Masalah Eksekusi Paksa Putusan PTUN
Badan atau pejabat mana yang dapat melakukan upaya paksa terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan menarik dari Anda.
Menarik
karena pertanyaan ini sudah lama menjadi persoalan yang dibahas di
lingkungan peradilan, termasuk saat Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung.
Silakan baca artikel ‘MA Tak Bisa Intervensi Eksekusi Putusan’.
Masalah ini juga sering dikaitkan dengan efektivitas Pengadilan Tata
Usaha Negara (“PTUN”) dalam proses penegakan hukum, seperti tertuang
dalam artikel ‘PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum’.
Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendi Lotulung, pernah menuangkan ‘jawaban’ atas persoalan ini dalam tulisannya “Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan Problematikanya dalam Praktek”, dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia Indonesia, 1995).
Seperti
yang Anda sebutkan dalam pertanyaan, hanya putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Namun, tak semua
pihak yang dikalahkan bersedia secara sukarela menjalankan putusan
hakim. Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak hukum yang akan
melaksanakan eksekusi putusan bisa meminta bantuan aparat keamanan.
Beda halnya dengan eksekusi putusan PTUN. Rozali Abdullah (2005: 98)
tegas menyatakan dalam eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya
paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Istimewanya, Presiden selaku
kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan
PTUN.
Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa:
a. Batal
atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan
sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan
untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya
sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada
tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234).
b. Pelaksanaan
putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang
mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN
baru.
c. Selain
itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN
sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan
fiktif negatif.
Pembentuk
Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan
secara sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat
bergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat (Rozali Abdullah, 2005: 99).
Kalau
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka
UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan
Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat
yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa.
Mekanisme lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat media massa. Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan
pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media
massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu
90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN
menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan
kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas
bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan.
Sedangkan, mekanisme uang paksa yang disebut dalam Pasal 116 ayat (4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas. Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN
hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang
dicantumkan dalam amar putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan
gugatan penggugat. Setidaknya, masih menjadi pertanyaan apakah uang
paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa yang
harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan
berapa besar uang paksa atau dwangsom yang dimungkinkan. Ini masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya perlu segera diatasi (Mahkamah Agung, 2007: 9).
Meskipun
demikian, sebenarnya sanksi administratif, pengenaan uang paksa dan
pengumuman di media massa tak perlu terjadi jika Badan/Pejabat TUN
menjalankan putusan secara sukarela.
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah beberapa kali diubah, yakni melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Referensi:
Mahkamah Agung. Permasalahan dari Daerah dan Jawabannya Bidang Tata Usaha Negara. Bahan pada Rakernas Mahkamah Agung dan Jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Makassar, 2007.
R. Wiyono. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar