Jumat, 10 Mei 2013

PENYELESAIAN SENGKETA ADMINISTRASI

  1. Penyelesaian sengketa administrasi dengan cara pengaduan (administratiefe beroep) maksudnya ialah penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan administrasi sendiri.
  1.  Pengaduan ditujukan kepada atasan atau kepada instansi yang lebih tinggi.
  1.  Jika misalnya warga A merasa dirugikan dengan terbitnya keputusan dari pejabat B Warga A dapat mengadukan halnya kepada atasan pejabat B. Berdasar pengaduan warga A maka atasan pejabat B dapat membatalkan, biasaa juda memperkuat keputusan pejabat B atau mengadakan peninjauan kembali.
  1.  Penyelesaian sengketa administrasi melalui Badan Pengendalian Semu (Quasi)
  1.   Dikatakan semu karena Badan (Dewan) tersebut masih termasuk dalam lingkungan administrasi sendiri tetapi tata caranya sama dengan suatu badan peradilan.
  1.  Kegiatan peradilan dilakukan oleh Badan, Dewan, Komisi atau Panitia.
  1.  Cara kerjanya hampir sama dengan peradilan umum, tetapi keputusannya masih dapat dibatalkan oleh Menteri yang bersangkutan.
Contoh, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4P)  dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Departemen Tenaga Kerja.
  1.  Penyelesaian Sengketa oleh suatu Badan Arbitrase, misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau oleh badan atau panitia arbitrase lain.
  1.  Oleh suatu Badan Teknis atau Panitia Teknis atau Panitia ad hock atau Panitia Khusus yang dibentuk oleh Departemen atau Instansi lain.
  1. Penyelesaian melalui Badan Pengadilan Administrasi
  2. Penyelesaian sengketa/perselisihan melalui Badan Peradilan Administrasi yang sebenarnya, artinya bahwa Peradilan ini memenuhi syarat-syarat sebagai yang terdapat dalam Pengadilan biasa, yakni bahwa anggota badan peradilan ini benar-benar berkedudukan sebagai hakim. Putusan badan Peradilan ini tidak dapat dibatalkan atau dipengaruhi oleh Menteri ataupun oleh yang lainnya.
  1. Hakim merupakan pejabat negara yang mempunyai tiga wewenang, yakni:
    1.  Menilai fakta berdasarkan sarana bukti sebagaimana ditentukan oleh undang-undang;
    2. Melakukan interpretasi yuridis terhadap undang-undang (interpretasi yang mempunyai kekuatan undang-undang);
    3.  Menjatuhkan putusan (Vonnis) yang pada waktunya mempunyai kekuatan hukum mutlak (krach van geijsde)
  1. Penyelesaian sengketa Administrasi melalui Pengadilan Umum. Sengketa yang diputus oleh Badan Pengadilan Umum termasuk gugatan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yaitu mengenai perbuatan melawan hukum oleh Pejabat Pemerintah/ Penguasa (onrechtmatige overheidsdaad)
  1.  Penyelesaian melalui Badan Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang terdiri atas Pengadilan Tata Usaha, banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Kasasi ke Mahkamah Agung.

 DASAR HUKUM PERADILAN DI INDONESIA

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 junto Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10. Undang-undang tersebut mengatur mengenai Badan Peradilan yang ada di Indonesia, yaitu,
1.Peradilan Umum
2.Peradilan Agama
3.Peradilan Militer
4.Peradilan Tata Usaha Negara
Masing-masing peradilan mempunyai lingkungan wewenang mengadili hal tertentu yang juga meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan banding, yang semuanya berpuncak pada satu lembaga yaitu Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Indonesia memiliki peradilan administrasi negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Pasal 144 undang-undang tersebut dinyatakan Peradilan Tata Usaha Negara sama pengertiannya dengan peradilan administrasi, jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan Atas Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara.
  1. Subjek sengketa Tata Usaha Negara
Penggugat: orang pribadi atau badan hukum privat
Tergugat :   badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata
  1. Objek Sengketa Tata Usaha
  2. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang baik;
  3. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Walaupun pengadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, hal tersebut baru dapat diselesaikan apabila seluruh upaya administrative telah digunakan oleh yang bersangkutan.
  1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Singkatnya ada empat kelompok, yaitu:
  1. instansi resmi di bawah presiden sebagai kepala eksekutif;
  2. instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan eksekutif;
  3. badan hukum perdata yang didirikan pemerintah untuk tugas  melaksanakan urusan pemerintah;
  4. lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas pemerintah.
  1. Sengketa Tata Usaha Negara
Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negar antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara.
  1.  Keputusan Tata Usaha Negara
  2.  Unsur-unsur
1)     Suatu penetapan tertulis;
  1. Dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara;
  2. Berisi tindakan hukum tata usaha negara.
2)     yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3)     bersifat konkret, individual, dan final;
4)     yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
  1. Sifat lain dari keputusan tata usaha negara
1). bersifat hukum publik
2). bersifat sepihak

PENGUASAAN NEGARA ATAS TANAH

Dalam hukum penguasaan negara atas tanah secara konstitusional terdapat dalam pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya  kemakmuran rakyat. Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menyatakan bahwa  atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat (2) UUPA menguraikan lebih lanjut bahwa Hak Menguasai Negara termaksud dalam pasal 2 ayat (1) UUPA memberi wewenang kepada negara untuk:
  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (pasal 2 ayat 3).
Hak menguasai dari negara itu adalah semacam hal ulayat negara yang merupakan wewenang pemerintah pusat, sebagaimana sudah diperjelas oleh pasal 1 ayat 1 dan pasal 2 ayat 4, maka pemerintah daerah, ataupun lembaga pemerintahan ataupun lembaga pemerintahan ataupun masyarakat hukum adat hanya dapat melakukan wewenang agraria itu jika didelegasi wewenangkan dengan suatu peraturan secara khusus, sehingga jika tidak diberikan kewenangan itu tidaklah dapat mereka melakukan kewenangan agraria itu.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah-daerah otonom atau lembaga kenegaraan ataupun departemen, ataupun  daerah tingkat I, II dan kecamatan ataupun desa tidak dapat membuat peraturan-peraturan ataupun kebijakan-kebijakan yang menyangkut keagrariaan kecuali didelegasi oleh pemerintah pusat.
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum (pasal 4 ayat 1).
Hirarki hak-hak penguasaan tanah dalam UUPA dan hukum Tanah Nasional, adalah :
1.Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2.Hak menguasai Negara atas tanah;
3.Hak Ulayat masyarakat hukum adat;
4.Hak perseorangan atas tanah, meliputi:
  1. Hak-hak atas tanah;
  2. Wakaf tanah milik;
  3. Hak tanggungan;
  4. Hak milik atas satuan rumah susun.
Hak bangsa Indonesia merupakan induk bagi hak-hak penguasaan lain atas tanah. Hal itu mengandung pengertian bahwa semua hak penguasaan tanah yang lain bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah dan bahwa keberadaan hak-hak penguasaan apapun, hak yang bersangkutan tidak meniadakan eksistensi Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Menguasai Negara atas tanah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan  tugas kewewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengembang amanah tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Isi wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat (2) UUPA adalah:
  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;
  2. membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan  tanah untuk berbagai keperluan (pasal 14 UUPA jo UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang).
  3. Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (pasal 15 UUPA).
  4. Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah (pertanian) untuk mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10 UUPA).
  1. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah;
Termasuk wewenang ini, adalah:
  1. menentukan hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negara Indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, atau kepada badan hukum. Demikian juga hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negara asing (Pasal 16 UUPA).
  2. menetapkan dan mengatur mengenai pembatasan Jumlah bidang dan luas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau badan hukum (pasal 7 jo pasal 17 UUPA).
  1. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.
Termasuk wewenang ini, adalah:
  1. mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia (pasal 19 UUPA jo PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
  2. mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah.
  3. mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik yang bersifat perdata maupun tata usaha negara, dengan mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan, kemudian menyelenggarakan  artinya  melaksanakan (execution) atas penggunaan, peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaannya (maintanance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang  terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari Hak Menguasai Negara tersebut. Dan kemudian menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan bagaimana  seharusnya hubungan antara orang atau badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar