Rabu, 30 Oktober 2013

PEMBINAAN ATAU PEMBINASAAN TERHADAP OKNUM DEVELOPER DAN/ATAU PPAT

by Yanu Editama
Kejadian yang pernah terjadi. Keinginan/hasrat memiliki rumah tentu disesuaikan dengan kemampuan perekonomian maka sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil melirik perumahan bersubsidi. Pilihan jatuh pada perumahan Cangkuang Regency di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, namun apa yang didapat ketika proses kredit kepemilikan rumah mulai jalan, banyak hal yang terasa aneh namun tetap dijalani karena sudah dilakukan upaya pengecekan di instansi terkait (misal BPN terdapat proses penerbitan sertipikat hak guna bangunan dan di PPAT yang menjabat juga sebagai NOTARIS membantu pihak Developer Cangkuang Regency memenuhi kelengkapan perijinan). Adapun keanehan yang muncul meliputi :
  • Kartu Tanda Penduduk (KTP) pimpinan sekaligus penanggungjawab Developer Cangkuang Regency tertera alamat yang ketika dicek tidak ada yang mengenal, padahal KTP tersebut menjadi lampiran dalam proses permohonan kelengkapan ijin lokasi maupun kelengkapan administrasi terkait dengan perumahan;
  • Pembeli ketika datang di kantor PPAT dalam rangka pembuatan akta jual beli tidak dihadiri oleh pihak Developer Cangkuang Regency maupun si PPAT untuk undangan akad pertama kali dilakukan. Parah atau ingin menguji si Pembeli oleh staf PPAT dengan menyodorkan kertas kosong untuk diparaf ditiap lembar halaman kertas dan terakhir tanda tangan dalam akta? ketika dijelaskan si Pembeli yang merupakan pegawai BPN tidak mau paraf dan tanda tangan, akhirnya si staf PPAT mohon maaf atas ketidaksiapan berkas dan berdalih si Pembeli memaksa waktu secepatnya dilakukan proses akad karena tempat tugas yang jaraknya jauh serta proses perijinan meninggalkan tugas ditempat kerja ada pengecualian (Catatan : proses akad itu tertulis secara jelas harus ada kesepakatan dari para pihak mengenai isi akta);
  • Si Pembeli malah ditanya perjanjian kreditnya (Perjanjian Kredit = biasa disebut dengan istilah PK) mana oleh pihak PPAT, justru pihak Pembeli kemudian balik bertanya memang tanggung jawab siapa untuk kelengkapan berkas administrasi akad di PPAT;
  • Ketika dikonfirmasi si pihak Developer Cangkuang Regency maupun si PPAT yang menjabat juga sebagai Notaris dengan bangga dan percaya diri berdasarkan pengalaman berpuluh tahun justru menyalahkan pihak Bank dan BPN dalam penerbitan sertipikat/kelancaran proses akad;
  • Adapun kesalahan pihak bank menurut pihak Developer Cangkuang Regency maupun PPAT adalah tim penilai layak dan patutnya bangunan rumah dalam memberikan penilaian dan hasil foto survey untuk diberikan kepada bank kemudian menyebabkan keputusan bank dalam memberikan perjajian kredit keluarnya lambat;
  • Sementara kesalahan pihak BPN menurut pihak Developer Cangkuang Regency maupun PPAT adalah keterlambatan keluarnya sertipikat, yang menurut pemahaman dan kesepakatan dengan kepala kantor pertanahan yang lama dapat keluar sertipikat hak milik sedang kepala kantor pertanahan yang baru memberikan hak atas tanah di pihak Developer Cangkuang Regency maupun PPAT adalah Sertipikat Hak Guna Bangunan (biasa disebut dengan istilah SHGB);
  • Pemberian SHGB membuat nilai rumah dan janji terhadap pembeli tidak sesuai dengan informasi diawal serta menambah beban kemudian hari jika ingin dirubah status tanahnya menjadi Sertipikat Hak Milik (biasa disebut dengan SHM).
  • Berikut terlampir dokumentasi terkait uraian kejadian di atas yang sudah tersimpat dalam youtube :

PENCEGAHAN MASALAH TERKAIT PENERBITAN SERTIPIKAT DI LINGKUNGAN KANTOR PERTANAHAN

By Yanu Editama
Pencegahan dapat lebih kearah usaha/itikad baik dalam pelaksanaan tugas agar tidak menimbulkan masalah kelak kemudian hari. Loket di Kantor Pertanahan dapat menyeleksi sekaligus memberikan penjelasan terkait permohonan penerbitan sertipikat sebelum didaftarkan dalam sistem komputerisasi kantor pertanahan (KKP). Loket ini sebagai pintu pertama dalam tahapan pencegahan selain pemahaman hukum pertanahan di setiap subyek hukum. Apabila diloket kantor lolos maka terdapat pencegahan ditahapan proses pengukuran dengan taat asas Kontradiktur Delimitasi, dimana sebelum dilakukan pengukuran perlu memastikan patok sudah terpasang dan memiliki kesepakatan pemasangan dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan sebagai tahap kedua dalam pencegahan. Jika masih juga lolos maka diperlukan kecematan dan ketelitian oleh Panitia A terhadap data administrasi yuridis dengan data fisik dilokasi sebagai tahap ketiga dalam pencegahan sebelum Kepala Kantor menandatangani Sertipikat Hak Atas Tanah.

Senin, 28 Oktober 2013

KONSEKUENSI TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN YANG BERLAKU (STUDI KASUS ASAS KONTRADIKTUR DELIMITASI)

Sanksi apakah yang diberikan terhadap pegawai yang tidak melaksanakan ketentuan terkait kontradiktur delimitasi khususnya pada para petugas ukur yang sudah diberikan dana PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dan dana langsung dari pemohon? cukup dilupakan dan akhirnya muncul kasus tanah terkait kontradiktur delimitasi contoh keberatan pemilik tanah yang bersebelahan? enak betul ya bagi petugas ukur, kemudian yang dapat getahnya institusi. Alternatif yang lain kenakan pasal pidana turut serta memberikan keterangan palsu atau ada saran yang lain guna memperbaiki dan itikad baik untuk menebus dosa yang merasa dosa tidak melaksanakan ketentuan yang ada. Ditunggu masukannya apalagi jika petugasnya sudah habis masa kerjanya / pensiun / pindah tempat kerja berarti yang dapat getah dan menanggung dosa orang yang tidak melakukan dosa. Apa layak dan patut buat dijadikan efek jera?
Permasalahan kadang terkait siapa yang berwenang untuk tanda tangan di berkas BPN (volwerek) terkait pemilik tanah yang bersebelahan apakah dapat hanya pembantu/anak/istri/suami dari pemilik tanah yg bersebelahan. Hati2 dengan bentuk kesepakatan dengan dalih waktu yang tidak memungkinkan pemilik tanah hadir ketika dilakukan proses pengukuran.
MY berpendapat : Orang2 yang berbudi dan berakal baik akan menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan orang lain dan mereka akan memperoleh "Berkah"
EJ berpendapat : Kena pasal Pidana PASTI... Psl 263, 266, 385 n 355... Sangsi Dinasnya, BAP n brentikan jd JU 
SS berpendapat : Tuk menghasilkan produk hukum semisal SU, perlu kegiatan berangkai bukan hanya petugas ukur semata, tp melibatkan jg supervisor, korektor hingga pejabat yg bertanggung jwb thd keabsahan SU. Shg secara teknis yuridis, bilaman terjadi kesalahan thd data mk seharusnya mjd tanggung jwb renteng diantara yg terkait. Oleh krn itu, hukum wajib d tegakkan kpd pihak2 terkait tsb sec proporsional. 

TANAH NEGARA DAN TANAH BEKAS HAK ATAS TANAH

Status tanah ketika berakhir haknya maka menjadi tanah bekas hak atas tanah. Atas Tanah Negara atau Tanah Bekas Hak Atas Tanah memberikan kesempatan kepada siapapun dalam memohon diterbitkan hak atas tanah. Tidak diperpanjangnya suatu hak atas tanah di Indonesia masih dikenal istilah tidak matinya hak keperdataan yang membuat pihak yang memiliki hak keperdataan didahulukan dari pada pihak yang lainnya. Sistem keperdataan vs Sistem Hukum Pertanahan menjadi sesuatu bentuk kompromi atas situasi kondisi terkait sisi Ideologi, politik, ekonomi, budaya dan keamanan.
Pilar hukum yang mengacu pada kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan perlu ditaati. Kepentingan secara defacto dengan dejure terkadang muncul dan memerlukan alternatif pilihan solusi yang lebih minim dalam resiko yang ditanggung.
Sengketa putusan pengadilan dapat muncul dalam hal kasus dimana ranah adminstrasi milik Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bertentangan dengan ranah privat secara keperdataan melalui Pengadilan Negeri (Perdata) dan ranah publik melalui Pidana di Pengadilan Negeri yang terkadan saling bertentangan hasil putusan pengadilannya. Pertanyaan terlintas putusan pengadilan mana yang dipilih dengan resiko terkecil, jika saling bertentangan masing-masing putusan.

Minggu, 27 Oktober 2013

ARTI PENTING PERANAN BENDAHARA GAJI DI KANTOR

Seorang bendahara gaji memiliki peran sangat penting membantu menyalurkan hak para pegawai sesuai dengan ketentuan dan tepat waktu. Seorang pegawai sekaligus menjadi Wajib Pajak (WP) perorangan ketika melaporkan kewajiban pajak tahunan ke kantor pajak pratama perlu dilampirkan format dari bendahara gaji yang terkait setiap penghasilan terkena pajak dilakukan pungutan oleh bendahara gaji disetiap bulan gaji dalam periode setahun.
Selain hal pajak di atas seorang bendara gaji juga membantu proses perpindahan yang berkas-berkas pendukung perlu data yang dimiliki oleh bendahara gaji. Secara administrasi data gaji terekam dalam sistem aplikasi arsip data komputer (ADK).Tuntutan tertib administrasi perlu diperhatikan secara khusus dikarenakan jika diabaikan dapat berakibat kerugian bagi si pegawai misal tidak tepat waktu, kesalahan dalam penginputan gaji, serta slip gaji tiap bulan harus diprint out untuk diserahkan kepada si pegawai yang penerima gaji.

Selasa, 22 Oktober 2013

BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) DI BIDANG PERTANAHAN

Benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan seperti judul di atas merupakan sumber permasalahan yang perlu segera diselesaikan dengan mengambil cara bijak sesuai pedoman negara kita yakni PANCASILA dengan cara musyawarah mencapai kata sepakat buat berdamai tentu harapan kita semua. Berdasarkan subyek (orang/badan hukum selaku pemilik tanah sebelum maupun setelah peralihan), obyek terkait status tanah diperoleh riwayat/asal usul tanah berupa data dan fakta perlu dijadikan referensi dalam pembahasan setiap penanganan selain argumentasi / pembelaan oleh pihak manapun. Amanatkan Undang-Undang terkait Agraria (UUPA), maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan solusi melalui Badan Peradilan. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), Mediasi dan Badan Peradilan.

Senin, 21 Oktober 2013

TOPIK PEMAHAMAN TERKAIT "KONTRADIKTUR DELIMITASI"



KONTRADIKTUR DELIMITASI merupakan asas dalam tahapan proses permohonan sertipikat hak atas tanah (HAT) yang wajib dipenuhi, dimana pada saat proses pengukuran dilakukan wajib menghadirkan pemilik tanah yang bersebelahan dengan bidang tanah yang dimohonkan untuk menetapkan batas bidang tanah yang bersebelahan sesuai kesepakatan dengan pemilik bidang tanah yang dimohon penerbitan sertipikat dan disaksikan oleh aparat Pemerintah setempat. Kehadiran Lurah/Kepala Desa ataupun perangkat Pemerintah Kelurahan/Desa dalam proses pengukuran lebih menjadi suatu kelembagaan kesaksian yang turut serta menyaksikan proses pengukuran. Segala proses pemenuhan asas KONTRADIKTUR DELIMITASI dibebankan pada pemilik bidang tanah yang dimohon penerbitan sertipikat dalam hal menghadirkan pemilik tanah yang bersebelahan beserta pihak Pemerintah Kelurahan/Desa dan memberikan kata sepakat dalam penetapan batas kemudian membubuhkan tanda tangan di formulir yang disediakan oleh BPN RI cq. Kanwil BPN RI Prov. ...cq. Kantah Kota/Kab. ...
Peranan Asas Kontradiktur Delimitasi memberikan Kepastian Hukum Obyek Hak Atas tanah dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan batas tanah yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan yang disaksikan dan disetujui oleh pihak yang bersangkutan (pemohon/kuasa pemohon) dan juga pihak-pihak pemilik tanah yang berbatasan serta aparatur Pemerintah Kelurahan/Desa. Adapun kendala yang dihadapi dalam penerapan asas tersebut yaitu perselisihan pendapat antara pihak pemohon dengan pihak yang berbatasan mengenai hasil pengukuran dengan buku C/Register tanah desa dan/atau peta rijikan pajak bumi dan bangunan dari Kantor Pajak (produk SPPT PBB), ketidakhadiran pihak yang berbatasan karena di luar kota, terkadang memperoleh tindakan oleh Kantor Pertanahan mengenai kendala tersebut menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya. Jaring pengamanan untuk meminta tanda tangan pemilik tanah yang bersebelahan membuat permasalahan kelak dikemudian hari diminimalisir.
Kesimpulannya penerapan asas Kontradiktur Delimitasi dalam pendaftaran tanah kadang masih belum sepenuhnya terlaksana. Dalam penyelesaian permasalahan mengenai penerapan asas Kontradiktur Delimitasi yang dialami, pihak Kantor Pertanahan menyerahkan sepenuhnya ke pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya. Upaya pencegahan masalah dapat diminimalisir pada tahapan ini.
Perlu dikenakan Pasal lalai dan membantu terjadinya peristiwa tindak pidana, jika tidak dilaksanakan Kontradiktur Delimitasi dan masuk semua unsur-unsur pidana.
Sarannya perlu adanya kerjasama antara Pemerintah Kelurahan/Desa dengan Kantor Pertanahan untuk mensosialisasikan tentang pentingnya asas Kontradiktur Delimitasi dalam pendaftaran tanah, dan lebih aktif membantu menyelesaikan permasalahannya.
Tetap perlu terdapat fungsi kontrol dari kita, oleh sebab itulah di DI 107 dan 107a, ada kolom Persetujuan yang berbatasan.



Velg Werk = kertas kerja dari juru ukur

Minggu, 20 Oktober 2013

Prona yang dilaksanakan oleh Ditjen Agraria hingga BPN RI disunting oleh Bapak Bambang Ardiantoro

www.bambangardi.wordpress.com +62.815.892.8158 bambangardiantoro@yahoo.co.id
Prolog
Prona semula akronim dari Proyek Operasi Nasional Agraria semasa pelaksanaan awal dasawarsa 1980-an (tahun 1981) oleh Ditjen Agraria, Depdagri di bawah komando Mayjen (Purn) Daryono, SH lalu kemudian menjadi Program Nasional Agraria kala diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI)—khususnya saat BPN-RI dipimpin oleh Joyo Winoto, PhD. Sifat utama Prona pada mulanya merupakan upaya Pendaftaran Tanah (berdasar PP 10/1961: penerbitan sertifikat tanah, sebagai tanda bukti hak atas tanah), selanjutnya menjadi Program Pertanahan Nasional dalam percepatan Pendaftaran Hak atas Tanah yang dikenal sebagai Legalisasi Aset Tanah warga masyarakat (berdasar PP 24/1997: Pendaftaran Tanah Pertama Kali, juga sebagai tanda bukti hak atas tanah). Selain Prona yang diperuntukkan bagi warga masyarakat umum sesuai syarat yang ditentukan, dikenal pula Pendaftaran Tanah Pertama Kali yang dinamai Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHaT) Lintas-sektor bagi warga UKM (Usaha Kecil dan Menengah), MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), Petani, Nelayan, hingga Transmigran; demikian pula Sertifikasi Tanah Pemerintah (BMN, Barang Milik Negara). Kesemua kegiatan sertifikasi tanah tersebut dengan biaya yang telah tercantum dalam DIPA bagi pekerjaan yang dilaksanakan oleh jajaran BPN-RI sehingga peserta tanpa dipungut biaya; terkecuali pengeluaran yang melekat pada si empunya tanah yang terkait proses sertifikasi tanah, antara lain dalam penyiapan fisik bidang tanah berupa pemasangan patok tanda batas bidang tanah, penyiapan yuridis berupa kelengkapan surat-surat tanda penguasaan seperti akta-akta, kuitansi, pembayaran jika diwajibkan terhadap PPh, BPTHB, dan lain-lain, meterai hingga penyediaan berkas atau warkah bukti kepemilikan yang merupakan dokumen asli ataupun salinan (fotokopy), serta lain-lain yang tidak tercantum dalam DIPA BPN-RI namun memang menjadi kewajiban peserta sertifikasi tanah. Dengan demikian, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian dalam kegiatan Prona: obyek tanah, subyek peserta, dan dokumen pelengkap syarat.

Obyek
Obyek dalam Prona dimaksudkan bagi bidang tanah yang akan disertifikatkan, yakni persil atau kaveling atau petak tanah yang wajib jelas letaknya, batas-batasnya, dan aman tanpa adanya persengketaan dalam penguasaan peserta.

Subyek
Subyek atau peserta Prona adalah masyarakat golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah, yang memenuhi persyaratan sebagai subyek/peserta Prona yaitu pekerja dengan penghasilan tidak tetap antara lain petani, nelayan, pedagang, peternak, pengrajin, pelukis, buruh musiman, dan juga lain-lain pekerja dengan penghasilan tetap:
a. Pegawai perusahaan, baik swasta maupun BUMN/BUMD dengan penghasilan per bulan sama atau di bawah Upah Minimum Regional (UMR, UMK, UMP) yang ditetapkan oleh masing-masing kabupaten/kota, yang dibuktikan dengan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan surat keterangan penghasilan dari perusahaan;
b. Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS) pangkat sampai dengan Penata Muda Tk.I (III/b), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pangkat sampai dengan Kapten dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pangkat sampai dengan Komisaris, dibuktikan dengan fotokopy Surat Keputusan (SK) pangkat terakhir;
c. Istri/suami veteran, istri/suami PNS, istri/suami prajurit TNI, istri/suami anggota Polri sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dibuktikan dengan fotokopy SK pangkat terakhir dan akta nikah; dan
d. Pensiunan PNS, pensiunan TNI dan pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun; serta
e. Janda/duda pensiunan PNS, janda/duda pensiunan TNI, janda/duda pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun janda/duda dan akta nikah.

Peserta Prona berkewajiban untuk:
a. Menyediakan/menyiapkan alas hak atau alat bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
b. Menunjukkan letak dan batas-batas tanah yang diajukan proses sertifikasi (dapat dengan surat kuasa);
c. Menyerahkan Bukti Setor Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bukti Setor Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi peserta yang terkena ketentuan tersebut;
d. Memasang patok batas tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
e. Menyediakan meterai yang diperlukan; serta
f. Melengkapi berkas sebagai persyaratan secara lengkap dan benar, termasuk masih berlaku (misal fotocopy identitas KTP, KK, dll. yang dicocokkan sesuai aslinya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat).

Kriteria Lokasi
Di dalam penetapan lokasi Prona perlu memperhatikan kondisi wilayah dan infrastruktur pertanahanan yang tersedia.
1. Kondisi Wilayah:
Lokasi Kegiatan Prona diarahkan pada wilayah-Wilayah sebagai berikut:
o Desa miskin/tertinggal;
o Daerah pertanian subur atau berkembang;
o Daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota;
o Daerah pengembangan ekonomi rakyat;
o Daerah lokasi bencana alam;
o Daerah permukiman padat penduduk serta mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan;
o Daerah di luar sekeliling transmigrasi;
o Daerah penyangga daerah Taman Nasional;
o Daerah permukiman baru yang terkena pengembangan prasarana umum atau relokasi akibat bencana alam.
2. Infrastruktur Pertanahan
Penetapan lokasi wilayah desa/kelurahan PRONA, hendaknya memperhatikan ketersediaan infrastruktur pertanahan, antara lain:
o Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
o Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T);
o Peta Penatagunaan Tanah;
o Peta Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (Fotogrametis);
o Infrastruktur Titik Dasar Teknik (TDT) dan Peta Dasar Pendaftaran;
o Teknologi Informasi dan Komunikasi;
o Mobil dan peralatan Larasita; dan
o Infrastruktur lainnya.

Kriteria Obyek Prona
1. Tanah sudah dikuasai secara fisik;
2. Mempunyai alas hak (bukti yuridis kepemilikan);
3. Bukan tanah warisan yang belum dibagi;
4. Tanah tidak dalam keadaan sengketa;
5. Lokasi tanah berada dalam wilayah kabupaten/kota lokasi peserta program yang dibuktikan dengan KTP setempat;
6. Memenuhi ketentuan tentang luas tanah maksimal obyek Prona.

Luas dan Jumlah Tanah Obyek Prona
1. Tanah Negara:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 500 m2 (lima ratus meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 2 ha (dua hektar).
2.Penegasan konversi/pengakuan hak:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 1.000 m2 (seribu meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 5 ha (lima hektar).
3. Jumlah bidang tanah:
Bidang tanah yang dapat didaftarkan atas nama seseorang atau 1 (satu) peserta dalam kegiatan Prona paling banyak 2 (dua) bidang tanah.

Tahapan Pelaksanaan Prona
a. Penyerahan DIPA (oleh Kemenkeu)
b. Penetapan Lokasi (oleh Kanwil BPN provinsi)
c. Penyuluhan (oleh Kantah Kabupaten/Kota)
d. Pengumpulan data (alat bukti/alas hak, Penetapan Peserta) oleh Satgas Yuridis
e. Pengukuran dan Pemetaan oleh Satgas Pengukuran
f. Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A
g. Pengumuman (tenggang waktu 60 hari)
h. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (Penetapan Hak)
i. Penerbitan Sertipikat (Tanda Bukti Hak)/Pembukuan Hak
j. Penyerahan Sertipikat (Tanda Bukti Hak) Tanah

Biaya untuk pelaksanaan kegiatan Prona bersumber dari rupiah murni pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan ke DIPA BPN-RI atau dana bersumber dari APBD melalui Proda (Program Daerah). Anggaran dimaksud meliputi biaya untuk:
a. Penyuluhan;
b. Pengumpulan Data (alat bukti/alas hak);
c. Pengukuran Bidang Tanah;
d. Pemeriksaan Tanah;
e. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis;
f. Penerbitan Sertipikat;
g. Supervisi dan Pelaporan.

Sedangkan biaya materai, pembuatan dan pemasangan patok tanda batas bidang tanah, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi yang terkena ketentuan perpajakan menjadi beban kewajiban peserta Prona, juga bila ada biaya perbanyakan salinan/fotokopy berkas. Biaya yang melekat pada kewajiban peserta Prona tidak dianggarkan pada APBN/APBD sehingga peserta memang tidak dibebani biaya di BPN namun masih wajib menanggung biaya yang tidak ditanggung oleh pemerintah.

Beberapa syarat yang harus disiapkan peserta Prona antara lain:
a. Pengisian Formulir permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (Rp6.000);
b. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
c. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Kantor Pertanahan;
d. Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat atau tanah garapan (Tanah Negara);
e. Fotokopy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB);
f. Asli dan fotocopy Akta PPAT/PPATS (camat setempat) untuk perolehan tanah setelah Oktober 1997; atau bukti perolehan (misal: kuitansi jual-beli sebelum Oktober 1997);
g. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
h. Menyiapkan meterai yang diperlukan;
i. Memperbanyak dokumen yang diperlukan; dan
j. Memasang patok batas bidang tanah.

Formulir permohonan memuat:
a. Identitas diri;
b. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon;
c. Pernyataan tanah tidak sengketa dan belum pernah terbit sertifikat tanah; dan
Tampilkan riwayat pesan
Pernyataan tanah dikuasai secara fisik.

Epilog
Ringkasan dalam tulisan ini bersifat umum, hal-hal lain yang khusus berlaku pada wilayah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dapat ditanyakan pada saat penyuluhan atau ke kantor; misal dasar kepunyaan seperti Petok D/C, kekitir, SKGR, SKT, SK-HUAT, dsb.
-oOo-

Setelah Dirjen Agraria kemudian menjadi Kementrian yaitu Menag/KaBPN selanjutnya BPN dan baru BPN-RI. Bahwa Program Prona itu terus dan berkelanjutan sampai Lembaga ini bernama BPN-RI. Keberlangsungan Prona dimasukkan dalam Klasifikasi Pendaftaran "Sistematis" (bukan sporadik sebagaimana yang dilakukan sekarang) agar Pengumuman/Asas Legalitas dalam proses Konversi/Penegasan Hak/Pengakuan Hak atas Tanah Adat (yang banyak sebagai Objek Prona) dapat dilakukan "hanya" 30 hari, (dalam Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997) sehingga Target fisik, Keuangan dan Waktu yang ditetapkan dapat berjalan sesuai yang diinginkan dan kedepan tidak ada lagi Laporan (maaf) ABS! Lalu terjadi InKonsistensi yaitu Prona dilaksanakan dengan sistim Pendaftaran Sporadik akan tetapi semua Kegiatan PRONA dari mulai, Penetapan Lokasi, Persiapan, Pembentukan Tim/Satgas2, Penyuluhan, Pengumpulan Data Fisik (Ukur), Puldadis, Pengumuman Data Fisik dan Yuridis, Pengesahan Konversi/Penegasan/Pengakuan HAT Eks Milik Adat, Pembukuan Hak dan Penerbitan Sertipikat. Kegiatan itu semua tertuang dalam PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 pada BaB III Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali, Bagian Kesatu "Pendaftaran Tanah Secara Sistematik" mulai Pasal 46 s/d Pasal 69, namun kenapa Sistem Pengumumannya kita memakai Pendaftaran Tanah Sporadik ? Yaitu 60 hari (vide: Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997). Perlu dicermati Bab III tersebut yaitu Pasal 46 s/d Pasal 69 tersebut tegas tentang AJUDIKASI. berarti Sistem Pendaftaran Prona Tidak Tegas Ada? Sedang jika dibilang Sporadik Proses Pekerjaan-pekerjaan itu juga tidak ada di PP No. 24 Tahun 1997 jo PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997? Pernah ada diskusi dengan Kakanwil Jateng dan Seluruh Kakan, salah satu Kakan menyampaikan hal ini. Jawaban Kakanwil "emang sudah sering dibahas di Pusat dengan Para Kakanwil, tapi kita harus MERUBAH Peraturan". Pertanyaannya Peraturan yang mana, tentang Prona? Toh itu Peraturan kita sendiri katakanlah setingkat Perkaban. Kalopun harus dirubah atau diganti (bahkan setiap Tahun karena Prona) kenapa tidak?

Kamis, 17 Oktober 2013

Pemahaman hasil diskusi UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya terkait dengan pelaksanaan setoran BPHTB

Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya terkait dengan pelaksanaan setoran BPHTB atas permohonan hak atas tanah yang diatasnya dibangun rumah oleh pemiliknya sendiri, apakah perhitungan bphtb'nya hanya terhadap tanahnya saja atau termasuk bangunan rumahnya? Terdapat "kebiasaan" di daerah yang mengharuskan bangunan jadi pajak terutang dalam hal pemberian hak pertamakali. Sudah jelas sekali SK Kakan adalah pemberian Hak Atas Tanah saja. (bukan pemberian hak atas Tanah dan Bangunan). Lebih suka melaksanakan Kebiasaan-kebiasaan dan tidak berani ambil sikap. Kalaupun ada perbedaan penafsiran terhadap undang-undangnya, yang jelas BPHTB itu kan "self assesment", sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Membahas peraturan di kantor apalagi di daerah bukan menjadi topik yang menarik, tidak semua orang suka.
Memang kesulitan jika bertemu kata "biasanya", padahal yang biasa itu belum tentu benar. Dulu waktu saya masih di daerah pernah juga analisis UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2000 sehingga menganut azas self assesment. Dulu saya pernah tanyakan masalah tersebut ke kantor PBB pada waktu itu dan mereka bilang itu menjadi given. padahal jika given berarti pelaksanaannya harus sesuai bunyi UU. Rasanya tidak masuk akal kalau dalam pendaftaran hak pertama kali atas tanah yang rumahnya dibangun sendiri oleh pemilik tanah lantas bangunanya juga dikenakan BPHTB. Memang tidak analisis UU terbaru tapi setelah dibaca istilahnya ada yang menggunakan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Jika demikian berarti bisa alternatif maupun komulatif, artinya bisa tanah dan bangunan maupun bisa tanahnya saja. Ini berarti untuk kasus seperti di atas yang dikenakan BPHTB hanya tanahnya saja. Mudah-mudahan mind set teman-temen daerah berubah, kita harapkan temen-temen mulai rajin buka peraturan, membacanya dan bahkan menganalisanya dan hasilnya bisa kita sampaikan ke Kakantah sebagai bahan pengambilan keputusan.
Dalam hukum agraria dari semula berlaku azas self assesment dan bukan pemisahan horisontal, dibuktikan pada Pasal 4 UUPA Perihal pengertian 'tanah'. Hal demikian ternyata juga dianut pada UU No. 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan dimana tanah beserta tanam tumbuh diatasnya menjadi obyek yang dipertanggungkan. Sehingga pada UU No. 21 Tahun 1997, perkiraan dapat diberlakukan yang sama. Azas pemisahan horisontal itu malah yang dianut oleh hukum pertanahan nasional kita yang maknanya pemilik tanah tidak otomatis sebagai pemilik bangunan atau pun tanaman yang berada di atas tanah tesebut. Sebelumnya kita menganut azas asesi atau perlekatan sebagaimana yang diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dengan berlakunya UUPA maka buku II tersebut sepanjang yang mengatur tentang tanah dicabut, oleh karennya azas perlekatan ini kita tinggalkan. mudah-mudahan saya tidak keliru, mengingat sudah lama saya tidak membuka peraturan pertanahan.
Azas self assestmen yang dimaksud dalam UU BPHTB pengertiannya bahwa wajib pajaklah yang menghitung sendiri besarnya pajak terutang untuk kemudian membayar ke bank yang ditunjuk. Dalam hal setoran BPHTB-nya kurang bayar karena wajib pajak keliru menghitung misalnya, maka kantor pajak berdasarkan ssb yang salah satunya disampaikan kepadanya akan menagih kekurangannya kepada wajib pajak. Sehingga dengan sistem tersebut sebetulnya tidak ada yang perlu kita khawatirkan terkait pelaksanaan bphtb. 
Bangunan tidak ikut menjadi variable BPHTB. tapi, Namun ada perubahan UU yang semula tidak ditarik dan sekarang memang ditarik. akhirnya dalam pemberian hak, tanah dan bangunan. Persoalannya jika tidak dibayarkan, Pemda akan menagih sebagai kurang bayar. Memang, kita seperti penjajahan dahulu. Tanah dan rumah sendiri harus dipajak, selain PBB. Padahal, ketika didirikan bangunan, IMB juga bayar. Negara kita kurang kreatif, mestinya bangunan milik sendiri tidak usah dipajak lagi apalagi numpang lewat ketika pemberian hak? Mari kita renungkan. 
Dalam UU-nya sendiri baik 21/1997, 20/2000 dan 28/2009, pengertian BPHTB dan objek pajak : masih tetap mengakomodir "tanah dan/ atau bangunan. (nggak ada perubahan). Kemudian terjadinya BPHTB kan karena ada peristiwa/perbuatan hukum, dalam hal pemberian hak berarti karena ada SK pemberian hak atas tanah (tanah saja). Ketentuan BPHTB tidak terlepas dari tata cara yang berlaku di bidang pertanahan (dalam hal ini BPN), hal ini ditegaskan di ketentuan umum UU No. 28/2009 Pasal 1 butir 43, Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di BIDANG PERTANAHAN. Jadi menurut saya masih tetap sinkron semuanya dengan peraturan pertanahan. Kalaupun Perda menterjemahkan hal lain (bisa jadi karena tidak paham dengan peraturan pertanahan) berarti Perda tersebut BATAL DEMI HUKUM karen bertentangan dengan UU-nya. Perlu ketegasan dari BPN saja menyikapi persoalan ini, sama halnya seperti masalah verifikasi yang sudah ditindak tegas oleh Kepala BPN. Kalau perlu atau mau cari aman juga, kita arahkan saja di surat pernyataan pemohon (waktu pendaftaran ) bahwa bangunan adalah milik sendiri sehingga yang dibayar pajak hak atas tanahnya karena self assesment. 
UU No.28/2009 menggunakan terminologi BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangungan yang jika demikian bisa berarti alternatif maupun komulatif. Jika UU secara limitatif mengatur seperti itu, idealnya Perda juga harus sejalan, artinya BPHTB bisa diterapkan baik secara alternatif maupun komulatif (tidak bisa semuanya diterapkan komulatif, hal tersebut sebagai konsekuensi adanya kata dan/atau tersebut). Dalam hal sesorang membeli tanah yang sudah bersertipikat dan diatasya berdiri bangunan rumah wajar jika yang bersangkutan dikenakan BPHTB atas tanah dan bangunan (komulatif), namun jika yang bersangkutan membeli tanah belum bersertipikat kemudian mendirikan rumah sendiri seharusnya yang bersangkutan pada waktu pendaftaran haknya yang bersangkutan hanya dikenakan BPHTB atas tanahnya saja (alternatif). Sebetulnya UU No. 28 Tahun 2009 telah mengatur mekanisme pengawasan dan pembatalan Perda tentang Pajak dan Retribussi (Pasal 157), tetapi rasanya hal itu tidak mungkin dilaksanakan terhadap daerah yang sudah mempunyai Perda karena kewenangan sifatnya executive preview (pengawasan lembaga eksekutif pada saat rancangan Perda dibuat). Namun demikian masih terbuka kesempatan adanya executive review dari pemerintah pusat dalam hal ini Mendagri/Menkeu, tapi rasanya mustahil mengharapkan upaya ini. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah mengajukan judicial review ke MA (UU No. 5 Tahun 2004 dan Perma No. 1 Tahun 2004 jo 1/2011) yang bisa diajukan oleh perorangan maupun kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya Perda tersebut. 
Pembuatan Perda seharusnya melibatkan stakeholder, dalam hal Perda yang mengatur BPHTB seharusnya melibatkan BPN dalam pembahasannya sehingga dalam pelaksanaan di lapangan tidak ada kendala. Namun melihat rekan-rekan di daerah banyak yang tidak puas dengan Perda terkait BPHTB sudah barang tentu dalam pembahasan Perda tersebut BPN tidak dimintai pendapat. Perda memang tidak boleh bertentangan dengan UU, dan jika Perda tidak sejelan dengan UU, pihak-pihak yang dirugikan harus menempuh upaya judicial review sebagaimana sudah dijelaskan di atas (bagaimana jika sekali-kali PPAT menginisiasi upaya judicial review ini). Sedikit menyinggung verifikasi, jika hal itu dituangkan dalam Perda, itu yang sebetulnya menjadi musibah bagi BPN, karena fungsi Perda pada dasarnya merupakan pelaksanaan peraturan yang lebih tinggi sesuai ciri khas masing-masing daerah. Sementara UU hanya mengatur norma yang bersifat umum saja, sedangkan teknisnya diatur dalam peraturan dibawahnya termasuk Perda. Inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah daerah. Dalam hal Perda mengatur adanya kewajiban verifikasi BPHTB sebelum pendaftaran hak, kita terikat dengan ketentuan ini karena UU telah mendelegasikan hal-hal teknis pelaksanaan pajak dan retribusi daerah termasuk BPHTB kepada Pemda dengan membuat Perda. Untuk yang satu ini jujur saja saya tidak sependapat dengan Kepala BPN yang mengeluarkan Surat Edaran mengenai tidak perlunya verifikasi thd SSB, karena SE itu hanya mengikat internal BPN saja dan tidak mengikat eksternal ke instansi lain. SE tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (dalam hal ini Perda sebagai pelaksanaan dari UU) Ini yang sebetulnya masih menjadi problem bagi BPN. Satu sisi UU BPHTB menganut azas self assestment disisi lain kita masih diperintahkan untuk verifikasi SSB. Kekhawatiran, manakala petugas BPN tidak melakukan verifikasi SSB, sementara Perda memerintahkan untuk itu dan dikemudian hari ditemukan indikasi kerugian keuangan negara pasti petugas kita yang pertama kali dipanggil pihak kepolisian atau kejaksaan. Jika sudah seperti ini apakah kepala BPN berkenan turun tangan? Berharap ahli-ahli hukum BPN bisa mengeluarkan peraturan yang bermutu/berkualitas, yang bisa melindungi pegawainya. 
BPHTB bukan kepentingan dan kewenangan BPN. Awal BPHTB dipungut sebelum SK Pemberian HAT terbit, dimana Hak belum lahir kenapa sudah bayar Pajak. Kemudian berganti SSB/BPHTB ditarik setelah SK Pemberian HAT sampai sekarang. Pemegang kekuasaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB pindah ke Pemda dan harus Validasi. BPHTB adalah Self Assesment (dan/atau Pajak Terhutang) kenapa Kita yang selalu ketakutan, sampai-sampai Petugas Loket Disuruh menghitung angka-angka yang ada di SSB (bahkan ada Surat dari Pusat) "kalo kurang bayar muncul kerugian Negara, maka akan ditanggung Kakan". SE No. 5 Tahun 2013 tidak perlu adanya Validasi karena pembayaran BPHTB/Self Assesment tidak boleh menghalangi Pendaftaran Tanah. Jadi, kenapa harus dipusingkan TANAH nya dan/atau BANGUNAN nya kah? yang dikenai Pajak silahkan aja Pemda yang Penting lampirkan lembaran SSB dlm rangka Pendaftaran HAT. Sekali lagi SELF ASSESMENT kita berani ucapkan maka itu PRINSIP dan bukan Domein BPN menghitung-hitung itu. 
Bahwa UU mensyaratkan setiap pendaftaran sebagai sumber APBN dan terakhir smber APBD. Ini tidak bisa diganggu gugat. UU dan PERDA mewajibkan pajak dibayar atas tanah dan bangunan secara kumulatif. Terlepas kita setuju atau tidak. Ini tidak bisa kita diganggu gugat. 
Cara pembayaran self assesment. Orangnya sendiri yang menentukan dan dibayar sendiri. Cara ini juga tidak bisa kita ganggu gugat. 
Berkaitan dengan pendaftaran sudah ditetapkan sebelum di teken melampirkan bukti pelunasan BPHTB. Jika di langgar ya jadi objek pemeriksaan dan mulai muncul persoalan internal kita terganggu atau memperlambat di teken dan ujung-ujungnya daftar 208 akan tertabrak. Siapa yang bertanggung jawab jika hal itu terjadi?
Soal nilai bangunan katut atau tidak bukanlah masalah kita BPN ini. Jikapun kita ikut memasalahkan semata karena kita tahu dan empati kepada rakyat. Toh UU dan PERDA itu hasil kerja wakil rakyat. Jika ada yang salah hampir semua setuju biar relawan yang menyoal di lembaga khusus. Aspek kasat mata untuk menaikkan APBD sudah kita lihat misal kenaikan yang sangat fantastik. Pasti ada pihak yang mengontrol jika ada kesengajaan dan salah prosedur. Karena negara kita adalah negara hukum bukan perusahaan. 
SE itu bagus untuk meralat SE Wajib Validasi. Tinggal BPN sudah bisa baca atau belum. Sudah baca tapi apa sudah paham atau belum. Jika sudah paham punya keberanian mengeksekusi atau tidak. Disinilah perlu kepemimpinan yang tegas didasari wawasan fortofolio yang jelas antara Kementerian Keuangan/Pemda dan BPN RI diseluruh pelosok. Ibarat menari hayo kita menari dengan musik kita jangan menari dengan musik orang lain. Jika dilapangan sangat perlu koordinasi supaya SOP kita tepat waktu. Bentuk koordinasi bisa BPN yang undang jika dilapangan pelaksanaan menyimpang dan lambat bukti dilampirkan. Atau usulkan ke Bupati/Gubernur dng telaahan staf atau usulkan dengan rapat koordinasi. Jika ini kita lakukan, mudah-mudahan pelayanan BPN akan semakin mantsp dan rakyat tahu mana yang pro rakyat mana yang tidak.