Senin, 30 Desember 2013

RESUME PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUKUM ADAT DAN HUKUM PERDATA

  1. I.       PENDAHULUAN
Materi Ceramah Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Adat serta Hukum Perdata yang disampaikan oleh pengajar pada pokoknya mengandung dua (2) hal pokok yaitu masalah hukum dan peraturan perundang-undangan secara umum dan permasalahan  UUPA.
  1.  Masalah hukum dan peraturan perundang-undangan.
-  Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Ketetapan No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menetapkan tata urutan yaitu :
  1. UUD 1945 (termasuk Pancasila yg termuat dalam Mukadimah) sebagai sumber hukum dasar Nasional;
  2. Tap MPR RI;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.
- Asas Peraturan Perundangan yang baik menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan : Kejelasan Tujuan, Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, Dapat dilaksanakan, Kedayagunaan dan kehasilgunaan,  Kejelasan rumusan  dan Keterbukaan.
- Materi muatan tersebut mengandung asas : a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. kebangsaan; d. Kekeluargaan;e. Kenusantaraan; f. Bhinneka tunggal ika; g Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. K. asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan perundangan yang bersangkutan.
- Hukum  mempunyai 4(empat) fungsi :
  1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan;
  2. Hukum sebagai sarana pembangunan;
  3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan;
  4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
- Yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan menurut Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH.   menyatakan pendapatnya bahwa mereka (lembaga) yang ditunjuk dan diperintahkan oleh UUD dan penerima mandat dari Lembaga  Tertinggi Negara (MPR)  Kepala Negara langsung pula menerima mandat dari MPR  untuk :
  1. Menjalankan UUD 1945
  2. Menjalankan GBHN
  3. Menjalankan Pemerintahan Negara pada umumnya.
- Suatu peraturan perundangan dinyatakan baik dan benar apabila  memenuhi unsur-unsur  :
  1. Yuridis, yaitu Peraturan perundang-undangan tersebut tidak saling bertentangan dengan aturan-aturan ```lain.(Tap MPR No. III/MPR/2000 jo UU No. 10 Tahun 2004 dan PP No. 68 Tahun 2005)
  2. Sosiologis, sesuai karena diakui dan diterima oleh masyarakat bukan karena “dipaksakan” berlakunya oleh Pemerintah.
  3. Filosofis, yaitu ketentuan-ketentuan peraturan perundangan tsb. mencerminkan dan sesuai dengan cita-cita hukum dan nilai-nilai positif yang berlaku di masyarakat.
- Pendapat para Ahli Hukum:
  1. Mustapadidjaja AR.  memandang Peraturan perundang-undangan tersebut sebagai hasil proses suatu Sistem Kebijakan dalam rangka penyelenggaraan Negara yang disebut dengan kebijakan publik.
  2. Irawan Soejito menyatakan beberapa kendala dan kesulitan dalam penerapan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang antara lain bahwa karena sifatnya yang sentralistik, undang-undang tidak mungkin dibuat dan berfungsi untuk menggantikan keseluruhan hukum adat dan peraturan-peraturan lain yang berlaku secara regional.
  3. Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL., menyatakan bahwa unsur teknik perancangan merupakan unsur yang lain yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundangan yang baik.
- Contoh undang-undang yang dianggap baik yaitu :
  1. Undang-undang organik; yang dibuat oleh Thorbecke yaitu dengan sedikit kalimat pendek melahirkan apa yang akan dikatakannya itu tersusun secara teliti dan jelas.
  2. Code Civil Perancis (1804) suatu undang-undang yang dapat dimengerti dan dipahami sedalam-dalamnya oleh rakyat.
  3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Swiss, yang disusun Engen Huber; yang dinilai uraian pada pasal-pasalnya, kaidah-kaidahnya sederhana tapi mudah dimengerti dan tepat.
  4. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960, LN 1960 No.104), suatu undang-undang Nasional yang menggantikan warisan undang-undang Kolonial menurut anggapan umum dipandang sebagai suatu undang-undang yang baik sekalipun ditinjau dari segi teknik per-undang-undangan, disana-sini masih dapat disempurnakan.
     B. Masalah Undang-Undang Pokok Agraria.
     Kedudukan UUPA Dalam Susunan dan Tata Hukum Indonesia.
           -    Sumber Hukum Agraria Nasional.
    Prof. Boedi Harsono menyatakan sumber Hukum Agraria Nasional tertulis sebagai berikut :
  1.  Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 33 : 3).
  1. UUPA (UU No. 5 Tahun 1960).
  2. Peraturan pelaksanaan UUPA.
  3. Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA yang dikeluarkan sesudah 24 September 1960 karena suatu masalah yang perlu diatur (UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya).
  4. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan (Hukum positif yang bukan lagi hukum Nasional).
-  Sumber Hukum Agraria Sebelum Berlakunya UUPA.
               Pemerintah Kolonial membuat antara lain :
-   Agrarische Wet (Stb. 1870 No.55) Pasal 51 I.S. (1925-447).
Agrarische Wet  menetapkan kepada yang memerlukan dapat diberikan hak erfpacht selama 75 tahun, untuk tanah-tanah yang belum ada hak-hak pribumi, tanah yang sudah dibuka, hutan penduduk, penggembalaan umum/desa, kecuali dengan pembebasan/ganti rugi yang layak.
Agrarische Wet juga dibuat sebagai hasil perjuangan pengusaha besar dan penanam modal untuk meruntuhkan  sistim monopoli negara.
-   Agrarische Besluit (Stb. 1870 No.118).
Sebagai peraturan pelaksanaan (ordonansi) dari Agrarische Wet yang mengatur pemberian-pemberian hak erfpacht di P. Jawa dan Madura kecuali daerah swapraja. Karesidenan Sumatera, Manado, Kalimantan Timur dan Selatan (Buiten Gewesten)
-   Algemein Domein Verklaring (Stb. 1875 No. 119 a).
Asas bahwa  “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domein (milik) negara).”
Pernyataan domein ini merupakan politik hukum Belanda Untuk mencari alasan pembenar landasan hukum bahwa Negara adalah sebagai pemilik tanah  untuk melaksanakan ketentuan psl 720 KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa hanya pemilik yang dapat memberikan hak eigendom, opstal, erfpacht,  oleh karena pemberian hak adalah suatu pemindahan Hak milik (Negara) kepada penerima hak.
Negara harus dapat menunjukkan bukti pemilikan sesuai dengan  ketentuan hukum acara.
Negara selain pemilik juga penguasa sehingga berwenang untuk memberikan hak walaupun tanah tersebut belum dapat dibuktikan sebagai  miliknya.
-   Domein verklaring untuk Surakarta (S. 1874-94 f), Karesidenan Manado (S. 1877-55), untuk karesidenan Zuider en Oostterafdeling van Borneo (Kalimantan Selatan dan Timur) Stb. 1888-10
-   Koninklijk Besluit Stb. 1872-117
-   Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) terutama yang diatur dalam Buku II.
-   Dalam konsiderans UUPA tersirat maksud penyusun Undang-undang mengenai apa yang diartikan dengan Agraria, yaitu bahwa hukum Agraria (nasional) meliputi fungsi bumi,air dan ruang angkasa.
 Ketentuan peraturan lain yang  bersifat lokal diantaranya.
  1.  Bataviasche Grondhuur  diatur  lebih lanjut dengan Woonerven Ordonantie (Stb 1918-287)  mengatur persewaan tanah di kota Batavia.
  1. Peraturan mengenai landerijen bezitirecht Stb 1926-121 yang mengatur tanah-tanah Kong-Kwan (Tionghoa), tanah ini termasuk tanah pertuanan (partikelir)
  2. Orang Tionghoa dan Timur Asing yang semula mempunyai hak usaha diatasnya menjadi pemegang Altijdurende erfpacht kemudian menjadi “ Landrijen bezitsrecht, tetapi kalau beralih kepada golongan Bumi putera, menjadi tanah milik adat
  3. Rijksblad Yogyakarta th 1918 No 16 disebut juga sebagai domein Sultan yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak ada tanda bukti dan bukan tanah eigendom, menjadi milik  kesultanan Yogyakarta”.
  4. Tanah swapraja Sumatera Timur yang mengatur mengenai Grant Sultan (Grant .S.),yaitu hak milik adat yang lahir karena pemberian pem swapraja kepada para Kaula yang didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.
  5. Grant Controleur (Grant .C.), yang diberikan oleh Pem Swapraja kepada bukan Kaula Swapraja, didaftar di Kantor Controleur (Pejabat Pangreh Praja Belanda).
  6. Grant Deli Maatschappij (Grant D), diberikan oleh Deli Maatschappij didaftar di Perusahaan tersebut yang menyangkut tanah yang luas (untuk perkebunan tembakau, pelayanan umum, dan tanah) dari Pemerintah Swapraja Deli dengan grant.
  7. Hak Konsesii untuk perkebunan besar, diberikan oleh Pemerintah  Swapraja dan didaftar di Kantor Residen.
  8. Rijksblad Yogyakarta no 13 th 1926 dan Rijksblad Surakarta  No 14 th 1938 mengatur mengenai pendaftaran tanah-tanah milik Kaula Swapraja Yogyakarta dan Surakarta.
  9. Larangan pengasingan tanah (Grond Vervreemdingsverbood) Stb 1875-179 yaitu larangan bagi orang pribumi untuk mengalihkan tanah milik adatnya kepada orang asing (bukan pribumi).
  1.  Verponding Indonesia (V.I) Stb 1923-425 jo Stb 1931-168 yang mengatur bagi pemegang tanah hak milik adat di wilayah gemeente untuk ditetapkan sebagai wajib pajak (wajib pajak=pemilik). Sedangkan untuk diluar wilayah gemeente dikenakan landrente atau pajak bumi didaftar di Kantor Landrente/PHB)
Land verhuur reglement Stb 1906-93 yang kemudian diubah menjadi Vorstenlands Grondhuur reglement dan selanjutnya dicabut dengan UU no 13 th 1948 oleh karena mengandung prinsip-prinsip feodal.
  1. Reglement omtrent de particuliere landerijen bewesten de Cimanuk op Java “ Stb 1912-432 Tentang usaha pemerintah untuk pembelian kembali tanah-tanah particuliere Yang berlangsung sampai dengan Tahun 1936 dengan melalui BUMN-nya pemerintah Hindia Belanda  NV. Javasche Particuliere landerijen Maatschappij.
      UUPA Pada saat berlakunya
 UUPA adalah hukum nasional yang mengatur mengenai Agraria. Ciri-ciri suatu hukum disebut dengan Hukum Nasional, Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCl. menyatakan bahwa Hukum Nasional adalah hukum yang dibentuk selama masa kemerdekaan (setelah Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945). UU No. 5 Tahun 1960 (Pasal 5) yang disusun  menurut asas-asas hukum adat tidak mengartikan hukum barat sebagai hukum positif sehingga harus diartikan atau dipahami sebagai :
  • PERTAMA : asas hukum kolonial tidak diteruskan karena bertentangan dengan pengertian dan asas kepemilikan, kedudukan dan fungsi tanah menurut hukum adat.
  • KEDUA : ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas dan ketentuan keagrariaan yang baru (UU No. 5 Tahun 1960) harus dianggap tidak berlaku … Kalau tidak ditentukan demikian, khususnya hukum Pertanahan tetap bersifat dualisme. Dimasa Kolonial ada batas-batas yang jelas antara yang tunduk pada Hukum Pertanahan Adat dan yang tunduk pada ketentuan BW. Sekarang “pilihan hukum”  diterapkan sekehendak hati, tergantung pada kemauan atau kepentingan yang bersangkutan atau hakim.
  • KETIGA : ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal didapati kekosongan dalam ketentuan keagrariaan baru.
Dualisme hukum  terjadi karena  “kekeliruan” menafsirkan ketentuan UU No.5 Tahun 1960 yang menyebutkan “Hukum Agraria ialah Hukum Adat”, seolah-olah hukum adat tradisional masih sepenuhnya berlaku disamping ketentuan yang didasarkan dalam UU No.5 Tahun 1960. Pemecahan masalah ini dianjurkan agar penerapan hukum positif menggunakan asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis. Namun  harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis apabila ketentuan hukum tertulis merupakan pembaharuan terhadap hukum tidak tertulis atau terjadi transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis.
  2. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis tidak dilakukan, apabila ketentuan hukum tidak tertulis merupakan suatu yang tumbuh kemudian sebagai koreksi atau penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum tertulis, karena hukum tertulis telah usang atau ada kekosongan-kekosongan tertentu dalam hukum tertulis. Hukum tertulis juga tidak didahulukan apabila penerapannya akan bertentangan dengan kepatutan, keadilan, kesusilaan, kepentingan umum atau ketertiban umum.
Oleh Penjelasan III (1) UUPA yaitu :  ...Hukum Agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk kepada hukum adat, maka hukum Agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang merdeka dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
Dari uraian penjelasan tersebut terkandung semangat dan pesan kepada Pemerintah untuk senantiasa menggali dan menemukan hukum adat tanah/agraria untuk diangkat menjadi hukum positif yang modern dan sesuai dengan kemajuan hubungan dunia internasional.
Dengan berlakunya UUPA timbul pertanyaan bagaimana kekuatan berlakunya peraturan-peraturan keagrariaan/pertanahan yang telah mengatur dan berlaku sebelumnya?
UU No.5 Tahun 1960 dalam Bab IV mengenai Ketentuan Peralihan memuat pasal-pasal khusus yang mengatur ketentuan peralihan atas peraturan-peraturan keagrariaan/pertanahan yaitu :
Pasal 56 :
“Selama undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Pasal 57 :
“Selama undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 No.542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.190.”
Pasal 58 :
“Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.”
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., : “apabila suatu ketentuan peraturan dalam aturan peralihannya tidak menentukan secara tegas mengenai keberlakuan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya, dengan terbentuknya norma-norma atau lembaga-lembaga baru  maka secara materiil ketentuan peraturan yang terdahulu menjadi tidak berlaku.”
Hakim berperan besar untuk menetapkan atau tidak menerapkan, memberlakukan atau tidak memberlakukan ketentuan hukum menurut keyakinannya.
Dengan  penemuan hukum dari hakim atas, secara materiil peraturan hukum tersebut masih dapat berlaku walaupun  sebatas sebagai pedoman. Contoh : Kitab UU Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) yang dengan SE. Mahkamah Agung RI No.3 tahun 1963  dinyatakan sebagai pedoman sehingga fungsinya tidak lagi sebagai kitab UU (Wetboek) tetapi  menjadi buku hukum (rechtboek) semata-mata, tetapi hakim masih menggali dan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan putusan-putusannya.
Mr. R. Soedargo  Wakil Kepala Biro Pengawasan dan Pemindahan Hak, Direktorat Agraria menyatakan perlu untuk mempelajari dan mengikuti beberapa peraturan-peraturan yang sebenarnya sudah tidak selaras lagi dengan jiwa UUPA akan tetapi masih mempunyai arti penting ditinjau dari  sudut masa peralihan dan perubahan.
1. Masalah UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
UU tersebut sesuai dengan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka dimuat didalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut UUPA bertujuan :
a         meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional dst.
b         meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c         Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pasal-pasal UUPA banyak memerintahkan dan mensyaratkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah  atau Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5 (2) UUD 1945, kekuasaan membentuk UU ada pada Presiden dengan persetujuan DPR, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah hanya ditetapkan apabila memang diperintahkan secara tegas oleh undang-undang.
Bagaimana kalau tidak ada perintah UU tetapi Presiden merasa perlu untuk mengaturnya?
  • Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL.18) berpendapat bahwa presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti Keputusan Presiden (yang bersifat mengatur), kecuali apabila dilakukan akan  melanggar asas-asas umum peraturan perundangan yang baik atau larangan pemuatan sanksi pidana.
Menemukan masalah penerapan dan pemberlakuan UUPA (UU No.5 Tahun 1960) tersebut yaitu :
    1. asas-asas pada UUPA sesuai dengan penegasan pada Pasal 5 adalah berdasarkan hukum adat yang sebagian besar dalam ketentuan tidak tertulis menyulitkan dalam menentukan asas-asas hukum agraria secara lengkap.
    1.  Pembentuk UU mengisyaratkan dan menghendaki bahwa UUPA tersebut akan merupakan dasar bagi  penyusun peraturan perundangan lainnya. Kenyataannya pengaturan mengenai pertambangan dalam UU No. 11 tahun 1967 dan bahkan UU Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun 1967) tidak mengikuti fungsi UUPA sebagai Undang-undang Pokok.
    1. UUPA sebagai Undang-Undang Pokok yang bersifat hanya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan dalam garis-garis besarnya, maka untuk dapat berjalan (operasional)-nya UU tersebut disyaratkan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan.
Akibatnya adalah apabila lembaga tersebut tidak cukup berwenang dalam penyiapan peraturan tersebut maka peraturan-peraturan pelaksanaan sebatas peraturan-peraturan yang dikeluarkan lembaga tersebut (Instansi Agraria pada masa sebagai Direktorat Jenderal pada Departemen Dalam Negeri).
  1. 1.      Peraturan Pelaksanaan

n  Ada peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena merupakan pendelegasian wewenang dan pengisian hukum (rechtsvacum), tetapi ada juga karena perintah dari ketentuan perundangan yang lebih tinggi.
n  UU No.5 Tahun 1960, memerintahkan banyak sekali jumlah peraturan perundangan dari mulai UU, Peraturan Pemerintah serta peraturan lainnya baik yang secara tegas dimuat dalam pasal-pasalnya maupun yang tersirat dalam beberapa ketentuan yang bersangkutan memerlukan pengaturan lebih lanjut
n  UUPA akan merupakan masalah yang besar dan strategis terbukti dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang harus dibuat.
Ada materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri, padahal menurut ilmu perundang-undangan seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi seperti :
1        Undang-Undang;
2        Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu);
3        Peraturan Pemerintah;
Presiden bebas memilih bentuk PP atau Keppres dalam hal tertentu Presiden harus menggunakan PP misalnya :
Peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana
4        Keputusan Presiden
Ada 2 (dua) macam Keppres yang dibuat Presiden selaku fungsi pimpinan administrasi negara (bestuur) yaitu membuat keputusan (beschikking) berupa ketetapan atau peraturan-peraturan (regeling).
Ada yang bersifat kongkrit, individual dan final (beschikking), ada yang bersifat pengaturan secara umum
Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri
Dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak lagi termasuk dalam tata urut peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri hanya dapat mengatur :
-           hal-hal yang secara tegas diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
6. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Peraturan Daerah mengatur dalam kaitan dengan system rumah tangga daerah dimana segala urusan pada dasarnya dapat diatasi oleh Daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan Keputusan Menteri/Peraturan Menteri,  Menteri Kehakiman dan HAM dalam surat edarannya tanggal 23 Pebruari 2001 No. M.UM.01.06-27 menyatakan :
    1. Keputusan Menteri yang bersifat “mengatur” tetap merupakan    salah satu jenis/bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dibuat oleh Menteri sebagai pembantu Presiden dan sekretarisnya yang diatur Keputusan Menteri bersifat nasional.
2        . Tap MPR tersebut mensyaratkan “tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tata urut peraturan perundang-undangan yang mengindikasikan bahwa keputusan menteri adalah bagian dari jenis perundang-undangan.
3        . Materi muatan Keputusan Menteri adalah materi/substansi yang didelegasikan kepada keputusan menteri.
4        . Keputusan Menteri adalah sama dengan Peraturan Menteri sebelum berlakunya Keppres No.44/1993.
5        Keputusan Menteri sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan berlaku diseluruh Indonesia kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Daerah, sehingga apabila ada Perda yang bertentangan dengan Keputusan Menteri, maka Perda tersebut harus dibatalkan.
6        Perda dapat diuji material oleh Mahkamah Agung apabila bertentangan dengan Keputusan Menteri.
7        Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) bersifat teknis sesuai dengan ruang lingkup tugas/wewenang menteri yang bersangkutan.
8        Rancangan Keputusan Menteri sebelum ditetapkan terlebih dulu dikonsultasikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Materi muatan harus diatur dengan UU dengan ukuran-ukuran :
Pertama :         Materi muatan yang secara tegas diperintahkan UUD                       harus diatur dengan UU.
Kedua     :       UU tersebut dibentuk karena berdasarkan ketentuan                UU yang terdahulu.
Ketiga :           UU dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah             UU yang sudah ada. Hal ini didasarkan pada prinsip,       suatu peraturan perundang-undangan yang sederajat             atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Keempat          :           UU dibentuk karena menyangkut hal-hal yang                         berkaitan dengan hak-hak dasar atau hak asasi                 manusia.
Kelima     :       materi muatan yang menyangkut dengan kepentingan,             kewajiban, beban kepada rakyat banyak harus diatur        dengan UU.
Pendelegasian  terjadi karena :
1        DPR kekurangan waktu untuk membahas secara rinci (detail) hal-hal yang harus diatur dengan UU.
2        Faktor-faktor yang bersifat teknis, DPR tidak senantiasa mempunyai anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus
3        Faktor kecepatan dan urgensi, delegasi pengaturan dari DPR didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan urgensi karena tata cara pembahasan di DPR relatif panjang yaitu :
Tingkat Pertama,         Sidang Paripurna penyampaian Keterangan dari Pemerintah.
Tingkat Kedua,           Sidang Paripurna penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi dan                          Jawaban Pemerintah
Tingkat Ketiga,           Pembahasan oleh Komisi atau Panitia Khusus (Pansus) yang                                    ditentukan oleh Badan Musyawarah dibicarakan/dibahas DIM                                (Daftar Inventarisasi Masalah). Panitia Perumus dan/atau Panitia                           Kecil yang merupakan Panitia Kerja.
Tingkat keempat,        pembicaraan sidang paripurna. Fraksi-fraksi menyampaikan                                      persetujuan terhadap RUU untuk dijadikan menjadi UU.
4        Faktor kekenyalan/elastisitas. Mengubah UU tidak semudah mengubah misalnya Peraturan Pemerintah.
. Masalah Penerapan Peraturan
a. Kedudukan Hukum Peraturan Pertanahan
Pertanahan merupakan sub sistem dari  sumber daya Agraria. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) menyatakan                             bahwa
                        “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan             adanya            macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah …”
Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai sumber daya agraria diluar tanah tidak merujuk pada                ketentuan UUPA.sering terjadi konflik atau benturan diantara  pengaturan dari sumber daya agraria
Pertanahan merupakan permasalahan yang bersifat multi aspek.  Pengaturan sumber daya agraria yang             saling berbenturan menyebabkan kesulitan penerapan hukum terhadap kasus yang timbul di bidang             pertanahan.
Apabila terjadi konflik berkaitan dengan sumber daya agraria maka peraturan pertanahan merupakan suatu    lex specialis, sehingga terhadap kasus yang bersangkutan harus diterapkan peraturan pertanahan.
Suatu kasus harus diidentifikasi bahwa kasus tersebut merupakan kasus pertanahan oleh sebab itu             diterapkan peraturan pertanahan.
Benturan dengan peraturan-peraturan yang mengatur                           pembangunan/ sektor lain.
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang                              kepada  negara untuk :
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan,                persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang                      angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                     antara orang-orang dengan bumi, air dan                                      angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                    antara orang-orang             dan perbuatan-perbuatan hukum          yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
sasaran kewenangan negara untuk mengatur tersebut sangat luas yang mencakup bumi maka akan terdapat benturan antara peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanahan dengan peraturan yang mengatur diluar soal pertanahan
1) Pertambangan
Pengaturan tentang pertambangan telah diatur dalam undang-undang no. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan kuasa Pertambangan
Mengenai  kuasa Pertambangan dengan hak atas tanah diatur dalam Pasal 25 s/d pasal 27 Undang-undang no. 11 tahun 1967.
Pasal 25 ayat:
(1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan                                       mengganti kerugian kepada yang berhak atas      tanah               didalam lingkungan daerah kuasa                                           pertambangan maupun diluarnya, dengan atau tidak              dengan sengaja,
(2)             Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha                                     dari kedua pemegang kuasa pertambangan atau                    lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26 :
Kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan
memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa
pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas
dasar mufakat kepadanya :
a         sebelum pekerjaan dimulai,
b diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal 27
Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan,  kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
Kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
Pengairan
Masalah pengairan diatur dalam undang-undang
no.11 tahun 1974 tentang pengairan.
Prof. Budi Harsono berpendapat :
“Sepanjang diatas air tersebut dapat   didirikan bangunan, dapat ditancapkan tiang-           tiang untuk bangunan , maka tanah yang   ada dibawah permukaan air tersebut dapat    diberikan hak atas tanah.”
Transmigrasi
Pengaturan tentang transmigrasi telah diatur               dalam             undang-undang No. 3 tahun 1972                            tentang           ketentuan-ketentuan masalah                           transmigrasi.
Pasal 7 :
Transmigrasi berhak mendapatkan tanah pekarangan           dan/atau tanah pertanian dengan hak-hak tanah             menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Daerah Transmigrasi harus  dibebaskan dari segala hak-hak yang ada di atasnya, oleh Menteri yang diserahi urusan Agraria           dan selanjutnya memberikan hak hak pengelolaan atas tanah            tersebut kepada Menteri ;
Apabila suatu daerah transmigrsi sampai dengan jangka waktu         yang telah ditentukan tidak dipergunakan sebagaimana     mestinya, maka status daerah transmigrasi kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Kehutanan
Masalah kehutanan telah diatur dalam Undang
Undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah.
Semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
untuk sebesar kemakmuran rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara sebagai mana dimaksud ayat
memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
c         Menetapkan status wilayah tertentu seperti kawasan hutan atau bukan kawasan hutan
c         Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Apabila dalam dalam perkembangannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat kembali kepada pemerintah.
Setiap bidang tanah yang ada harus dilandasi dengan suatu alas hak berupa hak-hak atas tanah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1jo pasal 16 ayat 1 UUPA, termasuk juga hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan yang juga diatur dalam undang-undang No.41 tahun 1999 tersebut.
Seluruh bidang tanah yang ada di wilayah Indonesia harus didaftar sesuai ketentuan pasal 19 UUPA (termasuk tanah-tanah kawasan hutan). Permasalahannya adalah apabila hutan tersebut berstatus hutan negara atau hutan adat yang tidak diusahakan atau yang diusahakan oleh pihak lain (perorangan, koperasi, swasta, BUMN/D), bagaimana cara mendaftar, siapa subyek haknya dan dengan hak apa?.
Minyak dan Gas Bumi.
Pengaturan tentang minyak dan gas bumi telah diatur
dalam Undang-undang No.44 Prp. tahun1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi, undang-undang
no. 8 tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan
minyak dan gas bumi yang telah dicabut dengan
Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi.
Hubungan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah telah diatur dalam pasal 33 s/d pasal 36.
Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas permukaan bumi.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara didalam wilayah kerjanya wajib terlebih dahulu menyelesaikan dengan pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap telah diberikan
wilayah kerja maka terhadap bidang-bidang tanah yang
dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas
bumi dan areal pengamanannya, diberikan Hak Pakai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
Bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha minyak dan gas bumi dapat diberikan         kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri.
Kelompok Peraturan :
  1. 1.      UUPA.
-       Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan ketentuan-    ketentuan konversi (UU No.5 Tahun 1960) dengan penjelasan.
-       Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960)
  1. 2.      LANDREFORM
-       Penetapan luas tanah pertanian (UU No.56 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
-       Pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian (PP No.224 Tahun 1961).
  1. 3.      LAND-USE PLANNING.
-       Penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu (UU No.38 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
-       Peruntukan dan penggunaan tanah Ancol (PP No.51 Tahun 1960).

  1. 4.      DEPARTEMEN AGRARIA, SUSUNAN DAN TUGAS.
-       Pembentukan Kementerian Agraria (Keputusan Presiden No.55 Tahun 1955).
-       Peralihan tugas dan wewenang Agraria (UU No.7 Tahun 1958) dengan lampiran serta penjelasan.
  1. 5.      TANAH DIBAWAH KEKUASAAN LANGSUNG NEGARA.
-       Penguasaan tanah-tanah Negara (PP No.8 Tahun 1953) dengan penjelasan.
-       Penyelesaian tanah-tanah yang dahulu diambil oleh Pemerintah Jepang (Edaran Departemen Dalam Negeri).
-       Grondbedrijf Tawangmangu (Pranatan Mangkunegaran No.9/R. Tahun 1932).
  1. 6.      PENDUDUKAN TANAH SECARA LIAR
-       Penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat (UU No.8 Drt. Tahun 1954) dengan penjelasan, perubahan dan penambahan.
-       Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya (Peperpu No.011 Tahun 1958) dengan penjelasan, penambahan dan perubahan.
-       Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya (UU No. 51 Prp. Tahun 1960) dengan penjelasan.
  1. 7.      TANAH DI KEBAYORAN BARU
Pedoman mengenai pelaksanaan peraturan pokok tentang tanah dikota Kebayoran Baru (Keputusan Menteri Agraria No.Sk/533/Ka Tahun 1959).
8.   TANAH UNTUK KEPERLUAN AGAMA DAN SOSIAL
Tempat pemakaman jenazah untuk penduduk Tionghwa (Edaran Menteri Agraria No.
Ka.23/2/2 tanggal 28 Agustus 1957 dan No.Ka.23/1/23 tanggal 3 Maret 1959).
9.   PEMBELIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN       PEMERINTAH
      - Pembelian tanah (Edaran Menteri Keuangan No.158641/G.T. tanggal 25 Agustus 1957).
- Pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-undang
keadaan bahaya (UU No.23 Prp. Tahun 1959) dengan penjelasan.
10. PANITIA BERTALIAN DENGAN URUSAN TANAH
- Peraturan pembiayaan panitia-panitia (Keputusan Perdana Menteri RI No.100/PM/1954).
- Bijblad 11372 jo.12476.
- Peraturan tentang panitia-panitia kerja likuidasi tanah-tanah partikelir (Peraturan Menteri
Agraria No. 1 Tahun 1958).
11.PEMBERIAN,PERPANJANGAN,      PENGHENTIAN      DAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH
- Pemberian dan pembaharuan beberapa hak atas tanah serta pedoman mengenai tata cara
kerja bagi pejabat-pejabat yang bersangkutan (Peraturan Menteri Agraria No.6 Tahun
1959).
- Pemberian dan pembaharuan beberapa hak atas tanah serta pedoman mengenai tata cara
kerja bagi pejabat-pejabat yang bersangkutan (Peraturan Menteri Agraria No.15 Tahun
1959).
- Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya (UU No.20 Tahun
1961).
12. TANAH PARTIKELIR
- Penghapusan tanah-tanah partikelir (UU No. 1 Tahun 1958) dengan penjelasan.
- Pelaksanaan Undang-undang penghapusan tanah-tanah Partikelir (PP No. 18 Tahun
1958) dengan penjelasan.
13.  PERKEBUNAN
- Pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan (UU No.28 Tahun
1956) dengan penjelasan.
- Peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan (UU
No.29 Tahun 1956) dengan penjelasan.
14.  NASIONALISASI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MILIK BELANDA
- Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda (UU No.86 Tahun 1958) dengan          penjelasan.
- Pokok-pokok pelaksanaan undang-undang nasionalisasi perusahaan Belanda (PP No.2
Tahun 1959) dengan penjelasan.
15. CANON DAN CIJN
Perubahan canon dan cijns atas hak-hak erfpacht           dan konsesi guna perusahaan kebun besar (UU No.78 Tahun 1957).
16.  PERSEWAAN DAN BAGI HASIL
- Persewaan tanah kepada pengusaha pertambangan (Bijbl. No.14168).
- Uang sewa tanah untuk tanaman tebu musim tahun 1959/1960 (Peraturan Menteri
Agraria No.2 Tahun 1958).
- Perjanjian bagi hasil (UU No.2 tahun 1960) dengan      penjelasan.
17. PERATURAN-PERATURAN AGRARIA UNTUK DAERAH YOGYAKARTA
           DAN SOLO
- Hak atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (Peraturan Daerah Istimewa
Yogyakarta No.5 Tahun 1954 Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta No.3 Tahun
1956).
- Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (Peraturan DIY No.11
Tahun 1954 Lembaran DIY Tahun 1956 No.7).
18. PERATURAN-PERATURAN AGRARIA UNTUK KEPULAUAN RIAU
- Peraturan Agraria untuk Daerah Riau (Stbl. 1923 No.253 jo.1924 No.595 dan 1926
No.392).
-  Pendaftaran hak-hak tanah dalam Kepulauan Riau (Peraturan Penguasa Militer
No.14/Per/PM/1957 tanggal 12 Desember 1957).
19. PEMINDAHAN HAK ATAS BENDA-BENDA TETAP YANG TUNDUK PADA 
         HUKUM BARAT
- Peraturan pangkal bagi larangan pemindahan hak atas benda tetap (Osamu Seirei No.2
Tahun 1942).
- Pemindahan dan pemakaian tanah-tanah dan barang-barang tetap yang lainnya yang
mempunyai titel menurut hukum Eropa (UU No. 1 Drt. Tahun 1952) dengan penje-
lasan serta perubahan-perubahannya.
- Peraturan-peraturan L.A.A.P.L.N. yang bertalian dengan izin jual beli benda-benda
tetap antara penduduk devisen dan bukan penduduk devisen (Edaran L.A.A.P.L.N. C
No.317, 368, 371 dan 381) dengan lampiran-lampiran E, F dan G.
- Permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria
No.14 Tahun 1961).

20. KADASTER
- Pedoman tata kerja tentang pendaftaran hak-hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria
No.9 Tahun 1959).
- Peraturan tentang tanda-tanda batas tanah milik (Peraturan Menteri Agraria No. 10
Tahun 1959).
- Pendaftaran Tanah (PP No.10 tahun 1961 L.N. 1961 No.28)

21. BENDA-BENDA TETAP MILIK  PERSEORANGAN WARGA NEGARA         
         BELANDA
- Penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (UU No.3
Prp. Tahun 1960).
- Pedoman I untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 17 Pebruari 1960).
- Pedoman II untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 12 Juli 1960).
- Pedoman III untuk melaksanakan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Pedoman Departemen Agraria tanggal 1 April 1961).
22. PANITIA UNTUK MENYELESAIKAN URUSAN PEMULIHAN HAK
- Pengelolaan tanah/persil milik Negara berdasarkan PP No.4 Tahun 1960 (Edaran
Departemen Agraria No. Ka.42/1/30 tanggal 31 Oktober 1960).
- Instruksi pengelolaan persil-persil milik Negara berdasarkan PP No.4 Tahun 1960
(Edaran Departemen Agraria No.Ka.42/2/15 tanggal 12 Desember 1960).
Peraturan Perundang-undangan Sesudah Berlakunya UUPA

1. Masalah UUPA sebagai Undang-Undang Pokok
UU tersebut sesuai dengan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka dimuat didalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut UUPA bertujuan :
a         meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional dst.
b         meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c         Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pasal-pasal UUPA banyak memerintahkan dan mensyaratkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah  atau Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5 (2) UUD 1945, kekuasaan membentuk UU ada pada Presiden dengan persetujuan DPR, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah hanya ditetapkan apabila memang diperintahkan secara tegas oleh undang-undang.
Bagaimana kalau tidak ada perintah UU tetapi Presiden merasa perlu untuk mengaturnya?
Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL.18) berpendapat bahwa presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti Keputusan Presiden (yang bersifat mengatur), kecuali apabila dilakukan akan  melanggar asas-asas umum peraturan perundangan yang baik atau larangan pemuatan sanksi pidana.
Menemukan masalah penerapan dan pemberlakuan UUPA (UU No.5 Tahun 1960) tersebut yaitu :
a.   asas-asas pada UUPA sesuai dengan penegasan pada Pasal 5 adalah berdasarkan hukum adat yang sebagian besar dalam ketentuan tidak tertulis menyulitkan dalam menentukan asas-asas hukum agraria secara lengkap.
  1. Pembentuk UU mengisyaratkan dan menghendaki bahwa UUPA tersebut akan merupakan dasar bagi  penyusun peraturan perundangan lainnya. Kenyataannya pengaturan mengenai pertambangan dalam UU No. 11 tahun 1967 dan bahkan UU Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun 1967) tidak mengikuti fungsi UUPA sebagai Undang-undang Pokok.
  1. UUPA sebagai Undang-Undang Pokok yang bersifat hanya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan dalam garis-garis besarnya, maka untuk dapat berjalan (operasional)-nya UU tersebut disyaratkan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan.
Akibatnya adalah apabila lembaga tersebut tidak cukup berwenang dalam penyiapan peraturan tersebut maka peraturan-peraturan pelaksanaan sebatas peraturan-peraturan yang dikeluarkan lembaga tersebut (Instansi Agraria pada masa sebagai Direktorat Jenderal pada Departemen Dalam Negeri).
  1. 2.      Peraturan Pelaksanaan

n  Ada peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena merupakan pendelegasian wewenang dan pengisian hukum (rechtsvacum), tetapi ada juga karena perintah dari ketentuan perundangan yang lebih tinggi.
n  UU No.5 Tahun 1960, memerintahkan banyak sekali jumlah peraturan perundangan dari mulai UU, Peraturan Pemerintah serta peraturan lainnya baik yang secara tegas dimuat dalam pasal-pasalnya maupun yang tersirat dalam beberapa ketentuan yang bersangkutan memerlukan pengaturan lebih lanjut
n  UUPA akan merupakan masalah yang besar dan strategis terbukti dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang harus dibuat.
Ada materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri, padahal menurut ilmu perundang-undangan seharusnya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi seperti :
1        Undang-Undang;
2        Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu);
3        Peraturan Pemerintah;
Presiden bebas memilih bentuk PP atau Keppres dalam hal tertentu Presiden harus menggunakan PP misalnya :
Peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana
4        Keputusan Presiden
Ada 2 (dua) macam Keppres yang dibuat Presiden selaku fungsi pimpinan administrasi negara (bestuur) yaitu membuat keputusan (beschikking) berupa ketetapan atau peraturan-peraturan (regeling).
Ada yang bersifat kongkrit, individual dan final (beschikking), ada yang bersifat pengaturan secara umum
Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri
Dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak lagi termasuk dalam tata urut peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri hanya dapat mengatur :
-           hal-hal yang secara tegas diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
6. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Peraturan Daerah mengatur dalam kaitan dengan system rumah tangga daerah dimana segala urusan pada dasarnya dapat diatasi oleh Daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedudukan Keputusan Menteri/Peraturan Menteri,  Menteri Kehakiman dan HAM dalam surat edarannya tanggal 23 Pebruari 2001 No. M.UM.01.06-27 menyatakan :
    1. Keputusan Menteri yang bersifat “mengatur” tetap merupakan    salah satu jenis/bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dibuat oleh Menteri sebagai pembantu Presiden dan sekretarisnya yang diatur Keputusan Menteri bersifat nasional.
2        . Tap MPR tersebut mensyaratkan “tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tata urut peraturan perundang-undangan yang mengindikasikan bahwa keputusan menteri adalah bagian dari jenis perundang-undangan.
3        . Materi muatan Keputusan Menteri adalah materi/substansi yang didelegasikan kepada keputusan menteri.
4        . Keputusan Menteri adalah sama dengan Peraturan Menteri sebelum berlakunya Keppres No.44/1993.
5        Keputusan Menteri sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan berlaku diseluruh Indonesia kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Daerah, sehingga apabila ada Perda yang bertentangan dengan Keputusan Menteri, maka Perda tersebut harus dibatalkan.
6        Perda dapat diuji material oleh Mahkamah Agung apabila bertentangan dengan Keputusan Menteri.
7        Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) bersifat teknis sesuai dengan ruang lingkup tugas/wewenang menteri yang bersangkutan.
8        Rancangan Keputusan Menteri sebelum ditetapkan terlebih dulu dikonsultasikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Materi muatan harus diatur dengan UU dengan ukuran-ukuran :
Pertama :         Materi muatan yang secara tegas diperintahkan UUD                       harus diatur dengan UU.
Kedua     :       UU tersebut dibentuk karena berdasarkan ketentuan                UU yang terdahulu.
Ketiga :           UU dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah             UU yang sudah ada. Hal ini didasarkan pada prinsip,       suatu peraturan perundang-undangan yang sederajat             atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Keempat          :           UU dibentuk karena menyangkut hal-hal yang                         berkaitan dengan hak-hak dasar atau hak asasi                 manusia.
Kelima     :       materi muatan yang menyangkut dengan kepentingan,             kewajiban, beban kepada rakyat banyak harus diatur        dengan UU.
Pendelegasian  terjadi karena :
1        DPR kekurangan waktu untuk membahas secara rinci (detail) hal-hal yang harus diatur dengan UU.
2        Faktor-faktor yang bersifat teknis, DPR tidak senantiasa mempunyai anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus
2        Faktor kecepatan dan urgensi, delegasi pengaturan dari DPR didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan urgensi karena tata cara pembahasan di DPR relatif panjang yaitu :
Tingkat Pertama,         Sidang Paripurna penyampaian Keterangan dari Pemerintah.
Tingkat Kedua,           Sidang Paripurna penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi dan                          Jawaban Pemerintah
Tingkat Ketiga,           Pembahasan oleh Komisi atau Panitia Khusus (Pansus) yang                                    ditentukan oleh Badan Musyawarah dibicarakan/dibahas DIM                                (Daftar Inventarisasi Masalah). Panitia Perumus dan/atau Panitia                           Kecil yang merupakan Panitia Kerja.
Tingkat keempat,        pembicaraan sidang paripurna. Fraksi-fraksi menyampaikan                                      persetujuan terhadap RUU untuk dijadikan menjadi UU.
4        Faktor kekenyalan/elastisitas. Mengubah UU tidak semudah mengubah misalnya Peraturan Pemerintah.
. Masalah Penerapan Peraturan
a. Kedudukan Hukum Peraturan Pertanahan
Pertanahan merupakan sub sistem dari  sumber daya Agraria. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) menyatakan                             bahwa
                        “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan             adanya            macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah …”
Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai sumber daya agraria diluar tanah tidak merujuk pada                ketentuan UUPA.sering terjadi konflik atau benturan diantara  pengaturan dari sumber daya agraria
Pertanahan merupakan permasalahan yang bersifat multi aspek.  Pengaturan sumber daya agraria yang             saling berbenturan menyebabkan kesulitan penerapan hukum terhadap kasus yang timbul di bidang             pertanahan.
Apabila terjadi konflik berkaitan dengan sumber daya agraria maka peraturan pertanahan merupakan suatu    lex specialis, sehingga terhadap kasus yang bersangkutan harus diterapkan peraturan pertanahan.
Suatu kasus harus diidentifikasi bahwa kasus tersebut merupakan kasus pertanahan oleh sebab itu             diterapkan peraturan pertanahan.
Benturan dengan peraturan-peraturan yang mengatur                           pembangunan/ sektor lain.
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang                              kepada  negara untuk :
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan,                persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang                      angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                     antara orang-orang dengan bumi, air dan                                      angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum                    antara orang-orang             dan perbuatan-perbuatan hukum          yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
sasaran kewenangan negara untuk mengatur tersebut sangat luas yang mencakup bumi maka akan terdapat benturan antara peraturan-peraturan yang mengatur tentang pertanahan dengan peraturan yang mengatur diluar soal pertanahan
1) Pertambangan
Pengaturan tentang pertambangan telah diatur dalam undang-undang no. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan kuasa Pertambangan
Mengenai  kuasa Pertambangan dengan hak atas tanah diatur dalam Pasal 25 s/d pasal 27 Undang-undang no. 11 tahun 1967.
Pasal 25 ayat:
(1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan                                       mengganti kerugian kepada yang berhak atas      tanah               didalam lingkungan daerah kuasa                                           pertambangan maupun diluarnya, dengan atau tidak              dengan sengaja,
(2)             Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha                                     dari kedua pemegang kuasa pertambangan atau                    lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26 :
Kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan
memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa
pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas
dasar mufakat kepadanya :
a         sebelum pekerjaan dimulai,
b diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal 27
Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan,  kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
Kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
Pengairan
Masalah pengairan diatur dalam undang-undang
no.11 tahun 1974 tentang pengairan.
Prof. Budi Harsono berpendapat :
“Sepanjang diatas air tersebut dapat   didirikan bangunan, dapat ditancapkan tiang-           tiang untuk bangunan , maka tanah yang   ada dibawah permukaan air tersebut dapat    diberikan hak atas tanah.”
Transmigrasi
Pengaturan tentang transmigrasi telah diatur               dalam             undang-undang No. 3 tahun 1972                            tentang           ketentuan-ketentuan masalah                           transmigrasi.
Pasal 7 :
Transmigrasi berhak mendapatkan tanah pekarangan           dan/atau tanah pertanian dengan hak-hak tanah             menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Daerah Transmigrasi harus  dibebaskan dari segala hak-hak yang ada di atasnya, oleh Menteri yang diserahi urusan Agraria           dan selanjutnya memberikan hak hak pengelolaan atas tanah            tersebut kepada Menteri ;
Apabila suatu daerah transmigrsi sampai dengan jangka waktu         yang telah ditentukan tidak dipergunakan sebagaimana     mestinya, maka status daerah transmigrasi kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Kehutanan
Masalah kehutanan telah diatur dalam Undang
Undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah.
Semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
untuk sebesar kemakmuran rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara sebagai mana dimaksud ayat
memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
c         Menetapkan status wilayah tertentu seperti kawasan hutan atau bukan kawasan hutan
c         Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Apabila dalam dalam perkembangannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat kembali kepada pemerintah.
Setiap bidang tanah yang ada harus dilandasi dengan suatu alas hak berupa hak-hak atas tanah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1jo pasal 16 ayat 1 UUPA, termasuk juga hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan yang juga diatur dalam undang-undang No.41 tahun 1999 tersebut.
Seluruh bidang tanah yang ada di wilayah Indonesia harus didaftar sesuai ketentuan pasal 19 UUPA (termasuk tanah-tanah kawasan hutan). Permasalahannya adalah apabila hutan tersebut berstatus hutan negara atau hutan adat yang tidak diusahakan atau yang diusahakan oleh pihak lain (perorangan, koperasi, swasta, BUMN/D), bagaimana cara mendaftar, siapa subyek haknya dan dengan hak apa?.
Minyak dan Gas Bumi.
Pengaturan tentang minyak dan gas bumi telah diatur
dalam Undang-undang No.44 Prp. tahun1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi, undang-undang
no. 8 tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan
minyak dan gas bumi yang telah dicabut dengan
Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi.
Hubungan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah telah diatur dalam pasal 33 s/d pasal 36.
Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas permukaan bumi.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara didalam wilayah kerjanya wajib terlebih dahulu menyelesaikan dengan pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap telah diberikan
wilayah kerja maka terhadap bidang-bidang tanah yang
dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas
bumi dan areal pengamanannya, diberikan Hak Pakai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
Bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha minyak dan gas bumi dapat diberikan         kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri.
Saran
n  Tap MPR No.IX/MPR/2001 yang merupakan perintah  dari Lembaga Negara selaku penyelenggara yang menyalurkan kedaulatan rakyat merupakan tugas Pemerintah untuk melaksanakannya.
n  Dengan menunjuk Tap MPR tersebut tentang Pembaharuan Agraria dan Pengaturan Sumber Daya Alam harus ditanggapi sebagai isyarat pentingnya suatu peraturan perundang-undangan –payung bidang keagrariaan yang dapat menjawab dan memecahkan masalah tumpang tindihnya pengaturan dan kewenangan sebagai implementasi dari Pasal 33 UUD 1945.
Ciri-Ciri Hukum Nasional.

  1. UUPA sejak diundangkan tanggal 24 September 1960 pada masa penerapan dan pelaksanaannya mengalami pengujian-pengujian berdasarkan gejolak dan dinamika kehidupan masyarakat dari segi politik.
  2. UUPA senantiasa dikaji oleh setiap rezim pemerintahan terutama terhadap apakah tujuan, filosofi dan yuridis tersebut sesuai atau sejalan atau mungkin bertentangan dengan politik pemerintahan yang terkait.
  3. Simposium Nasional Agraria 1977 (16 tahun setelah UUPA berlaku) di Banjarmasin menghasilkan rekomendasi antara lain bahwa pada dasarnya UUPA masih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
  4. Setiap UU lahir berdasarkan kebutuhan masyarakat berdasarkan kondisi yang ada pada saat itu bersifat “ photographis “ yaitu merupakan gambaran dan aspirasi dari kenyataan masyarakat pada waktu itu.
  5. Terbitnya suatu UU bersifat “einmalig”, padahal dinamika masyarakat selalu berkembang. Wajar kalau masyarakat selalu menuntut suatu UU untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu bertambah. UUPA juga memiliki kekurangan, contoh : kemajuan tehnologi menuntut agar diadakan mengenai Hak atas ruang bawah tanah, Hak atas ruang udara (bangunan tinggi, monumen, jalan layang dsb), Hak guna air/bangunan dibawah air dll.
  1. Contoh; UU No.16 th 1985 tentang Rumah Susun  yang belum ada landasan yang jelas dalam UUPA.

  1. 4.       PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PADA SAAT BERLAKUNYA UUPA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar