Minggu, 20 Oktober 2013

Prona yang dilaksanakan oleh Ditjen Agraria hingga BPN RI disunting oleh Bapak Bambang Ardiantoro

www.bambangardi.wordpress.com +62.815.892.8158 bambangardiantoro@yahoo.co.id
Prolog
Prona semula akronim dari Proyek Operasi Nasional Agraria semasa pelaksanaan awal dasawarsa 1980-an (tahun 1981) oleh Ditjen Agraria, Depdagri di bawah komando Mayjen (Purn) Daryono, SH lalu kemudian menjadi Program Nasional Agraria kala diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI)—khususnya saat BPN-RI dipimpin oleh Joyo Winoto, PhD. Sifat utama Prona pada mulanya merupakan upaya Pendaftaran Tanah (berdasar PP 10/1961: penerbitan sertifikat tanah, sebagai tanda bukti hak atas tanah), selanjutnya menjadi Program Pertanahan Nasional dalam percepatan Pendaftaran Hak atas Tanah yang dikenal sebagai Legalisasi Aset Tanah warga masyarakat (berdasar PP 24/1997: Pendaftaran Tanah Pertama Kali, juga sebagai tanda bukti hak atas tanah). Selain Prona yang diperuntukkan bagi warga masyarakat umum sesuai syarat yang ditentukan, dikenal pula Pendaftaran Tanah Pertama Kali yang dinamai Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHaT) Lintas-sektor bagi warga UKM (Usaha Kecil dan Menengah), MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), Petani, Nelayan, hingga Transmigran; demikian pula Sertifikasi Tanah Pemerintah (BMN, Barang Milik Negara). Kesemua kegiatan sertifikasi tanah tersebut dengan biaya yang telah tercantum dalam DIPA bagi pekerjaan yang dilaksanakan oleh jajaran BPN-RI sehingga peserta tanpa dipungut biaya; terkecuali pengeluaran yang melekat pada si empunya tanah yang terkait proses sertifikasi tanah, antara lain dalam penyiapan fisik bidang tanah berupa pemasangan patok tanda batas bidang tanah, penyiapan yuridis berupa kelengkapan surat-surat tanda penguasaan seperti akta-akta, kuitansi, pembayaran jika diwajibkan terhadap PPh, BPTHB, dan lain-lain, meterai hingga penyediaan berkas atau warkah bukti kepemilikan yang merupakan dokumen asli ataupun salinan (fotokopy), serta lain-lain yang tidak tercantum dalam DIPA BPN-RI namun memang menjadi kewajiban peserta sertifikasi tanah. Dengan demikian, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian dalam kegiatan Prona: obyek tanah, subyek peserta, dan dokumen pelengkap syarat.

Obyek
Obyek dalam Prona dimaksudkan bagi bidang tanah yang akan disertifikatkan, yakni persil atau kaveling atau petak tanah yang wajib jelas letaknya, batas-batasnya, dan aman tanpa adanya persengketaan dalam penguasaan peserta.

Subyek
Subyek atau peserta Prona adalah masyarakat golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah, yang memenuhi persyaratan sebagai subyek/peserta Prona yaitu pekerja dengan penghasilan tidak tetap antara lain petani, nelayan, pedagang, peternak, pengrajin, pelukis, buruh musiman, dan juga lain-lain pekerja dengan penghasilan tetap:
a. Pegawai perusahaan, baik swasta maupun BUMN/BUMD dengan penghasilan per bulan sama atau di bawah Upah Minimum Regional (UMR, UMK, UMP) yang ditetapkan oleh masing-masing kabupaten/kota, yang dibuktikan dengan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan surat keterangan penghasilan dari perusahaan;
b. Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS) pangkat sampai dengan Penata Muda Tk.I (III/b), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pangkat sampai dengan Kapten dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pangkat sampai dengan Komisaris, dibuktikan dengan fotokopy Surat Keputusan (SK) pangkat terakhir;
c. Istri/suami veteran, istri/suami PNS, istri/suami prajurit TNI, istri/suami anggota Polri sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dibuktikan dengan fotokopy SK pangkat terakhir dan akta nikah; dan
d. Pensiunan PNS, pensiunan TNI dan pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun; serta
e. Janda/duda pensiunan PNS, janda/duda pensiunan TNI, janda/duda pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun janda/duda dan akta nikah.

Peserta Prona berkewajiban untuk:
a. Menyediakan/menyiapkan alas hak atau alat bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
b. Menunjukkan letak dan batas-batas tanah yang diajukan proses sertifikasi (dapat dengan surat kuasa);
c. Menyerahkan Bukti Setor Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bukti Setor Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi peserta yang terkena ketentuan tersebut;
d. Memasang patok batas tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
e. Menyediakan meterai yang diperlukan; serta
f. Melengkapi berkas sebagai persyaratan secara lengkap dan benar, termasuk masih berlaku (misal fotocopy identitas KTP, KK, dll. yang dicocokkan sesuai aslinya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat).

Kriteria Lokasi
Di dalam penetapan lokasi Prona perlu memperhatikan kondisi wilayah dan infrastruktur pertanahanan yang tersedia.
1. Kondisi Wilayah:
Lokasi Kegiatan Prona diarahkan pada wilayah-Wilayah sebagai berikut:
o Desa miskin/tertinggal;
o Daerah pertanian subur atau berkembang;
o Daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota;
o Daerah pengembangan ekonomi rakyat;
o Daerah lokasi bencana alam;
o Daerah permukiman padat penduduk serta mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan;
o Daerah di luar sekeliling transmigrasi;
o Daerah penyangga daerah Taman Nasional;
o Daerah permukiman baru yang terkena pengembangan prasarana umum atau relokasi akibat bencana alam.
2. Infrastruktur Pertanahan
Penetapan lokasi wilayah desa/kelurahan PRONA, hendaknya memperhatikan ketersediaan infrastruktur pertanahan, antara lain:
o Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
o Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T);
o Peta Penatagunaan Tanah;
o Peta Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (Fotogrametis);
o Infrastruktur Titik Dasar Teknik (TDT) dan Peta Dasar Pendaftaran;
o Teknologi Informasi dan Komunikasi;
o Mobil dan peralatan Larasita; dan
o Infrastruktur lainnya.

Kriteria Obyek Prona
1. Tanah sudah dikuasai secara fisik;
2. Mempunyai alas hak (bukti yuridis kepemilikan);
3. Bukan tanah warisan yang belum dibagi;
4. Tanah tidak dalam keadaan sengketa;
5. Lokasi tanah berada dalam wilayah kabupaten/kota lokasi peserta program yang dibuktikan dengan KTP setempat;
6. Memenuhi ketentuan tentang luas tanah maksimal obyek Prona.

Luas dan Jumlah Tanah Obyek Prona
1. Tanah Negara:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 500 m2 (lima ratus meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 2 ha (dua hektar).
2.Penegasan konversi/pengakuan hak:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 1.000 m2 (seribu meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 5 ha (lima hektar).
3. Jumlah bidang tanah:
Bidang tanah yang dapat didaftarkan atas nama seseorang atau 1 (satu) peserta dalam kegiatan Prona paling banyak 2 (dua) bidang tanah.

Tahapan Pelaksanaan Prona
a. Penyerahan DIPA (oleh Kemenkeu)
b. Penetapan Lokasi (oleh Kanwil BPN provinsi)
c. Penyuluhan (oleh Kantah Kabupaten/Kota)
d. Pengumpulan data (alat bukti/alas hak, Penetapan Peserta) oleh Satgas Yuridis
e. Pengukuran dan Pemetaan oleh Satgas Pengukuran
f. Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A
g. Pengumuman (tenggang waktu 60 hari)
h. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (Penetapan Hak)
i. Penerbitan Sertipikat (Tanda Bukti Hak)/Pembukuan Hak
j. Penyerahan Sertipikat (Tanda Bukti Hak) Tanah

Biaya untuk pelaksanaan kegiatan Prona bersumber dari rupiah murni pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan ke DIPA BPN-RI atau dana bersumber dari APBD melalui Proda (Program Daerah). Anggaran dimaksud meliputi biaya untuk:
a. Penyuluhan;
b. Pengumpulan Data (alat bukti/alas hak);
c. Pengukuran Bidang Tanah;
d. Pemeriksaan Tanah;
e. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis;
f. Penerbitan Sertipikat;
g. Supervisi dan Pelaporan.

Sedangkan biaya materai, pembuatan dan pemasangan patok tanda batas bidang tanah, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi yang terkena ketentuan perpajakan menjadi beban kewajiban peserta Prona, juga bila ada biaya perbanyakan salinan/fotokopy berkas. Biaya yang melekat pada kewajiban peserta Prona tidak dianggarkan pada APBN/APBD sehingga peserta memang tidak dibebani biaya di BPN namun masih wajib menanggung biaya yang tidak ditanggung oleh pemerintah.

Beberapa syarat yang harus disiapkan peserta Prona antara lain:
a. Pengisian Formulir permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (Rp6.000);
b. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
c. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Kantor Pertanahan;
d. Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat atau tanah garapan (Tanah Negara);
e. Fotokopy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB);
f. Asli dan fotocopy Akta PPAT/PPATS (camat setempat) untuk perolehan tanah setelah Oktober 1997; atau bukti perolehan (misal: kuitansi jual-beli sebelum Oktober 1997);
g. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
h. Menyiapkan meterai yang diperlukan;
i. Memperbanyak dokumen yang diperlukan; dan
j. Memasang patok batas bidang tanah.

Formulir permohonan memuat:
a. Identitas diri;
b. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon;
c. Pernyataan tanah tidak sengketa dan belum pernah terbit sertifikat tanah; dan
Tampilkan riwayat pesan
Pernyataan tanah dikuasai secara fisik.

Epilog
Ringkasan dalam tulisan ini bersifat umum, hal-hal lain yang khusus berlaku pada wilayah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dapat ditanyakan pada saat penyuluhan atau ke kantor; misal dasar kepunyaan seperti Petok D/C, kekitir, SKGR, SKT, SK-HUAT, dsb.
-oOo-

Setelah Dirjen Agraria kemudian menjadi Kementrian yaitu Menag/KaBPN selanjutnya BPN dan baru BPN-RI. Bahwa Program Prona itu terus dan berkelanjutan sampai Lembaga ini bernama BPN-RI. Keberlangsungan Prona dimasukkan dalam Klasifikasi Pendaftaran "Sistematis" (bukan sporadik sebagaimana yang dilakukan sekarang) agar Pengumuman/Asas Legalitas dalam proses Konversi/Penegasan Hak/Pengakuan Hak atas Tanah Adat (yang banyak sebagai Objek Prona) dapat dilakukan "hanya" 30 hari, (dalam Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997) sehingga Target fisik, Keuangan dan Waktu yang ditetapkan dapat berjalan sesuai yang diinginkan dan kedepan tidak ada lagi Laporan (maaf) ABS! Lalu terjadi InKonsistensi yaitu Prona dilaksanakan dengan sistim Pendaftaran Sporadik akan tetapi semua Kegiatan PRONA dari mulai, Penetapan Lokasi, Persiapan, Pembentukan Tim/Satgas2, Penyuluhan, Pengumpulan Data Fisik (Ukur), Puldadis, Pengumuman Data Fisik dan Yuridis, Pengesahan Konversi/Penegasan/Pengakuan HAT Eks Milik Adat, Pembukuan Hak dan Penerbitan Sertipikat. Kegiatan itu semua tertuang dalam PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 pada BaB III Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali, Bagian Kesatu "Pendaftaran Tanah Secara Sistematik" mulai Pasal 46 s/d Pasal 69, namun kenapa Sistem Pengumumannya kita memakai Pendaftaran Tanah Sporadik ? Yaitu 60 hari (vide: Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997). Perlu dicermati Bab III tersebut yaitu Pasal 46 s/d Pasal 69 tersebut tegas tentang AJUDIKASI. berarti Sistem Pendaftaran Prona Tidak Tegas Ada? Sedang jika dibilang Sporadik Proses Pekerjaan-pekerjaan itu juga tidak ada di PP No. 24 Tahun 1997 jo PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997? Pernah ada diskusi dengan Kakanwil Jateng dan Seluruh Kakan, salah satu Kakan menyampaikan hal ini. Jawaban Kakanwil "emang sudah sering dibahas di Pusat dengan Para Kakanwil, tapi kita harus MERUBAH Peraturan". Pertanyaannya Peraturan yang mana, tentang Prona? Toh itu Peraturan kita sendiri katakanlah setingkat Perkaban. Kalopun harus dirubah atau diganti (bahkan setiap Tahun karena Prona) kenapa tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar