Senin, 27 Januari 2014

I SUGGEST RUU PERTANAHAN

anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Budiman Sudjatmiko menyatakan RUU-P juga harus secara tegas memuat tiga hal pokok. Pertama, kepastian hak atas tanah. Kedua, perencanaan penggunaan tanah. “Ketiga, pengakuan dan penghormatan negara atas hukum adat terkait dengan penguasaan dan kepemilikan tanah ulayat atau adat, maupun tanah yang menjadi waris turun temurun secara adat,”

Bambang Sulistyo Widjanarko
Masukan Perbaikan BPN :
Berpuluh kali Rakernas BPN tetapi kalau tidak membicarakan inti masalahnya tiada gunanya hanya menghabiskan APBN dan merugikan rakyat yang mendambakan kemerdekaan RI, pointer masukan :
1. Menyusun UU Pertanahan berdasarkan Hukum Adat sebagaimana perintah UUPA bahwa Buku II BW sepanjang berkaitan dengan tanah dihapuskan diganti berdasarkan Hukum Adat. Artinya hak atas tanah berdasarkan UUPA hanyalah bersifat sementara karena UUPA mengganti Agrarich Wet (AW) bukan BW sebagai Hukum Perdata. Tanah sebagai perdata benda tetap belum mempunyai dasar hukum yang kuat karena AW bukan lah merupakan perdata benda tetap melainkan sebagai benda bergerak yaitu penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga dalam UUPA juga ditegaskan bahwa HM dan HGU, HGB, HP haruslah dibuat berdasakan UU artinya hak atas tanah pada pasal 16 UUPA hanyalah bersifat sementara karena copy paste dari AW. UU Pertanahan ini merupakan perlindungan (proteksi) terhadap WNI sebagai anggota masyarakat hukum adat dari suku-suku bangsa unsur pembentuk bangsa Indonesia selaku pemilik tanah sebenarnya yang bersepakat membentuk NKRI (Bhineka Tunggal Ika). Hal ini memperjelas arti dari Negara menguasai dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 2 UUPA. Sudah hapir 54 tahun sejak UUPA perintah UU ini diabaikan sehingga rakyat terdholimi oleh negara dan BPN menjadi banci terhadap Kementrian Kehutanan, ESDM dan Pertambangan, Kelautan dan Perikanan, Pekerjaan Umum dlsb. UU Pertanahan sebagai perdata benda tetap yang akan datang menjadi dasar operasional UU lainnya. Pemisahan tugas PPAT dan Notaris yaitu Notaris melayani BW dan PPAT melayani UU Pertanahan.
2. Memperbaiki sumber data sebagai bahan utama dari produk sertipikat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa/Kelurahan. Selama ini BPN tidak perduli akan kwalitas sumber data malah memproteksi diri dengan minta keterangan tanah tidak sengketa dan dalih kebenaran formal dan pembuktian kebenaran material silahkan ke Pengadilan oleh Hakim. Faham ini harus segera diakhiri sebagai pengemban tunggal administrasi pertanahan dalam hukum perdata dengan mensupervisi tata buku administrasi pertanahan di Desa/Kelurahan se NKRI. Langkah pertama seharusnya mensupervisi Pemerintahan terbawah di NKRI yaitu Desa/Kelurahan dengan memberdayakan masyarakat sebagai stake holder pertanahan untuk membuat tata buku administrasi bidang tanah (spasial dan tekstual) serentak se NKRI selesai dalam waktu yang singkat. Tanah merupakan “key asset” rakyat, bangsa dan negara serta merupakan kunci utama dari kegiatan seluruh sektor apabila dikehendaki sesuai potensi SDA dan SDM yang ada saat ini. Barulah pembangunan terarah menuju keadilan dan kesejahteraan sesuai potensinya. Nantinya bila ada SDA dbawah tanah tersebut maka pemilik tanah, desa, kecamatan, kabupaten/kota danprovinsi letak SDA tersebut akan mendapatkan share untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat setempat. Negara hanya memperoleh pajak dari SDA tersebut sehingga oknum negara tidak akan mendapatkan share lagi sebagaimana saat ini yang sedang diurus oleh KPK. Ini menyangkut keadilan dan kesejahteraan dari unsur Bhineka Tunggal Ika, rakyatlah pemilik tanah sebenarnya bukan negara, negara menguasai yaitu hanya mengatur pemilikan dan memimpin penggunaan tanahnya (Pasal 2 UUPA yo Pasal 33 ayat 3 UUD 45).
3. SDM BPN segera dibenahi kompetensinya dengan pelatihan2 teknis secara berkala sehingga ada satu bahasa dalam pelayanan pertanahan, misalnya diklat petugas loket, diklat Panitia Pemerisa Tanah, diklat petugas ukur, diklat petugas warkah dlsb. Selain diklat hukum pertanahan dan peraturan pelaksanaannya sehingga tidak kalah pintarnya dengan para PPAT. Kalau pengetahuan tentang UU Pertanahan bagi SDM BPN telah dipahami dengan benar dan data sumber bahan Sertipikat tanah telah berkwalitas, IT berjalan lancar maka sebenarnya PPAT bisa dipisah dengan Notaris untuk mencegah konfilk kepentingan sebagai saat ini yang menyebabkan sengketa, konflik dan perkara sulit terurai dan terselesaikan berdasarkan keadilan dan azas manfaat berdaya guna.
4. Keruwetan pertanahan selama ini karena kurangnya pemahaman Negara Bangsa yang berfondasi Pancasila dengan keempat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Bangsa Indonesia terbentuk dari kumpulan suku bangsa (masyarakat hukum adat) bersatu dalam “Sumpah Pemuda 1928” dengan wilayah NKRI. Karena merupakan kum pulan dari suku-suku bangsa yang mempunyai wilayahnya maka perlu segera inventarisasi wilayahnya dan bidang-bidang tanah di dalamnya yang menyatu sepakat membentuk Negara menjadi NKRI. Inventarisasi inilah yang seharusnya di prioritaskan oleh BPN selaku penanggung jawab administrator tunggal pertanahan/agraria di NKRI. Inilah yang utama dan pertama harus disadari oleh seluruh aparat BPN dari atas sampai pelaksana dan disosialisasikan kepada seluruh anak bangsa di NKRI agar mudah memproteksi SDA dari penggerogotan fihak luar ataupun penghianat penjual bangsa oleh anak bangsa sendiri.

Bambang Sulistyo Widjanarko
Pensiunan BPN Tahun 2009

Artikel di http://www.pikiran-rakyat.com

Batas Maksimum Kepemilikan Tanah Perlu Kejelasan

JAKARTA, (PRLM).- Pakar hukum pertanahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono mengatakan RUU Pertanahan harus dapat memberikan batasan yang jelas terkait kepemilikan tanah. Sat ini masih diperlukan adanya kejelasan mengenai batas maksimum atas hak kepemilikan tanah untuk keperluan usaha, agar tidak kembali terjadi spekulasi dan alih fungsi tanah.
Hal itu dikemukakan Maria Sumardjono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR membahas RUU Pertanahan, Rabu (26/2/2014).
Maria juga mengatakan bahwa perlunya peraturan yang lebih jelas terkait restrukturisasi penguasaan dan pemilikan tanah. Yang diharapkan dapat dilengkapi dengan pemberian kesempatan untuk memperoleh akses terhadap modal, teknologi hingga pasar bagi keperluan usaha.
Selain itu Maria juga mengingatkan bahwa negara juga harus mengatur mengenai penyediaan tanah untuk ruang publik. Menurutnya RUU Pertanahan dalam memberikan hak atas tanah juga harus mengutamakan fungsi ekologis dibandingkan fungsi sosialnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja, RUU ini ditargetkan selesai pada DPR periode sekarang ini. "Pembahasan DIM (daftar inventarisasi masalah) akan dilanjutkan setelah pileg pada bulan April," kata Hakam Naja pada saat rapat dengan pakar hukum.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar