Kamis, 21 November 2013

PENGADUAN MAL ADMINISTRASI DI OMBUDSMAN PERLU DIPERHATIKAN HAL BERIKUT

Laporan yang ditangani :
  1. Harus jelas identitas Pelapornya (Ombudsman tidak melayani surat kaleng)
  2. Substansi yang dilaporkan merupakan kewenangan Ombudsman
  3. Disertai data kronologi yang jelas dan sistematis
  4. Tidak harus menggunakan bahasa hukum, cukup bahasa yang sederhana

Laporan tidak ditindaklanjuti apabila :
  1. Identitas pelapor tidak lengkap
  2. Tidak disertai alasan yang mendasar
  3. Tidak mendapat kuasa dari korban
  4. Sedang dalam pemeriksaan di pengadilan atau institusi yang berwenang
  5. Sudah diselesaikan oleh instansi yang berwenang
  6. Pelapor sudah terlebih dahulu menyampaikan keluhan atau dilaporkan kepada instansi yang berwenang
  7. Peristiwa tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sudah lewat 2 (dua) tahun sejak peristiwa, tindakan atau keputusan yang bersangkutan terjadi. 
Pemeriksaan dapat dihentikan apabila :
  1. Substansi yang dilaporkan merupakan kebijakan umum pemerintah;
  2. Perilaku dan keputusan aparat telah sesuai ketentuan yang berlaku;
  3. Masalah yang dilaporkan masih dapat diselesaikan sesuai prosedur administrasi yang berlaku;
  4. Masalah yang dilaporkan sedang diperiksa di Pengadilan, dalam proses banding atau kasasi di Pengadilan yang lebih tinggi;
  5. Tercapainya penyelesaian dengan cara mediasi;
  6. Pelapor meninggal dunia atau mencabut laporannya.
Biaya/Imbalan
Ombudsman tidak memungut biaya (gratis) dan tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun.

Kerahasiaan
Atas pertimbangan tertentu Ombudsman dapat menjaga kerahasiaan identitas Pelapor.


KEWAJIBAN PENGADILAN DALAM MENGINFORMASIKAN PUTUSAN DAN PENETAPAN

PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI INFORMASI PUBLIK
Pengadilan wajib menyediakan dan mengelola informasi terkait putusan dan penetapan. Oleh karena semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Mengacu dalam Pasal 52 UU tentang Keterbukaan Informasi Publik

Selasa, 19 November 2013

SEJARAH PRONA DI INDONESIA

DASAH HUKUM
 Prona yang dilaksanakan oleh Ditjen Agraria hingga BPN RI
disunting oleh Bambang ardiantoro
www.bambangardi.wordpress.com   +62.815.892.8158   bambangardiantoro@yahoo.co.id
Prona semula akronim dari Proyek Operasi Nasional Agraria semasa pelaksanaan awal dasawarsa 1980-an (tahun 1981) oleh Ditjen Agraria, Depdagri di bawah komando Mayjen (Purn) Daryono, SH lalu kemudian menjadi Program Nasional Agraria kala diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI)—khususnya saat BPN-RI dipimpin oleh Joyo Winoto, PhD.  Sifat utama Prona pada mulanya merupakan upaya Pendaftaran Tanah (berdasar PP 10/1961: penerbitan sertifikat tanah, sebagai tanda bukti hak atas tanah), selanjutnya menjadi Program Pertanahan Nasional dalam percepatan Pendaftaran Hak atas Tanah yang dikenal sebagai Legalisasi Aset Tanah warga masyarakat (berdasar PP 24/1997: Pendaftaran Tanah Pertama Kali, juga sebagai tanda bukti hak atas tanah).  Selain Prona yang diperuntukkan bagi warga masyarakat umu sesuai syarat yang ditentukan, dikenal pula Pendaftaran Tanah Pertama Kali yang dinamai Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHaT) Lintas-sektor bagi warga UKM (Usaha Kecil dan Menengah), MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), Petani, Nelayan, hingga Transmigran; demikian pula Sertifikasi Tanah Pemerintah (BMN, Barang Milik Negara).  Kesemua kegiatan sertifikasi tanah tersebut dengan biaya yang telah tercantum dalam DIPA bagi pekerjaan yang dilaksanakan oleh jajaran BPN-RI sehingga peserta tanpa dipungut biaya; terkecuali pengeluaran yang melekat pada si empunya tanah yang terkait proses sertifikasi tanah, antara lain dalam penyiapan fisik bidang tanah berupa pemasangan patok tanda batas bidang tanah, penyiapan yuridis berupa kelengkapan surat-surat tanda penguasaan seperti akta-akta, kuitansi, pembayaran jika diwajibkan terhadap PPh, BPTHB, dan lain-lain, meterai hingga penyediaan berkas atau warkah bukti kepemilikan yang merupakan dokumen asli ataupun salinan (fotokopy), serta lain-lain yang tidak tercantum dalam DIPA BPN-RI namun memang menjadi kewajiban peserta sertifikasi tanah.  Dengan demikian, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian dalam kegiatan Prona: obyek tanah, subyek peserta, dan dokuken pelengkap syarat.
 
Obyek
Obyek dalam Prona dimaksudkan bagi bidang tanah yang akan disertifikatkan, yakni persil atau kaveling atau petak tanah yang wajib jelas letaknya, batas-batasnya, dan aman tanpa adanya persengketaan dalam penguasaan peserta.
 
Subyek
Subyek atau peserta Prona adalah masyarakat golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah, yang memenuhi persyaratan sebagai subyek/peserta Prona yaitu pekerja dengan penghasilan tidak tetap antara lain petani, nelayan, pedagang, peternak, pengrajin, pelukis, buruh musiman, dan juga lain-lain pekerja dengan penghasilan tetap:
a.    pegawai perusahaan, baik swasta maupun BUMN/BUMD dengan penghasilan per bulan sama atau di bawah Upah Minimum Regional (UMR, UMK, UMP) yang ditetapkan oleh masing-masing kabupaten/kota, yang dibuktikan dengan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan surat keterangan penghasilan dari perusahaan;
b.   veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS) pangkat sampai dengan Penata Muda Tk.I (III/b), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pangkat sampai dengan Kapten dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pangkat sampai dengan Komisaris, dibuktikan dengan fotokopy Surat Keputusan (SK) pangkat terakhir;
c.    istri/suami veteran, istri/suami PNS, istri/suami prajurit TNI, istri/suami anggota Polri sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dibuktikan dengan fotokopy SK pangkat terakhir dan akta nikah; dan
d.   pensiunan PNS, pensiunan TNI dan pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun; serta
e.    janda/duda pensiunan PNS, janda/duda pensiunan TNI, janda/duda pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun janda/duda dan akta nikah.
 
Peserta Prona berkewajiban untuk:
a.    menyediakan/menyiapkan alas hak atau alat bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
b.   menunjukkan letak dan batas-batas tanah yang diajukan proses sertifikasi (dapat dengan surat kuasa);
c.    menyerahkan Bukti Setor Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bukti Setor Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi peserta yang terkena ketentuan tersebut; dan
d.   memasang patok batas tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
e.    menyediakan meterai yang diperlukan; serta
f.     melengkapi berkah sebagai persyaratan secara lengkap dan benar, termasuk masih berlaku (misal fotokopy identitas KTP, KK, dll. yang dicocokkan sesuai aslinya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat).

 

Kriteria Lokasi

Di dalam penetapan lokasi Prona perlu memperhatikan kondisi wilayah dan infrastruktur pertanahanan yang tersedia.
1.   Kondisi Wilayah:
Lokasi Kegiatan Prona diarahkan pada wilayah-Wilayah sebagai berikut:
o desa miskin/tertinggal;
o daerah pertanian subur atau berkembang;
o daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota;
o daerah pengembangan ekonomi rakyat;
o daerah lokasi bencana alam;
o daerah permukiman padat penduduk serta mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan;
o daerah diluar sekeliling transmigrasi;
o daerah penyangga daerah Taman Nasional;
o daerah permukiman baru yang terkena pengembangan prasarana umum atau relokasi akibat bencana alam.
2.   Infrastruktur Pertanahan
Penetapan lokasi wilayah desa/kelurahan PRONA, hendaknya memperhatikan ketersediaan infrastruktur pertanahan, antara lain:
o Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
o Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (I.P4T);
o Peta Penatagunaan Tanah;
o Peta Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (Fotogrametis);
o Infrastruktur Titik Dasar Teknik (TDT) dan Peta Dasar Pendaftaran;
o Teknologi Informasi dan Komunikasi;
o Mobil dan peralatan Larasita; dan
o Infrastruktur lainnya.

 

Kriteria Obyek Prona

1.   Tanah sudah dikuasai secara fisik;
2.   Mempunyai alas hak (bukti yuridis kepemilikan);
3.   Bukan tanah warisan yang belum dibagi;
4.   Tanah tidak dalam keadaan sengketa;
5.   Lokasi tanah berada dalam wilayah kabupaten/kota lokasi peserta program yang dibuktikan dengan KTP setempat;
6.   Memenuhi ketentuan tentang luas tanah maksimal obyek Prona.

 

Luas dan Jumlah Tanah Obyek Prona

1.   Tanah Negara:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 500 m2 (lima ratus meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 2 ha (dua hektar).
2.Penegasan konversi/pengakuan hak:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 1.000 m2 (seribu meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 5 ha (lima hektar).
3.   Jumlah bidang tanah:
Bidang tanah yang dapat didaftarkan atas nama seseorang atau 1 (satu) peserta dalam kegiatan Prona paling banyak 2 (dua)bidang tanah.

 

Tahapan Pelaksanaan Prona

a.    Penyerahan DIPA (oleh Kemenkeu)
b.   Penetapan Lokasi (oleh Kanwil BPN provinsi)
c.    Penyuluhan (oleh Kantah Kabupaten/Kota)
d.   Pengumpulan data (alat bukti/alas hak, Penetapan Peserta) oleh Satgas Yuridis
e.    Pengukuran dan Pemetaan oleh Satgas Pengukuran
f.     Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A
g.    Pengumuman (tenggang waktu 60 hari)
h.    Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (Penetapan Hak)
i.      Penerbitan Sertipikat (Tanda Bukti Hak)/Pembukuan Hak
j.     Penyerahan Sertipikat (Tanda Bukti Hak) Tanah
 
Biaya untuk pelaksanaan kegiatan Prona bersumber dari rupiah murni pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan ke DIPA BPN-RI atau dana bersumber dari APBD melalui Proda. Anggaran dimaksud meliputi biaya untuk:
a.    Penyuluhan;
b.   Pengumpulan Data (alat bukti/alas hak);
c.    Pengukuran Bidang Tanah;
d.   Pemeriksaan Tanah;
e.    Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis;
f.     Penerbitan Sertipikat;
g.    Supervisi dan Pelaporan.
 
Sedangkan biaya materai, pembuatan dan pemasangan patok tanda batas bidang tanah, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi yang terkena ketentuan perpajakan menjadi beban kewajiban peserta Prona, juga bila ada biaya perbanyakan salinan/fotokopy berkas.  Biaya yang melekat pada kewajiban peserta Prona tidak dianggarkan pada APBN/APBD sehingga peserta memang tidak dibebani biaya di BPN namun masih wajib menanggung biaya yang tidak ditanggung oleh pemerintah.
 
Beberapa syarat yang harus disiapkan peserta Prona antara lain:
a.    Pengisian Formulir permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (Rp6.000);
b.   Surat Kuasa apabila dikuasakan;
c.    Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Kantor Pertanahan;
d.   Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat atau tanah garapan (Tanah Negara);
e.    Fotokopy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB);
f.     Asli dan fotocopy Akta PPAT/PPATS (camat setempat) untuk perolehan tanah setelah Oktober 1997; atau bukti perolehan (misal: kuitansi jual-beli sebelum Oktober 1997);
g.    Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
h.    Menyiapkan meterai yang diperlukan;
i.      Memperbanyak dokumen yang diperlukan; dan
j.     Memasang patok batas bidang tanah.
 
Formulir permohonan memuat:
a.    Identitas diri;
b.   Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon;
c.    Pernyataan tanah tidak sengketa dan belum pernah terbit sertifikat tanah; dan
d.   Pernyataan tanah dikuasai secara fisik.
 
Epilog
Ringkasan dalam tulisan ini bersifat umum, hal-hal lain yang khusus berlaku pada wilayah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dapat ditanyakan pada saat penyuluhan atau ke kantor; misal dasar kepunyaan seperti Petok D/C, kekitir, SKGR, SKT, SK-HUAT, dsb.

Rabu, 13 November 2013

DISKUSI TERKAIT "PERAN BPN RI DALAM PP NO. 38 TAHUN 2007 TERKAIT 9 KEWENANGAN YANG DILIMPAHKAN"

Resume hasil diskusi by Yanu Editama
Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 ttg Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemda Prov. dan Pemda. Kab./Kota, maka peran BPN terkait 9 (sembilan) kewenangan yang dilimpahkan bagaimana? Adapun 9 kewenangan yg dilimpahkan sbb :
1. Izin Lokasi;
2. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum;
3. Penyelesaian Tanah Garapan;
4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan;
5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee;
6. Penetapan Tanah Ulayat;
7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong;
8. Izin Membuka Tanah; dan
9. Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota.

Menurut rekan EH : BPN bukan lembaga yang menilai hubungan hak keperdataan antara subjek dan objek hak. sementara terkait mediasi, bukan BPN yang menentukan penyelesaian mediasi, melainkan kedua belah pihak itu sendiri... mohon koreksi
Menurut rekan EJ : pasti Kewenangan yg nomor 2 itu klo diambil ato dikembalikan ke Instansi semula Pemda gak kan ribut malah syukuran kabarnya... coba kalo kewenangan yg nomor 1 dialihkan lagi...bs Mencak2 tuh Pemda... ARTINYA sdh tumpang tindih aturan Negeri ini..lalu Penggunanya semau-maunya gunakan menurut Kepentingan n Keuntungannya aja... (itu pendapat Sy) 

Selasa, 12 November 2013

RESUME TENTANG " KESADARANNYA MEMBELA MASYARAKAT ATAU KOMUNIAS ULAYAT"

Masyarakat tidak bisa sembarangan menerapkan aset tanah berdasarkan hukum adat atau hak ulayat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya akan memproses legalisasi atau sertifikasi atas klaim itu jika hukum adatnya dikuatkan lewat peraturan daerah (perda).

"Hukum adat itu bisa hanya di mulut atau di awang-awang. Tanpa perda tidak bisa diakui secara hukum," kata Kepala BPN, Hendarman Supandji, di Kantor Pertanahan Kota Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (8/11).

Mantan Jaksa Agung itu menjelaskan, hukum adat harus memenuhi tiga unsur. "Ada tidak masyarakat adatnya? Apakah punya wilayah? Adakah pemerintahan yang mengatur masyarakat adatnya?" ujar Hendarman.

Pemenuhan syarat-syarat itu harus juga diperkuat oleh penelitian ilmiah yang melibatkan kalangan ahli dan perguruan tinggi. Setelah ini baru dikukuhkan melalui perda. - See more at: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/11/08/mvxjmd-hukum-adat-atas-aset-tanah-harus-dikuatkan-perda
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) siap melaksanakan pendaftaran tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penegasan tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Hukum dan Humas BPN RI, KurniaToha, SH., L.LM, Ph.D, mewakili Kepala BPN RI hendarman Supandji, dalam seminar yang dilaksanakan oleh Universitas Lampung bekerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Bandar Lampung, Senin (11/11/2013).

Lebih jauh KurniaToha mengatakan, BPN RI secara tegas mengakui dan menghormati eksistensi hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada. Haku layat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi konstitusi. “Saat ini sudah banyak tanah-tanah adat yang kepemilikannya bersifat individual sudah didaftar oleh BPN. Namun, untuk tanah ulayat masyarakat hukum adat pelaksanaan pendaftaran tanahnya baru bisa dilaksanakan setelah ada peraturan daerah (perda) yang mengatur hal tersebut,” kata Kurnia dalam siaran pers, Senin.
- See more at: http://www.jurnas.com/news/113733/Kurnia_Toha_BPN_RI_Siap_Daftarkan_Hak_Ulayat_Masyarakat_Hukum_Adat/1/Nusantara/Daerah 
Diskusi setelah membaca berita di atas sebagai berikut resume dari Yanu Editama :
Selama ini, keliatannya baru komunitas masyarakat adat Baduy yang dilindungi dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Tanah ulayat seluas 5.136,38 hektare dihuni sekitar 11.800 jiwa penduduk. Perda tersebut dipertegas Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes.
Oleh karena Pemerintah Daerah dan Kementerian Kehutanan sepertinya mensyaratkan Peraturan Daerah sebagai dasar untuk meng-inclave "mengeluarkan" tanah ulayat yang berada di dalam kawasan hutan. Jadi, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, untuk saat ini menjadi issue hangat dan mendesak untuk ditindak lanjuti. Mengingat gerakan masyarakat itu sulit dikendalikan jika pendekatannya ilmiah, maka lebih terbawa emosi dengan gerakan-gerakan praktis seperti demonstrasi damai bukan anarkis. 
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yaitu merubah Pasal 1 ayat (6), Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada intinya "Hutan Adat adalah Hutan (bukan Hutan Negara) yang berada pada Masyarakat Hukum Adat"... Sebagai Pihak Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN). Sementara dilapangan terdapat Patok Batas Kehutanan setiap dilakukan Pengukuran/Penetapan Batas oleh Pihak Kehutanan selalu bergeser masuk ke dalam Wilayah Masyarakat Adat yang jelas-jelas sudah terdapat Perkampungan dengan alasan Peta Jaman Belanda (?) di sisi lain Masyarakat Adat (mungkin) masih ada tapi Wilayahnya tidak jelas. Disinilah perintah UU harus ada Peraturan Daerah.
 
 

Senin, 11 November 2013

PENCATATAN BLOKIR DI BUKU TANAH

by Yanu Editama
Mengacu pada ketentuan tentang pencatatan blokir di buku tanah berdasarkan
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
  • Pasal 55 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
    Pasal 55
    (1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai
    isi semua putusan Pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap dan
    penetapan Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada data
    mengenai bidang tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada
    buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin pada sertipikatnya dan daftar-daftar
    lainnya.
    (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan juga atas permintaan
    pihak yang berkepentingan, berdasarkan salinan resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan.
    (3) Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah
    susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1). 
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional + Lampiran
  • Pasal 126 jo. 127 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Lampiran
    Pasal 126
    (1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak
    Milik Atas Satuan Rumah Susun akan jadikan obyek
    di gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
    (2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal
    pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu
    tersebut berakhir.
    (3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo
    atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Ruma
    h Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut
    dicatat dalam buku tanah.
    (4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga
    puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara
    eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
    Pasal 127
    (1) Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    (2) Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat atau penyidikan perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang bersangkutan.
  • Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan + Lampiran 1 + Lampiran 2 + Lampiran 3
  • Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 600-1900 Tanggal 31 Juli 2003 Perihal Pengenaan Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan, Pendaftaran Tanah, Pemeliharaan Data Pertanahan dan Informasi Pertanahan Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
  • Persyaratan : 1. Formulir permohonan yang sudah diisi dengan disertai alasan pemblokiran dan/atau salinan surat gugatan dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
    2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
    3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang
    telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
    4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum
    5. Dokumen pendukung pemblokiran (permintaan Peradilan dan/atau permintaan aparat penegak hukum, perorangan atau badan hukum yang menunjukkan bukti kepemilikan berupa Sertipikat asli dan/atau bukti kepemilikan lainnya).
    catatan :Formulir permohonan memuat:1. Identitas diri; 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon; 3. Alasan pemblokiran; Dicatat dengan tinta hitam, dibubuhi paraf dan tangga


    Eman2 jika tercecer:
    Blokir Tanah
    dalam proses Pendaftaran Tanah Pertama-Kali dan/atau Peralihan Hak atas Tanah
    oleh Bambang ardiantoro (penyunting)
    diambil dari status SILATURAHMI DENGAN NOTARIS per Rabu 7 Mei 2014 6:23 am WIB tautan Yandi Amri Herman
    Tinjauan Hukum Mengenai Blokir (Proses Administrasi Pertanahan di Kantah)
    1. Apakah yang dimaksud "blokir" dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PMNA/KBPN 3/1997)?
    2. Kontroversi Blokir antara PP No. 24 Tahun 1997 dan PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997.
    3. Ternyata Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI (MARI) telah menjawab dengan Putusannya. Bahwa Blokir tidak disebutkan secara eksplisit namun tersirat dalam Pasal 30 huruf 3, Pasal 45, dan Pasal 55 ketentuan PP No. 24 Tahun 1997, juga Pasal-pasal 125, 126, 127, dan Pasal 128 PMNA/KBPN No. 3/1997 blokir dapat dilakukan dengan alasan status quo, peletakan sita oleh hakim pengadilan, permintaan untuk penyidikan, dalam sengketa yang akan diajukan gugatan ke pengadilan.
    Blokir [yang berdasarkan permohonan pihak yang merasa berkepentingan namun kepentingannya tersebut terganggu] dicatat dalam Buku Tanah [yang ada di Kantor Pertanahan kabupaten/kota wilayah administrasi pertanahan setempat sesuai letak secara administratif tanah terkait] dan hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali diikuti dengan putusan jaminan sita dan berita acara eksekusi permohonan blokir, memang tidak dijelaskan secara rinci; akan tetapi, blokir secara tersirat bisa dilihat dari pemaparan di bawah ini:
    1. Bahwa blokir terhadap permohonan [Pendaftaran] Hak untuk Pertama Kali (originair) yang sedang diproses untuk penerbitan sertipikat [sesuai permohonan di Kantor Pertanahan], pelaksanaannya berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 30 ayat (1) huruf c dan d dengan uraian sebagai berikut:
    a. Blokir [yang] tidak disertai surat gugatan, maka diberitahukan kepada pemohon blokir untuk mengajukan gugatan, apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk pendaftaran sporadis tidak ada gugatan, maka proses permohonan hak tetap dilaksanakan [baca: dilanjutkan bila sempat ditangguhkan atau ditunda atau dihentikan sementara, ed.];
    b. Blokir [yang] disertai surat gugatan [yang diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dilengkapi adanya bukti register gugatan], tetapi tidak ada perintah untuk status quo [dari Pengadilan yang memroses] dan tidak ada sita jaminan [sesuai perintah Pengadilan], maka dilakukan pembukuannya dalam Buku Tanah dengan diberi catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan; dan kepada pemohon blokir diberitahukan tentang hal tersebut. Catatan tersebut hapus setelah adanya perdamaian atau Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap [(inkracht van gewijsde)];
    c. Blokir [yang] disertai surat gugatan [yang diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dilengkapi adanya bukti register gugatan] dan ada perintah status quo atau sita jaminan [dari Pengadilan] maka proses permohonan dihentikan, sampai adanya pengangkatan status quo atau sita jaminan; dan kepada pemohon hak diberitahukan tentang hal tersebut. (Hal ini berlaku sampai adanya petunjuk lebih lanjut dari BPN RI). [Apakah dalam waktu hampir 17 (tujuhbelas) tahun semenjak diundangkannya PP 24/1997 belum ada petunjuk lebih lanjut tersebut? Ini pun menjadi catatan tersendiri, agar para pengelola pertanahan di jajaran BPN RI bersedia merumuskannya untuk setidaknya demi kecermatan, ketepatan, dan kecepatan para pelaksana di lapangan dalam bekerja tanpa keraguan.]
    2. Bahwa Blokir terhadap Pendaftaran Peralihan atau Pembebanan Hak berpedoman pada Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (PMNA/KBPN 3/1997), dengan uraian sebagai berikut:
    a. Blokir [yang] tanpa dilampiri surat gugatan [yang diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dilengkapi adanya bukti register gugatan] maka kepada pemohon blokir agar sesegera-mungkin [atau secepatnya] diberitahukan untuk melampirkan surat gugatan [yang diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dilengkapi adanya bukti register gugatan]; dan terhadap permohonan blokir tersebut, baik sebelum maupun sesudah dilampiri surat gugatan dicatat di Buku Tanah [yang ada dalam arsip Kantor Pertanahan setempat] dan berlaku hanya 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan serta tidak bisa diperpanjang;
    b. Blokir dengan dilampiri surat gugatan [yang diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dilengkapi adanya bukti register gugatan] disertai perintah status quo dari Pengadilan, maka blokir [tersebut] berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak perintah status quo [tersebut], dan pihak pemohon blokir diberitahu tentang hal tersebut;
    c. Blokir dengan dilampiri surat gugatan disertai sita jaminan [dari Pengadilan], maka blokir berlaku sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap [(inkracht van gewijsde)] dan telah diangkat sita jaminannya, serta pihak pemohon blokir diberitahu tentang hal tersebut. Bahwa Blokir terhadap pendaftaran peralihan ata pembebanan hak berpedoman pada ketentuan Pasal 45 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) menyebutkan: “Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan Pendaftaran Peralihan Hak atau Pembebanan Hak jika tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di pengadilan”. [Sepatutnya, penolakan dimaksud secara tertulis diberikan kepada pemohon layanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah yang ada di Kantor Pertanahan kabupaten/kota setempat berdasarkan Peraturan KPBN RI No. 1/2010 tentang Standar Pelayanan dan Penngaturan Pertanahan. Form penolakan selayaknya telah disiapkan agar mempermudah petugas loket di Front Office Kantor Pertanahan untuk menyiapkan surat penolakan, Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang diberi pelimpahan wewenang dengan cepat dapat menandatangani Surat Penolakan dimaksud dengan sangat cepat, tanpa menunda waktu.]
    3. Bahwa berkaitan adanya penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana, maka:
    a. Blokir terhadap Pendaftaran Peralihan atau Pembebanan Hak berpedoman pada Pasal 127 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, yaitu blokir tersebut harus dilampiri dengan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berlaku sampai dengan:
    1) dibatalkannya atau diangkatnya sita [jaminan] tersebut; atau
    2) dihentikannya penyidikan terhadap perbuatan pidana yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku; atau
    3) sesudah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terhadap tindak pidana yang disangkakan.
    b. Blokir terhadap Pendaftaran Peralihan atau Pembebanan Hak dan Permohonan [Pendaftaran] Hak [Tanah] Untuk Pertama-Kali (originair) yang sedang diproses untuk penerbitan sertipikat [(Tanda Bukti Hak) Tanah], yang tidak dilengkapi sita [jaminan] dan hanya pemberitahuan dari penyidik yang berwenang, maka blokir tersebut berlaku sampai dengan:
    1) sesudah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terhadap tindak pidana yang disangkakan; atau
    2) dihentikannya penyidikan terhadap perbuatan pidana sesuai ketentuan yang berlaku. (untuk mengetahui perkembangan penyidikan tersebut merupakan kewajiban bagi pemohon hak atas tanah untuk menanyakan kepada penyidik yang berwenang atau dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan [bila pihak Kepala Kantor Pertanahan setempat merasa berkepentingan dalam mengetahui sampai tahap apa saja penyidikannya] guna memperoleh informasi tentang perkembangan penyidikan dimaksud);
    3) permohonan blokir terhadap Pendaftaran Peralihan atau Pembebanan Hak selain daripada telah dijelaskan di atas, maka berdasarkan pada Pasal 128 PMNA/KBPN No. 3/1997, harus mendapat ijin dari Kepala Badan Pertanahan;
    4) blokir terhadap Pendaftaran Peralihan atau Pembebanan Hak hanya dapat dilakukan pada bidang tanah yang nyata-nyata menjadi obyek sengketa bukan [baca: tidak harus] didasarkan keseluruhan luas bidang tanah yang tercantum pada nomor Hak Atas Tanah dimaksud [baca: berarti hanya bagian yang dipersengketakan].
    Terkait ketentuan blokir yang diatur dalam Pasal 45 ayat (1) huruf e PP 24/1997 dan ternyata tidak sinkron dengan Pasal 126 PMNA/KBPN No. 3/1997 (Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997). Ketentuan yang mana harus diikuti? Pendapat Hukum: “Bahwa yang harus dikuti adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, karena Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 merupakan peraturan pelaksanaan dari PP No. 24 Tahun 1997.”
    Bagaimana pun PMNA/KBPN tidak boleh bertentangan dengan PP (Peraturan Pemerintah), karena secara hierarkhi peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Pemerintah lebih tinggi dari[pada] PMNA/KBPN. Bahwa hal ini telah diuji dan telah ada Putusan Mahkamah Agung RI sebagai berikut: Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 318 K/TUN/2000 tanggal 19 Maret 2002 [dengan] Majelis Hakim: 1. Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH. 2. Ny. Emin Aminah Achadiat, SH. 3. Ny. Asma Samik Ibrahim, SH. [Yang menghasilkan] Kaidah Hukum: “Bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, Kepala Kantor Pertanahan tidak boleh melakukan Pendaftaran Peralihan Hak, jika tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di Pengadilan”.
    -&-

                                                                                                 Kota/kab,    tgl/bulan/tahun

    Nomor     :                                                                      
    Lampiran  :    -                 
    Perihal      : Permohonan  Pemblokiran
                     Sertipikat HM.No.00000/desakelurahan.


    Kepada :
    Sdr. 
    d/a. .............
    Di
    Kota/Kabupaten


    Menanggapi surat permohonan Saudara tanggal bulan tahun perihal sebagaimana tersebut pada pokok surat, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut :

    1.    Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 3 Tahun 1997, permohonan pencegahan peralihan hak / pemblokiran dan atau perbuatan hukum apapun sebagaimana dimaksud dalam surat Saudara dapat dipenuhi apabila :

    a.    Dipenuhi 30 ( tiga puluh) hari apabila terjadi perkara di Pengadilan dan kepada kami disampaikan salinan gugatan.
    b.    Jangka waktu pada angka 1 huruf a dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari lagi apabila ada perintah status quo dari Majelis Hakim Pemeriksa Perkara atau dapat diperpanjang selama diletakkan sita jaminan (CB).
    c.    Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 untuk pencatatan permohonan pemblokiran dimaksud harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Kulon progo dengan membayar biaya sebesar Rp. 50.000,- setiap bidang.

    2.    Bahwa obyek tanah yang dimohonkan pemblokiran adalah SHM No. 000/desakelurahan atas nama ........ saat ini tidak dilampirkan salinan surat gugatan.

    3.    Bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut di atas, permohonan pemblokiran belum dapat dikabulkan dan jika Saudara tetap menghendaki pemblokiran obyek tanah dimaksud agar melengkapi persyaratan sebagaimana tersebut di atas.

    Demikian untuk menjadi maklum.




                                                                              KEPALA KANTOR PERTANAHAN

  • Menanggapi surat permohonan Saudara tanggal bulan tahun perihal sebagaimana tersebut pada pokok surat, disampaikan penjelasan sebagai berikut :

    1.    Bahwa sesuai dengan Pasal 126 ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Kantor Pertanahan dapat melaksanankan pencatatan pemblokiran di dalam buku tanah, apabila suatu hak atas tanah dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dan kepada kami disampaikan salinan surat gugatan dari yang bersangkutan.

    2.    Bahwa Sertipikat Hak Milik No.000/desakelurahan atas nama ........ terletak di Desa /Kelurahan.........., Kecamatan ............, Kabupaten/Kota.......... dapat memenuhi persyaratan sebagaimana angka 1 tersebut di atas, sehingga permohonan pemblokiran / penghalang dapat dipenuhi.

    3.    Bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut di atas, agar Saudara melampirkan Salinan gugatan di Pengadilan guna pencatatan pemblokiran dan diminta mendaftarkannya melalui loket pelayanan Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota................, setiap hari dan jam kerja dengan membayar biaya sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010.