Kamis, 17 Oktober 2013

Pemahaman hasil diskusi UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya terkait dengan pelaksanaan setoran BPHTB

Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya terkait dengan pelaksanaan setoran BPHTB atas permohonan hak atas tanah yang diatasnya dibangun rumah oleh pemiliknya sendiri, apakah perhitungan bphtb'nya hanya terhadap tanahnya saja atau termasuk bangunan rumahnya? Terdapat "kebiasaan" di daerah yang mengharuskan bangunan jadi pajak terutang dalam hal pemberian hak pertamakali. Sudah jelas sekali SK Kakan adalah pemberian Hak Atas Tanah saja. (bukan pemberian hak atas Tanah dan Bangunan). Lebih suka melaksanakan Kebiasaan-kebiasaan dan tidak berani ambil sikap. Kalaupun ada perbedaan penafsiran terhadap undang-undangnya, yang jelas BPHTB itu kan "self assesment", sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Membahas peraturan di kantor apalagi di daerah bukan menjadi topik yang menarik, tidak semua orang suka.
Memang kesulitan jika bertemu kata "biasanya", padahal yang biasa itu belum tentu benar. Dulu waktu saya masih di daerah pernah juga analisis UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2000 sehingga menganut azas self assesment. Dulu saya pernah tanyakan masalah tersebut ke kantor PBB pada waktu itu dan mereka bilang itu menjadi given. padahal jika given berarti pelaksanaannya harus sesuai bunyi UU. Rasanya tidak masuk akal kalau dalam pendaftaran hak pertama kali atas tanah yang rumahnya dibangun sendiri oleh pemilik tanah lantas bangunanya juga dikenakan BPHTB. Memang tidak analisis UU terbaru tapi setelah dibaca istilahnya ada yang menggunakan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Jika demikian berarti bisa alternatif maupun komulatif, artinya bisa tanah dan bangunan maupun bisa tanahnya saja. Ini berarti untuk kasus seperti di atas yang dikenakan BPHTB hanya tanahnya saja. Mudah-mudahan mind set teman-temen daerah berubah, kita harapkan temen-temen mulai rajin buka peraturan, membacanya dan bahkan menganalisanya dan hasilnya bisa kita sampaikan ke Kakantah sebagai bahan pengambilan keputusan.
Dalam hukum agraria dari semula berlaku azas self assesment dan bukan pemisahan horisontal, dibuktikan pada Pasal 4 UUPA Perihal pengertian 'tanah'. Hal demikian ternyata juga dianut pada UU No. 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan dimana tanah beserta tanam tumbuh diatasnya menjadi obyek yang dipertanggungkan. Sehingga pada UU No. 21 Tahun 1997, perkiraan dapat diberlakukan yang sama. Azas pemisahan horisontal itu malah yang dianut oleh hukum pertanahan nasional kita yang maknanya pemilik tanah tidak otomatis sebagai pemilik bangunan atau pun tanaman yang berada di atas tanah tesebut. Sebelumnya kita menganut azas asesi atau perlekatan sebagaimana yang diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dengan berlakunya UUPA maka buku II tersebut sepanjang yang mengatur tentang tanah dicabut, oleh karennya azas perlekatan ini kita tinggalkan. mudah-mudahan saya tidak keliru, mengingat sudah lama saya tidak membuka peraturan pertanahan.
Azas self assestmen yang dimaksud dalam UU BPHTB pengertiannya bahwa wajib pajaklah yang menghitung sendiri besarnya pajak terutang untuk kemudian membayar ke bank yang ditunjuk. Dalam hal setoran BPHTB-nya kurang bayar karena wajib pajak keliru menghitung misalnya, maka kantor pajak berdasarkan ssb yang salah satunya disampaikan kepadanya akan menagih kekurangannya kepada wajib pajak. Sehingga dengan sistem tersebut sebetulnya tidak ada yang perlu kita khawatirkan terkait pelaksanaan bphtb. 
Bangunan tidak ikut menjadi variable BPHTB. tapi, Namun ada perubahan UU yang semula tidak ditarik dan sekarang memang ditarik. akhirnya dalam pemberian hak, tanah dan bangunan. Persoalannya jika tidak dibayarkan, Pemda akan menagih sebagai kurang bayar. Memang, kita seperti penjajahan dahulu. Tanah dan rumah sendiri harus dipajak, selain PBB. Padahal, ketika didirikan bangunan, IMB juga bayar. Negara kita kurang kreatif, mestinya bangunan milik sendiri tidak usah dipajak lagi apalagi numpang lewat ketika pemberian hak? Mari kita renungkan. 
Dalam UU-nya sendiri baik 21/1997, 20/2000 dan 28/2009, pengertian BPHTB dan objek pajak : masih tetap mengakomodir "tanah dan/ atau bangunan. (nggak ada perubahan). Kemudian terjadinya BPHTB kan karena ada peristiwa/perbuatan hukum, dalam hal pemberian hak berarti karena ada SK pemberian hak atas tanah (tanah saja). Ketentuan BPHTB tidak terlepas dari tata cara yang berlaku di bidang pertanahan (dalam hal ini BPN), hal ini ditegaskan di ketentuan umum UU No. 28/2009 Pasal 1 butir 43, Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di BIDANG PERTANAHAN. Jadi menurut saya masih tetap sinkron semuanya dengan peraturan pertanahan. Kalaupun Perda menterjemahkan hal lain (bisa jadi karena tidak paham dengan peraturan pertanahan) berarti Perda tersebut BATAL DEMI HUKUM karen bertentangan dengan UU-nya. Perlu ketegasan dari BPN saja menyikapi persoalan ini, sama halnya seperti masalah verifikasi yang sudah ditindak tegas oleh Kepala BPN. Kalau perlu atau mau cari aman juga, kita arahkan saja di surat pernyataan pemohon (waktu pendaftaran ) bahwa bangunan adalah milik sendiri sehingga yang dibayar pajak hak atas tanahnya karena self assesment. 
UU No.28/2009 menggunakan terminologi BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangungan yang jika demikian bisa berarti alternatif maupun komulatif. Jika UU secara limitatif mengatur seperti itu, idealnya Perda juga harus sejalan, artinya BPHTB bisa diterapkan baik secara alternatif maupun komulatif (tidak bisa semuanya diterapkan komulatif, hal tersebut sebagai konsekuensi adanya kata dan/atau tersebut). Dalam hal sesorang membeli tanah yang sudah bersertipikat dan diatasya berdiri bangunan rumah wajar jika yang bersangkutan dikenakan BPHTB atas tanah dan bangunan (komulatif), namun jika yang bersangkutan membeli tanah belum bersertipikat kemudian mendirikan rumah sendiri seharusnya yang bersangkutan pada waktu pendaftaran haknya yang bersangkutan hanya dikenakan BPHTB atas tanahnya saja (alternatif). Sebetulnya UU No. 28 Tahun 2009 telah mengatur mekanisme pengawasan dan pembatalan Perda tentang Pajak dan Retribussi (Pasal 157), tetapi rasanya hal itu tidak mungkin dilaksanakan terhadap daerah yang sudah mempunyai Perda karena kewenangan sifatnya executive preview (pengawasan lembaga eksekutif pada saat rancangan Perda dibuat). Namun demikian masih terbuka kesempatan adanya executive review dari pemerintah pusat dalam hal ini Mendagri/Menkeu, tapi rasanya mustahil mengharapkan upaya ini. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah mengajukan judicial review ke MA (UU No. 5 Tahun 2004 dan Perma No. 1 Tahun 2004 jo 1/2011) yang bisa diajukan oleh perorangan maupun kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya Perda tersebut. 
Pembuatan Perda seharusnya melibatkan stakeholder, dalam hal Perda yang mengatur BPHTB seharusnya melibatkan BPN dalam pembahasannya sehingga dalam pelaksanaan di lapangan tidak ada kendala. Namun melihat rekan-rekan di daerah banyak yang tidak puas dengan Perda terkait BPHTB sudah barang tentu dalam pembahasan Perda tersebut BPN tidak dimintai pendapat. Perda memang tidak boleh bertentangan dengan UU, dan jika Perda tidak sejelan dengan UU, pihak-pihak yang dirugikan harus menempuh upaya judicial review sebagaimana sudah dijelaskan di atas (bagaimana jika sekali-kali PPAT menginisiasi upaya judicial review ini). Sedikit menyinggung verifikasi, jika hal itu dituangkan dalam Perda, itu yang sebetulnya menjadi musibah bagi BPN, karena fungsi Perda pada dasarnya merupakan pelaksanaan peraturan yang lebih tinggi sesuai ciri khas masing-masing daerah. Sementara UU hanya mengatur norma yang bersifat umum saja, sedangkan teknisnya diatur dalam peraturan dibawahnya termasuk Perda. Inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah daerah. Dalam hal Perda mengatur adanya kewajiban verifikasi BPHTB sebelum pendaftaran hak, kita terikat dengan ketentuan ini karena UU telah mendelegasikan hal-hal teknis pelaksanaan pajak dan retribusi daerah termasuk BPHTB kepada Pemda dengan membuat Perda. Untuk yang satu ini jujur saja saya tidak sependapat dengan Kepala BPN yang mengeluarkan Surat Edaran mengenai tidak perlunya verifikasi thd SSB, karena SE itu hanya mengikat internal BPN saja dan tidak mengikat eksternal ke instansi lain. SE tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (dalam hal ini Perda sebagai pelaksanaan dari UU) Ini yang sebetulnya masih menjadi problem bagi BPN. Satu sisi UU BPHTB menganut azas self assestment disisi lain kita masih diperintahkan untuk verifikasi SSB. Kekhawatiran, manakala petugas BPN tidak melakukan verifikasi SSB, sementara Perda memerintahkan untuk itu dan dikemudian hari ditemukan indikasi kerugian keuangan negara pasti petugas kita yang pertama kali dipanggil pihak kepolisian atau kejaksaan. Jika sudah seperti ini apakah kepala BPN berkenan turun tangan? Berharap ahli-ahli hukum BPN bisa mengeluarkan peraturan yang bermutu/berkualitas, yang bisa melindungi pegawainya. 
BPHTB bukan kepentingan dan kewenangan BPN. Awal BPHTB dipungut sebelum SK Pemberian HAT terbit, dimana Hak belum lahir kenapa sudah bayar Pajak. Kemudian berganti SSB/BPHTB ditarik setelah SK Pemberian HAT sampai sekarang. Pemegang kekuasaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB pindah ke Pemda dan harus Validasi. BPHTB adalah Self Assesment (dan/atau Pajak Terhutang) kenapa Kita yang selalu ketakutan, sampai-sampai Petugas Loket Disuruh menghitung angka-angka yang ada di SSB (bahkan ada Surat dari Pusat) "kalo kurang bayar muncul kerugian Negara, maka akan ditanggung Kakan". SE No. 5 Tahun 2013 tidak perlu adanya Validasi karena pembayaran BPHTB/Self Assesment tidak boleh menghalangi Pendaftaran Tanah. Jadi, kenapa harus dipusingkan TANAH nya dan/atau BANGUNAN nya kah? yang dikenai Pajak silahkan aja Pemda yang Penting lampirkan lembaran SSB dlm rangka Pendaftaran HAT. Sekali lagi SELF ASSESMENT kita berani ucapkan maka itu PRINSIP dan bukan Domein BPN menghitung-hitung itu. 
Bahwa UU mensyaratkan setiap pendaftaran sebagai sumber APBN dan terakhir smber APBD. Ini tidak bisa diganggu gugat. UU dan PERDA mewajibkan pajak dibayar atas tanah dan bangunan secara kumulatif. Terlepas kita setuju atau tidak. Ini tidak bisa kita diganggu gugat. 
Cara pembayaran self assesment. Orangnya sendiri yang menentukan dan dibayar sendiri. Cara ini juga tidak bisa kita ganggu gugat. 
Berkaitan dengan pendaftaran sudah ditetapkan sebelum di teken melampirkan bukti pelunasan BPHTB. Jika di langgar ya jadi objek pemeriksaan dan mulai muncul persoalan internal kita terganggu atau memperlambat di teken dan ujung-ujungnya daftar 208 akan tertabrak. Siapa yang bertanggung jawab jika hal itu terjadi?
Soal nilai bangunan katut atau tidak bukanlah masalah kita BPN ini. Jikapun kita ikut memasalahkan semata karena kita tahu dan empati kepada rakyat. Toh UU dan PERDA itu hasil kerja wakil rakyat. Jika ada yang salah hampir semua setuju biar relawan yang menyoal di lembaga khusus. Aspek kasat mata untuk menaikkan APBD sudah kita lihat misal kenaikan yang sangat fantastik. Pasti ada pihak yang mengontrol jika ada kesengajaan dan salah prosedur. Karena negara kita adalah negara hukum bukan perusahaan. 
SE itu bagus untuk meralat SE Wajib Validasi. Tinggal BPN sudah bisa baca atau belum. Sudah baca tapi apa sudah paham atau belum. Jika sudah paham punya keberanian mengeksekusi atau tidak. Disinilah perlu kepemimpinan yang tegas didasari wawasan fortofolio yang jelas antara Kementerian Keuangan/Pemda dan BPN RI diseluruh pelosok. Ibarat menari hayo kita menari dengan musik kita jangan menari dengan musik orang lain. Jika dilapangan sangat perlu koordinasi supaya SOP kita tepat waktu. Bentuk koordinasi bisa BPN yang undang jika dilapangan pelaksanaan menyimpang dan lambat bukti dilampirkan. Atau usulkan ke Bupati/Gubernur dng telaahan staf atau usulkan dengan rapat koordinasi. Jika ini kita lakukan, mudah-mudahan pelayanan BPN akan semakin mantsp dan rakyat tahu mana yang pro rakyat mana yang tidak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar