resmi ( Otentik); Penafsiran yang dilakukan oleh si pembuat undang-undang dengan mencantumkan arti beberapa kata yang dimuat dan digunakan didalam peraturannya. Contoh; untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “rumah susun” dirumuskan dalam psl 1 angka 1 UU No.16/1985 Tentang Rumah Susun. Psl 1868 KUHPerdata tentang akte , psll 86 KUHPidana mengenai ruang lingkup kejahatan.
k. Penafsiran Keilmuan; penafsiran yang biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut: 1) antar  berbagai disiplin ilmu hukum. Contoh; pengertian “korupsi”, usia dewasa untuk melakukan perbuatan hukum, dituntut pidana, perkawinan dari berbagai sudut pandang hukum pidana (psl 45 KUHPidana),hukum pidana khusus (psl 12 dan 12 a UU No 31/1999 jo No.20/2001), hukum perdata (psl 29 KUHPerdata), hukum administrasi ( UU No. 1/1974 jo PP No. 9/1975), UUPA dan PP No. 40/1996 tidak mengatur usia minimal sebagai subyek hak atas tanah.
Dan 2) antar berbagai disiplin keilmuan lain seperti ilmu politik, ekonomi, sosial, budaya, antropologi, teknologi informasi dll. Contoh; Kejahatan cyber crime, pencucian uang harus menggunakan pengertian yang yang digunakan dalam teknologi informasi dan ilmu keuangan negara dan perpajakan.
Metode penafsiran-penasiran merupakan serangkaian daftar opsi yang dapat digunakan oleh para pengambil keputusan untuk menemukan hukum yang tepat.
Penafsiran pada dasarnya merupakan tugas dan kewajiban hukum dari hakim walaupun digunakan juga oleh pengambil keputusan non yudisial (administrasi).
Semangat penafsiran dapat menimbulkan ketidak pastian hukum apabila tidak dilakukan pembatasan seperti dianutnya single interpretation (penafsiran tunggal)
Prof. Yudha Bhakti : Setiap tafsiran dibatasi dan tidak boleh sewenang-wenang terhadap kaidah-kaidah peraturan yang sudah mengikat, cara penafsiran ditentukan oleh:
a)            materi peraturan perundangan yang bersangkutan,
b)            tempat perkara diajukan dan c) menurut zamannya.
 3. Konstruksi Hukum
Apabila metode penafsiran secara keseluruhan dan penerapan ketentuan undang-undang telah dilakukan tetapi kaidah-kaidah hukum, hukum kebiasaan atau hukum adat juga tidak ada ketentuannya berati kita telah berhadapan dengan kekosongan hukum formil (rechtsvacant)
Konstruksi hukum adalah cara kerja dan proses berpikir dalam rangka pembentukan suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) untuk mengisi ruang kosong setelah mengidentifikasi antara sistem materil dan formil hukum yang menjadi dasar suatu lembaga hukum yang bersangkutan berdasarkan ketentuan yang mengandung persamaan-persamaan menurut pendapatnya merupakan asas hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Contoh;  Penetapan PN Jakarta Selatan dan Barat No. 546/73.P kasus penggantian nama Iwan Rubianto menjadi Vivian Rubiyanti sehubungan perubahan fisik dari pria menjadi wanita. Contoh lain; Hak Pakai  instansi pemerintah dan Hak Pengelolaan sebagai lembaga hukum pertanahan yang berasal dari “beheersdaad” dalam PP No.8/1953 tentang Penguasaan Tanah Negara.
  1. Konstruksi Analogi; analogi adalah memperluas arti kata dalam undang-undang yang lazimnya digunakan dalam perkara perdata
apabila setelah melakukan interpretasi masih belum menemukan arti untuk dapat dikenakan kepada suatu peristiwa. Contoh: Suatu peraturan mengenai peristiwa A diterapkan terhadap peristiwa B yang semacam dengan peristiwa A misalnya  pasal 1576 KUHPerdata menentukan bahwa jual beli tidak memutuskan sewa menyewa, kemudian perbuatan hibah dan peristiwa pewarisan juga diterapkan karena bersifat sama.
  1. Argumentum a Contrario; cara menjelaskan makna undang-undang didasarkan pengertian yang sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dengan undang-undang.
Contoh; peristiwa masa iddah bagi janda pada psl 39 PP No.9/1975 jo UU No.1/1974 tetapi tidak mengatur masa “tunggu” bagi seorang duda disini digunakan logika a contrario tidak perlu menunggu waktu utk kawin lagi. Contoh lain;
Ps 52 (1) PP No. 24/1997 mengenai pencatatan hapusnya hak atas tanah dan PMNA/KBPN No. 9/1999 psl 124 (2) harus didasarkan kepada amar putusan yang secara tegas membatalkan. Secara logika a contrario putusan yang tidak beramar demikian tidak berlaku untuk dasar penghapusan.
  1. Rechtsvervijning (Penyempitan dan Pengkonkritan Hukum); biasa disebut juga dengan Penghalusan Hukum, adalah metode mengkonkritkan atau menyempitkan aturan hukum yang terlalu abstrak, luas dan umum supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
Contoh; Perbuatan melawan hukum psl 1365 KUHPerdata menurut arrest Hoge Raad tgl 31 Januari 1919 ( kasus Cohen vs Lindenbaum) mengartikan melawan hukum bukan lagi bertentangan dengan undang-undang semata-mata tapi juga kesusilaan dan kaidah kepatutan yang berlaku di masyarakat yang tidak tertulis. Contoh dalam hukum pertanahan tentang hapusnya hak atas tanah terhadap hak tanggungan yang membebaninya,
Psl 18 (4) UU No. 4/1996 hapusnya hak tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.
  1. Fiksi Hukum; Hukum adalah sesuatu yang abstrak, dan berdasarkan asas “ in dubio pro reo” yaitu bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang. Fiksi berbeda dengan kenyataan dan persangkaan atau dugaan.
Contoh; seorang laki-laki dan perempuan dalam satu kamar dengan satu ranjang disangka mereka telah berzinah. Seorang buta huruf tidak dapat mengelak fiksi hukum bahwa ia tidak tahu undang-undang karena tidak dapat membaca. Contoh; Psl 33 PP No. 10/1961 Pengumuman sertipikat hilang kepada publik harus diumumkan pada Berita Negara agar memenuhi asas fiksi tersebut. Ketentuan ini tidak dimuat dalam PP No. 24/1997.
4. Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Penemuan hukum dilakukan hakim (nasional maupun internasional) apabila berhasil menemukan suatu hukum dalam mengantisipasi kekosongan hukum melalui penafsiran dan konstruksi hukum sehingga melahirkan kepastian hukum dan keadilan.
Penemuan hukum adalah bagian evolusi hukum dimulai dari “penafsiran” sehingga menjadi “penemuan” dengan tidak keluar dari undang-undang.
a.  Penemuan Hukum Tertulis; sering dikaitkan dengan  :
1)  Rechtsvorming yaitu pembentukan hukum dengan merumuskan peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang;
2) Rechtstoepassing (penerapan hukum) yaitu menerapkan peraturan abstrak terhadap peristiwa konkrit;
3)  Rechtshandhaving (pelaksanaan hukum) yaitu menjalankan hukum baik ada sengketa/pelanggaran maupun dalam damai;
4) Rechtsschepping (Penciptaan Hukum) yaitu hukumnya tidak ada diciptakan menjadi ada.
5) Rechtsvinding (Penemuan hukum atau law making di Inggris) yaitu hukumnya ada tapi perlu digali dan diketemukan kaidahnya (das solen) atau berupa perilaku atau peristiwa (das sein) vide psl 28 UU No 4/2004.
Pasal 25 UU No 4/2004 sumber hukum tidak tertulis dapat digunakan sebagai alasan pengambilan keputusan. Hukum adat termasuk bentuk hukum tidak tertulis. Pasal 5 UUPA menyatakan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat.
b. Penemuan Hukum Adat; mengingat hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis, proses penemuan hukumnya memerlukan metode dan cara-cara yang spesifik
C. van Vollenhoven menggambarkan hukum adat sebagai “mantera ghaib.” Penyelidikannya harus dilandasi perasaan hukum yang tersirat dalam keputusan-keputusan, kebiasaan, pepatah adat, dlsb.
Upaya mengangkat kaidah-kaidah hukum adat Pemerintah tahun 1983 membentuk Tim Pengkajian Hukum Adat untuk menyusun RUU Hukum Perikatan Nasional Ketua : Prof. Mahadi dan Prof. Wiryono sebagai anggota karena UUPA mencabut Buku II B.W. Indonesia sehingga perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hukum kekayaan. Untuk ini diperlukan penelitian-penelitian ilmiah, akademis dan field research putusan penegak hukum, sikap penduduk dlsbgnya.
c. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999. Tentang Pedoman Penyelesaian Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat:
Pertimbangan :1) Hukum tanah nasional mengakui hak ulayat; 2) Masih banyak didaerah tanah-tanah dalam lingkungan pengaturan hukum adat; 3) Diberbagai daerah timbul masalah tanah ulayat; 4) Perlu pedoman untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah hak ulayat dan masyarakat hukum adat.
Hak Ulayat adalah: 1. Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu; 2. Wilayah tersebut merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya; 3. Keadaan tersebut timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tanggal 24 Juni 1999 No.400-2626 menjelaskan esensi Peraturan tsb:
1. Muatan pokok dan maksud peraturan tersebut sebagai kebijaksanaanuntuk memperjelas prisip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat” pasal 3 UUPA yang meliputi :
a.    Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat;
b.    Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat;
c.     Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanahnya.
2. Psl 3 UUPA: hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat tetap dapat dilaksanakan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”
Hak ulayat mengandung dua unsur: Pertama; unsur hukum perdata yaitu bahwa tanah ulayat tersebut adalah milik bersama para warga masyarakat hukum yang bersangkutan. Kedua; unsur hukum publik, yaitu kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat bagi para warga intern atau orang luar.
3. Penentuan masih adanya hak ulayat diperlukan penelitian tanda-tanda kehidupan ulayat meliputi tiga unsur:
a. Unsur masyarakat adat, sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya diakui dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari;
b. Unsur wilayah, yaitu tanah ulayat tersebut menjadi lingkungan kehidupan dan tempat mengambil keperluan hidupnya sehari-hari;
c. Unsur hubungan antara masyarakat tsb dengan wilayahnya yaitu tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanahnya yang masih berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.
Ketiga unsur tersebut penelitiannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah oleh suatu Tim yang keanggotaannya mengikut sertakan pihak-pihak yang berperan obyektif, yaitu tetua adat, para pakar, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil instansi terkait yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam (kehutanan,pertambangan). Penelitian dilakukan :
a. Pada waktu menghadapi permasalahan/permohonan investasi atau
b. Sebelum terjadi permassalahan tersebut.
Hasil penelitian tersebut dikuatkan dengan penetapan melalu Peraturan Daerah sesuai ketentuan Daerah masing-masing.
4. Hak penguasaan tanah ulayat dan penguasaan tanah yang diperoleh berdasarkan pelepasan hak ulayat oleh yang bersangkutan dapat didaftar sebagai hak atas tanah menurut UUPA.
Hal yang baru disini adalah pengertian pelepasan oleh masyarakat hukum adat tersebut didasarkan perjanjian dengan penafsiran menurut hukum masyarakat adat yang bersangkutan. Perlu perhatian hubungan hukum tanah tersebut apabila tanah ulayat tersebut hapus karena hukum disebabkan ketiga syarat adanya hak ulayat tersebut tidak dapat dipenuhi lagi.
Materi muatan Peraturan tersebut seogyanya diatur dalam ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Kesimpulan
a.  Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tugas dan urusan pertanahan sebagai suatu kelompok peraturan yang lahir karena perintah UUD khususnya yang bersumber dari Pasal 33 UUD 1945 menimbulkan bertumpuknya pengaturan masing-masing urusan yang satu sama lain sedikit banyak akan bersinggungan terutama dalam penerapan dan pelaksanaannya.
b.  Sistem dan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan (Undang-undang No. 10 Tahun 2004 jo Perpres No. 68 Tahun 2005) belum sepenuhnya ditaati oleh para penyelenggara negara sehingga menyebabkan materi muatan yang disiapkan instansi teknis yang bersangkutan tidak dipahami oleh instansi/lembaga pemerintah lainnya.
c. Kurangnya pemahaman mengenai arti dan pentingnya peraturan perundang-undangan menyebabkan kebingungan pada masyarakat sebagai subyek/pelaku yang harus dilayani dalam rangka tugas bidang pemerintahan, khususnya dibidang keagrariaan/pertanahan.
d. Terbatasnya konsultasi publik dan sosialisasi peraturan perundang-undangan baik pada waktu dirancang maupun setelah ditetapkan juga penyebab kesalahpahaman penafsiran sehingga merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah/sengketa pertanahan.
Saran
n  Tap MPR No.IX/MPR/2001 yang merupakan perintah dari Lembaga Negara selaku penyelenggara yang menyalurkan kedaulatan rakyat merupakan tugas Pemerintah untuk melaksanakannya.
n  Dengan menunjuk Tap MPR tersebut tentang Pembaharuan Agraria dan Pengaturan Sumber Daya Alam harus ditanggapi sebagai isyarat pentingnya suatu peraturan perundang-undangan payung bidang keagrariaan yang dapat menjawab dan memecahkan masalah tumpang tindihnya pengaturan dan kewenangan sebagai implementasi dari Pasal 33 UUD 1945.    

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar