Kamis, 27 Juni 2013

PERISTIWA HUKUM vs PERBUATAN HUKUM

Waris adalah peristiwa hukum, bukan perbuatan hukum. Waris terjadi karena otomatis / dengan sendirinya ada ketika Pewaris meninggal kemudian si Ahli Waris langsung memperoleh warisan (hutang/beban dan harta/kekayaan = HAK & KEWAJIBAN), sering diistilahkan peristiwa kematian menjadi peristiwa hukum.  
Perbuatan hukum dimulai dari kesepakatan yang dibuat oleh beberapa pihak. Prosesnya disengaja/direncanakan. misal perwalian yang merupakan perbuatan hukum meminta penetapan pengadilan dengan mengajukan permohonan ke pengadilan dengan dilengkapi surat permohonan, akte nikah, akte lahir (alat bukti surat dibubuhkan materai secukupnya + distempel di kantor pos) dan dua orang saksi.
Menantu bukanlah termasuk dalam ahli waris, ahli waris itu adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, sedangkan menantu itu mempunyai hubungan dengan pewaris karena perbuatan hukum bukan dari peristiwa hukum. Dalam konteks waris, waris itu terjadi karena adanya peristiwa hukum bukan karena perbuatan hukum. Kalau memang keluarga ke bawah sudah habis, waris ke keluarga ke atas (orangtua). Kalau ke atas sudah habis, waris ke keluarga samping (kakak adik). Jika anak dan Janda/Duda meninggal,ahli waris bisa ke cucu, atau ke orang tua dan juga ke saudara dari almarhum.
Mempunyai tanah bisa karena Perbuatan Hukum atau karena Peristiwa Hukum. Prinsip umur berapapun bisa memiliki tanah itupun jika si Anak sebagai Ahli Waris tunggal atau melakukan Jual Beli dengan Akta Jual Beli (yang dilakukan Pengampu/Walinya) ketika mengajukan ke BPN untuk Peralihan Haknya harus oleh Kuasa/Sebagai Pengampu/Walinya. Untuk batasan Usia (meskipun masih banyak Perdebatan) tetapi usia 21 Tahun atau sebelumnya yang telah menikah (berarti dianggap "Cakap") lalu bagaimana dengan Usia Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Usia Menikah ? Ambigu UU lagi kita Nikmati selama ini dalam Pelayanan. Dewasa menurut KUHP usia 17 tahun, di UU Perlindungan anak yang dimaksud anak itu sampai usia 18 tahun. Oleh karena hukum pertanahan masuk ke ranah hukum perdata semestinya yang menjadi acuan adalah KUHPerdata.

Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal

Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.

Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris

Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris

Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar