Masyarakat tidak bisa sembarangan menerapkan aset tanah berdasarkan
hukum adat atau hak ulayat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya akan
memproses legalisasi atau sertifikasi atas klaim itu jika hukum adatnya
dikuatkan lewat peraturan daerah (perda).
"Hukum adat itu bisa
hanya di mulut atau di awang-awang. Tanpa perda tidak bisa diakui secara
hukum," kata Kepala BPN, Hendarman Supandji, di Kantor Pertanahan Kota
Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (8/11).
Mantan Jaksa Agung itu
menjelaskan, hukum adat harus memenuhi tiga unsur. "Ada tidak masyarakat
adatnya? Apakah punya wilayah? Adakah pemerintahan yang mengatur
masyarakat adatnya?" ujar Hendarman.
Pemenuhan syarat-syarat itu
harus juga diperkuat oleh penelitian ilmiah yang melibatkan kalangan
ahli dan perguruan tinggi. Setelah ini baru dikukuhkan melalui perda. - See more at: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/11/08/mvxjmd-hukum-adat-atas-aset-tanah-harus-dikuatkan-perda
Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) siap melaksanakan
pendaftaran tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penegasan tersebut
disampaikan oleh Kepala Pusat Hukum dan Humas BPN RI, KurniaToha, SH.,
L.LM, Ph.D, mewakili Kepala BPN RI hendarman Supandji, dalam seminar
yang dilaksanakan oleh Universitas Lampung bekerjasama dengan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Bandar Lampung, Senin
(11/11/2013).
Lebih jauh KurniaToha mengatakan, BPN RI secara
tegas mengakui dan menghormati eksistensi hak ulayat sepanjang pada
kenyataannya masih ada. Haku layat merupakan hak asasi manusia yang
diakui dan dilindungi konstitusi. “Saat ini sudah banyak tanah-tanah
adat yang kepemilikannya bersifat individual sudah didaftar oleh BPN.
Namun, untuk tanah ulayat masyarakat hukum adat pelaksanaan pendaftaran
tanahnya baru bisa dilaksanakan setelah ada peraturan daerah (perda)
yang mengatur hal tersebut,” kata Kurnia dalam siaran pers, Senin.
- See more at: http://www.jurnas.com/news/113733/Kurnia_Toha_BPN_RI_Siap_Daftarkan_Hak_Ulayat_Masyarakat_Hukum_Adat/1/Nusantara/Daerah
Diskusi setelah membaca berita di atas sebagai berikut resume dari Yanu Editama :
Selama
ini, keliatannya baru komunitas masyarakat adat Baduy yang dilindungi
dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Tanah ulayat
seluas 5.136,38 hektare dihuni sekitar 11.800
jiwa penduduk. Perda tersebut dipertegas Keputusan Bupati Lebak Nomor
590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah Ulayat
Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes.
Oleh karena Pemerintah
Daerah dan Kementerian Kehutanan sepertinya mensyaratkan Peraturan Daerah sebagai
dasar untuk meng-inclave "mengeluarkan" tanah ulayat yang berada di dalam kawasan hutan. Jadi, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
untuk saat ini menjadi
issue hangat dan mendesak untuk ditindak lanjuti. Mengingat gerakan
masyarakat itu sulit dikendalikan jika pendekatannya ilmiah, maka lebih
terbawa emosi dengan gerakan-gerakan praktis seperti demonstrasi
damai bukan anarkis.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yaitu merubah Pasal 1 ayat
(6), Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang pada
intinya "Hutan Adat adalah Hutan (bukan
Hutan Negara) yang berada pada Masyarakat Hukum Adat"... Sebagai Pihak
Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Aliansi Masyarakat
Adat Nasional (AMAN). Sementara dilapangan terdapat Patok Batas
Kehutanan setiap dilakukan
Pengukuran/Penetapan Batas oleh Pihak Kehutanan selalu bergeser masuk
ke dalam Wilayah Masyarakat Adat yang jelas-jelas sudah terdapat
Perkampungan dengan alasan
Peta Jaman Belanda (?) di sisi lain Masyarakat Adat (mungkin) masih ada
tapi Wilayahnya tidak jelas. Disinilah perintah UU harus ada Peraturan
Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar