Senin, 30 Desember 2013

NILAI PENTING KONSTITUSI DALAM SUATU NEGARA

Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara, ibarat “perja­lanan cinta romeo dan juliet yang setia dan abadi”. De­mikian halnya negara dan konstitusi merupakan lem­baga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegang­an dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.
Sejalan dengan pemahaman di atas, Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
  1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatane­garaan bangsa.
  3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
  1. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan ke­hidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-undang di atas, menunjukkan arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara. Karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah per­juangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam menge­mudikan suatu negara yang mereka pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terkaver dalam konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupa­kan cabang yang utama dalam studi ilmu hukum tata negara.
Pada sisi lain, eksistensi suatu “negara” yang diisyaratkan oleh A.G. Pringgodigdo, baru riel-ada kalau  memenuhi empat unsur: (1) memenuhi unsur peme­rintahan yang berdaulat, (2) wilayah tertentu, (3) rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation), dan (4) pengakuan dari negara-negara lain. Dari ke empat unsur untuk berdirinya suatu negara ini belumlah cu­kup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar yang mengatur­nya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah Konstitusi atau Undang Undang Dasar.
Untuk memahami hukum dasar suatu negara, juga belum cukup kalau hanya dilihat pada ketentuan-ke­tentuan yang terkandung dalam Undang Undang Dasar atau konstitusi saja, tetapi harus dipahami pula aturan-­aturan dasar yang muncul dan terpelihara dalam prak­tek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis, atau sering dicontohkan dengan “konvensi” ketatane­garaan suatu bangsa. Sebab dengan pemahaman yang demikian inilah “ketertiban“ sebagai fungsi utama adanya hukum dapat terealisasikan.
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi (grondwet) dari dua segi. Pertama, dari segi isi (naar de inhoud) karena konstitusi memuat dasar (grondslagen) dari struktur (inrichting) dan memuat fungsi (administratie) negara. Kedua, dari segi bentuk (naar demaker) oleh karena yang memuat konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga. Mungkin bisa oleh se­orang raja, raja dengan rakyat, badan konstituante, atau lembaga diktator. Pada sudut pandang yang ke­dua ini, K.C. Wheare mengkaitkan pentingnya kon­stitusi dengan pengertian hukum dalam arti sempit, di mana konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai “wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konsti­tusi. Tapi dalam kenyataannya tidak menutup ke­mungkinan adanya konstitusi yang sama sekali hampa (tidak sarat makna, kursif penulis), karena tidak ada pertalian yang nyata antara pihak yang merumuskan dan membuat konstitusi dengan pihak yang benar-be­nar menjalankan pemerintahan negara. Sehingga kon­stitusi hanya menjadi dokumen historis semata atau justru menjadi tabir tebal antara perumus atau peletak dasar konstitusi dengan pemerintah pemegang astafet berikutnya. Kondisi obyektif semacam inilah yang men­jadi salah satu penyebab    jatuh bangunnya suatu peme­rintahan yang sering diikuti pula oleh perubahan kon­stitusi negara tersebut. Seperti yang pernah terjadi di Philiphina, Kamboja, dan lain sebagainya.
Tidak heran, kalau dalam praktek ketatanegaraan suatu negara dijumpai suatu konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, oleh karena salah satu dari beberapa pasal di dalamnya tidak berjalan atau tidak dijalankan lagi. Atau dapat juga karena konstitusi yang berlaku itu tidak dijalankan, karena kepentingan suatu golongan/kelompok atau kepentingan pribadi penguasa semata. Disamping itu tentunya masih banyak nilai-nilai dari konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.
Dari pemikiran tersebut, Karl Loewenstein       meng­adakan suatu penyelidikan mengenai apakah arti dari suatu konstitusi tertulis (UUD) dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik, terutama kenyataannya bagi rakyat biasa sehingga membawanya kepada tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut:
  1. Konstitusi yang mempunyai nilai Normatif
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akari tetapi juga merupakan suatu kenyataan yanghidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
  1. Konstitusi yang mempunyai nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenya­taannya kurang sempurna. Sebab pasal-pasal ter­tentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
  1. Konstitusi yang mempunyai nilai Semantik
Suatu konstitusi disebut mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi tersebut hanyalah sekedar suatu istilah belaka, sedangkan dalam pelaksana­annya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa.
SUPREMASI  KONSTITUSI DALAM NEGARA
Dalam negara modern, penyelenggaraan keku­asaan negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (droit constitutionil). Undang Undang Dasar atau ver­fassung, oleh Carl Schmit dianggap sebagai keputusan politik yang tertinggi. Sehingga konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi yaitu di mana konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.
Benarkah konstitusi atau Undang-Undang Dasar mempunyai derajat yang tertinggi dalam suatu negara? Terhadap pertanyaan ini, K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions memberikan ulasan cukup panjang lebar. Pada intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral.
Pertama, konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajattertinggi (supremasi). Dasar pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena bebera­pa hal:
  1. Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang­-undang atau lembaga-lembaga.
  2. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada rnasya­rakat untuk kepentingan mereka.
  3. Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.
Superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi para penguasa dan bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri.
Kedua, jika konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental, maka konstitusi berada di bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh berten­tangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Oleh karena itu dilihat dari constitutional phyloshofi, apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan. William H. Seward mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan perbudakan sudah sewajarnya tidak dituruti. Contoh lain seandainya konstitusi mele­galisir sistem apartheid, dengan sendirinya ia bertentangan dengan moral.
Kembali kepada masalah konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremasi law) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara, muncul masalah baru yaitu siapakah yang akan men­jamin bahwa ketentuan konstitusi atau Undang-Undang Dasar benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif mau­pun badan pemerintah lainnya.
Dalam menanggapi permasalahan di atas, Miriam Budiardjo mensinyalir adanya beberapa aliran pikiran yang berbeda-beda sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut. Di Inggris, Parlemenlah yang dianggap sebagai badan yang tertinggi dan oleh karena itu hanya parlemen yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga supaya semua undang-­undang dan peraturan-peraturan lain sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitu­sional itu. Ini berarti bahwa       parlemen merupakan satu­-satunya badan yang boleh mengubah maupun memba­talkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Di negara-negara federasi, diperlukan ada satu ba­dan diluar badan legislatif yang berhak meneliti apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Di Amerika Serikat, India, dan Jerman Barat wewenang itu terletak di tangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu berlaku asas judicial su­premacy dan Mahkamah Agung ditambah beberapa  hakim lain.   Berbeda dengan di Indonesia, hak uji materiil  judicial refiew  yang berada di Mahkamah Agung itu hanya berlaku sebatas di bawah undang­-undang. Satu hal lagi yang perlu penulis tambahkan berkenaan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertulis yang tertinggi, maka kehidupan konstitusional pun merupakan kehidupan hukum yang mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Seluruh kehi­dupan konstitusional di negara Indonesia, baik yang tercantum dalam batang tubuh Undang Undang Dasar maupun yang terkandung dalam aturan-aturan dasar yang tidak tertulis yang berkembang dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan, semuanya mengikat warga negara sebagai hukum.
Karenanya agak keliru, apabila praktek penyelenggaraan negara hanya diuji pada ketentuan-ketentuan Undang Undang Dasar tertulis saja dengan mengabai­kan aturan-aturan hukum dasar yang tidak  tertulis yang telah dipraktekkan di Indonesia.
Isyarat yang diberikan dalam UUD 1945 sungguh tepat dan menunjukkan sikap “waskita” atau arif dan waspada dari para pendiri Republik ini, yakni yang berbunyi:
“Oleh karena itu, kita harus hidup secara dina­mis, harus melihat segala gerak-gerik kehidup­an masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa mem­beri kristalisasi, memberi bentuk (gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah”.
Setelah melihat praktek penyelenggaraan konstitusi di berbagai negara di atas, hemat penulis yang menjadi jaminan pelaksanaan Undang Undang Dasar secara konstitusional atau sejalan dengan bunyi ketentuan dan jiwa naskah konstitusi yaitu terletak pada kesa­daran dan semangat para penyelenggara negara itu sendiri. Sebab bagaimanapun baiknya konstitusi, tapi kalau penyelenggaranya tidak mempunyai kesadaran dan semangat yang tinggi demi tercapainya tujuan ne­gara, maka konstitusi tersebut tidak akan memberi arti banyak bagi kelangsungan hidup bernegara. Berarti pula bisa mengurangi kedudukan supremasi konstitusi dalam arti hakikatnya.
Masih berkait dengan masalah supremasi konsti­tusi, yaitu berkenaan dengan adanya kemungkinan perubahan konstitusi atau Undang Undang Dasar. Realitasnya menunjukkan bahwa tidak semua negara memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada Undang Undang Dasar daripada undang-undang da­lam arti formal. Artinya tidak semua Undang Undang Dasar memerlukan persyaratan yang lebih berat untuk perubahan atau amandemennya daripada undang-­undang biasa. Dalam hal ini prosedur pembuatan, pe­nyempurnaan dan perubahan Undang  Undang Dasar adalah sama dengan prosedur pembuatan undang-­undang. Jika pengertian ini diterapkan kepada kon­stitusi dalam arti luas, maka konstitusi dalam bentuk apa pun (Undang Undang Dasar, undang-undang, ke­biasaan dan konvensi) dapat diubah dengan cara yang sama seperti pembuatan undang-undang biasa.
Pada umumnya negara-negara mengakui supre­masi Undang Undang Dasar di atas segala peraturan perundang-undangan lainnya, hal mana terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat daripada pembuatan undang-undang. Me­mang pembuatan Undang  Undang Dasar didorong oleh kesadaran politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin.
Menurut Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi (supreme) ada semacam jaminan bahwa:
“konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan diru­sak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dapat dilaksana­kan dengan baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang khusus atau istimewa”.
Menurut Bryce, motif politik yang menonjol dalam penyusunan Undang Undang Dasar adalah:
  1. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan
    untuk mengendalikan tingkah laku penguasa.
  2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerin­tahan yang ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenang-­wenang dari penguasa di masa depan.
  3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau mengamankanberlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang dapat dipahami oleh warga negara.
  4. Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah untuk menjamin aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu berkeinginan tetap memper­tahankan hak serta kepentingannya sendiri-sendiri.
Atas dasar hal-hal yang dikemukakan oleh Bryce di atas dapat disimpulkan bahwa Undang Undang Da­sar dibuat secara sadar sebagai perangkat kaidah fun­damental yang mempunyai nilai politik lebih tinggi dari jenis kaidah lain karena menjadi dasar bagi seluruh tata kehidupan negara. Dengan asumsi ini maka bagian-­bagian lain dari tata hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan Undang  Undang Dasar.
Kemudian masih perlu dipikirkan kemungkinan adanya kaidah hukum lain di luar Undang Undang Dasar yang harus dianggap mempunyai derajat yang sama dengan kaidah Undang Undang Dasar. Contoh dari kemungkinan ini adalah rangkaian amandemen atau kaidah tambahan terhadap Undang Undang Dasar seperti di Amerika Serikat, yang dilihat dari segi urutan waktu harus dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada Undang-Undang Dasar itu sendiri.
Supremasi amandemen terhadap Undang Undang Dasar penting artinya dalam hal terjadi keragu-raguan di dalam penafsiran arti dan konsekuensi amandemen terhadap satu bagian atau keseluruhan Undang Undang Dasar. Kemungkinan kedua adalah dalam hal terjadi kebiasaan tata negara yang menyimpulkan kaidah baru yang harus dianggap sebagai setaraf dengan Undang Undang Dasar dan oleh karenanya mempunyai supre­masi yang sama terhadap kaidah hukum yang lainnya. Dihubungkan dengan pengertian konstitusi dalam arti luas, di mana bagi negara dengan konstitusi kaku per­bedaan derajad antara berbagai kaidah konstitusional akan berupa kaidah setaraf Undang Undang Dasar, kaidah setaraf undang-undang, dan kaidah setaraf peraturan perundang-undangan di bawah undang­undang. Bagi negara dengan konstitusi luwes seperti Inggris dan New Zaeland hanya ada dua jenis kaidah konstitusi, yakni kaidah setaraf undang-undang dan kaidah di bawah itu.
SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI
Apabila dipelajari serta diteliti sistem yang dipergunakan oleh negara-negara dalam mengubah     konsti­tusi pada asasnya dapat dikemukakan dengan dua macam sistem. Sistem yang pertama ialah, bahwa apabila suatu Undang Undang Dasar atau konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah Undang Undang Dasar atau konstitusi yang baru secara keseluruhan; artinya konstitusi yang sudah diubah bagian atau bagian­-bagiannya. Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia.
Sistem yang kedua ialah, bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat.
Adapun cara yang dapat digunakan untuk meng­ubah Undang Undang Dasar atau konstitusi melalui jalan penafsiran, menurut K.C. Wheare ada empat ma­cam cara, yaitu melalui:
  1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer (some pri­mary forces);
  2. Perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement);   ,
  3. Penafsiran secara hukum (judicial interpretation);
  4. Kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention).
Menurut C.F. Strong, prosedur perubahan kon­stitusi-konstitusi ada empat macam cara perubahan, yaitu:
  1. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh peme­gang kekuasaan legislatif, akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu;
  2. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum;
  3. Perubahan konstitusi dan ini berlaku dalam negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian;
  4. Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Ad.1. Perubahan konstitusi yang pertama ini terjadi melalui tiga macam kemungkinan. Cara kesatu, bahwa untuk mengubah konstitusi, sidang pe­megang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota terten­tu. Hal ini disebut korum. Adapun korum ini ditentukan secara pasti, umpamanya sekurang-­kurangnya 2/3 dari seluruh jumlah anggota pemegang kekuasaan legislatif harus hadir. Keputusan untuk mengubah konstitusi tersebut adalah sah, apabila disetujui oleh umpamanya sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Cara kedua, bahwa untuk meng­ubah konstitusi, lembaga perwakilan rakyatnya harus dibubarkan dan kemudian diselengga­rakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat yang diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah konstitusi. Ketiga, cara ini terjadi dan berlaku dalam sistem dua kamar. Untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah dengan syarat-syarat seperti dalam cara kesatu yang berwenang mengubah konstitusi.
Ad.2. Secara garis besar prosedur yang kedua ini berlangsung sebagai berikut:
Apabila ada kehendak untuk mengubah kon­stitusi, maka lembaga negara yang diberi we­wenang untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum atau peblisit. Usul perubahan konstitusi yang dimak­sud disiapkan lebih dulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau publisit ini rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam konstitusi.
Ad.3. Cara yang ketiga ini berlaku dalam negara yang berbentuk negara serikat. Oleh karena konstitusi dalam negara yang berbentuk negara serikat ini dianggap sebagai “perjanjian” antara negara-negara bagian, maka perubahan terha­dapnya harus dengan persetujuan sebagian terbesar negara-negara tersebut. Usul perubah­an konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat dalam hal ini lembaga perwakilan rakyatnya akan tetapi kata akhir berada pada negara-negara bagian. Disamping itu usul per­ubahan dapat pula berasal dari negara-negara bagian.
Ad.4. Cara yang keempat ini dapat dijalankan baik dalam negara serikat maupun dalam negara yang berbentuk kesatuan. Apabila ada kehen­dak untuk mengubah Undang Undang Dasar, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Apabila lembaga negara khu­sus dimaksud telah melaksanakan tugas serta wewenang sampai selesai, dengan sendirinya dia bubar.
Bagaimana halnya dengan Undang Undang Dasar 1945? Ternyata bahwa UUD 1945 menyediakan satu pasal yang khusus mengatur tentang cara perubahan UUD, yaitu pasa137. Pasa137 menyebutkan:
(1)       Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir ;
(2)       Putusan diambil dengan persetujuan sekurang­kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu:
  1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai Lembaga Negara Tertinggi;
  2. bahwa untuk mengubah UUD korum yang harus dipenuhi sekurang-kurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR;
  3. bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Undang Undang Dasar 1945, yakni Pasal 37- nya apabila dihadapkan pada pengklasifikasian yang dikemukakan oleh K.C. Wheare, merupakan UUD yang bersifat “tegar”. Sebab selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga karena dibutuhkannya suatu prosedur khususyakni dengan cara by the people through a referendum yang dikemukakan oleh C.F. Strong. Hal demikian tampak semakin jelas di dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, yaitu dengan diberlakukannya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 jo UU No. 5 tahun 1985 yang mengatur tentang Referendum.
Menurut K.C. Whearez ada empat sasaran yang hendak dituju dalam usaha mempertahankan konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya. Adapun keempat sasaran tersebut ialah:
  1. agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki);
  2. agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilaku­kan;
  3. agar - dan ini berlaku di negara serikat- keku­asaan negara serikat dan kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-­perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri;
  4. agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas bahasa atau kelompok minori­tas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh C.F. Strong maupun K.C. Wheare tentang cara perubahan konstitusi di atas, maka salah satu cara perubahan yang dapat ditempuh yaitu dengan konvensi.
Suatu konvensi atau convention (of the convention), kerap diberi pengertian sebagai aturan hukum kebi­asaan mengenai hukum publik; hukum kebiasaan yang tidak tertulis di bidang ketatanegaraan.  Dengan lain perkataan, bahwa konvensi ketatanegaraan adalah kelaziman-kelaziman yang timbul dalam praktek hidup ketatanegaraan.
Konvensi ketatanegaraan juga dapat diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum.
Dari beberapa pembahasan masalah konstitusi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi tidak sama dengan Undang Undang Dasar. Undang Undang Dasar hanya merupakan bagian dari konstitusi yaitu konstitusi yang tertulis. Materi muatan atau isi konstitusi pada umumnya mengatur tiga masalah pokok, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya; ditetapkannya susunan ketata­negaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatane­garaan yang bersifat fundamental.
Apabila kita lihat praktek dibeberapa negara, maka nampak bahwa tidak semua negara memberi keduduk­an yang lebih tinggi kepada Undang Undang Dasar daripada undang-undang dalam arti formal. Namun pada umumnya, negara-negara mengakui supremasi Undang Undang Dasar di atas segala peraturan perun­dangan lainnya, hal ini terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat daripada pembuatan undang-undang.
Kedudukan dan fungsi konstitusi dalam suatu negara ditentukan oleh ideologi yang melandasi negara tersebut. Berhubung dengan hal itu, konstitusi di zaman  modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan prinsip-prinsip hukum, haluan negara dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.
FAKTOR-FAKTOR DAYA IKAT KONSTITUSI
Mengawali pembahasan pada bab ini, ada satu permasalahan yang memerlukan alternatif jawaban konkrit yaitu berangkat dari pertanyaan sederhana, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi warga negara mentaati suatu konstitusi? Mungkin alternatif jawabannya banyak, namun penulis membatasi diri dengan menggunakan tiga jalur pendekatan yaitu pen­dekatan jalur hukum, aspek politik, dan aspek moral. Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa itu warga negara?
Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kela­hiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang di­sahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dalam suatu negara tertentu.
Sedangkan pengertian tentang negara itu sendiri sangat beraneka ragam. Di antaranya, negara didefinisikan sebagai suatu susunan kelas atau organisasi satu kelas yang terdiri atas kelas-kelas lain. Definisi yang lain lagi ialah "satu-satunya organisasi yang mengatasi kelas­-kelas dan mewakili masyarakat sebagai satu keutuh­an?
Berdasar pada rumusan di atas, maka yang dapat digolongkan sebagai warga negara ialah penduduk asli dan atau orang asing yang dinyatakan secara syah oleh undang-undang sebagai warga negara baik yang menduduki jabatan sebagai alat kelengkapan negara maupun rakyat biasa.
Setelah menemukan rumusan arti “warga negara” sampailah pada pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan warga negara terhadap konstitusi.
PENDEKATAN DARI ASPEK HUKUM
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumus­kan) melainkan juga dalam pelaksanaannya sesuai de­ngan hukum harus sesuai dengan hukum kodrati. De­ngan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat.
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk mencipta­kan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara. Kendatipun hukum dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.
Dimana titik taut antara pembahasan hukum di atas dengan konstitusi. Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran positivisme hukum maka kon­stitusi itu mengikat, karena ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang di dalam­nya sarat dengan ketentuan sanksi yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik, kursif penulis).
Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawas­an negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagai­mana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-­prinsip ini mengandung jaminan terhadap ditegak­kannya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut.  Prinsip wawasan negara hukum yang dikemukakan oleh Zippelius tadi pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada pada materi muatan konstitusi yang disam­paikan Steenbeek pada Bab I di muka.
Berarti berbicara tentang esensi hukum positif, wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-alat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara.
PENDEKATAN DARI ASPEK POLITIK
Ada dua hal yang menarik dalam pendekatan aspek politik ini, yaitu pernyataan hukum sebagai produk politik dan bagaimana hubungan hukum dengan kekuasaan.
Banyak di antara sarjana ilmu politik mengatakan bahwa hukum adalah produk politik, artinya setiap produk hukum pasti merupakan kristalisasi dari pemi­kiran dan atau proses politik. Oleh sebab itu kegiatan legislatif (pembuat undang-undang) lebih banyak me­muat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika perbuatan hukum ter­sebut dikaitkan pada masalah prosedur. Dengan de­mikian lembaga legislatif lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum.
Masih dalam perspektif yang sama, Mulyana W. Kusumah menyatakan bahwa hukum sebagai sarana kekuasaan politik menempati posisi yang lebih domi­nan dibandingkan dengan fungsi lain.  Salah satu indi­kasinya adalah negara sebagai suatu organisasi kekuasaan/ kewibawaan, mempunyai kompetensi untuk menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat meme­nuhi kebutuhan-kebutuhannya secara maksimal. Da­lam kerangka pelaksanaan kekuasaan inilah tindakan pemerintah dalam suatu negara perlu dibatasi dengan konstitusi, walaupun dalam praktek kenegaraannya kadang-kadang hukum sering disimpangi dengan dalih politik.
Van Apeldoorn dalam hubungannya “hukum dan kekuasaan” menyatakan bahwa banyak orang yang mengikuti pendapat bahwa hukum adalah identik dengan kekuasaan. Padahal sebenarnya tidak semua kekuasaan adalah hukum, karena keduanya tidak mem­punyai arti yang satu. Memang hukum mendekati pengertian kekuasaan, dikarenakan negara harus diberi kekuasaan untuk menegakkan hukum. Sebab tanpa kekuasaan hukum hanya akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran dan sebaliknya kekuasaan sendiri akan ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Selanjutnya Apeldoorn mencatat beberapa peng­ikut paham hukum adalah kekuasaan sebagaiberikut: Pertama, Kaum Shopis di Yunani berpendapat bahwa keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat; kedua, Lassalie mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah Undang Undang Dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas melain­kan merupakan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Hanya sebagai kekecualian dan dalam keadaan luar biasa (yakni pada waktu revolusi) para pekerja dan orang kecil merupakan ba­gian dari konstitusi; ketiga, Gumplowics mengatakan bahwa berdasar atau penaklukan yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya; keempnt, pengikut aliran positivisme banyak yang berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum merupakan hak orang yang terkuat.
Berangkat dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, yaitu dengan pendekatan politis maka hukum adalah produk politik yang telah menjadikan badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai ba­dan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang. Proses yang dilaku­kan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan atau proses politik. Sehingga produk politik yang be­rupa konstitusi atau segala macam peraturan perun­dang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuan­nya bagi warga negara. Kemudian hubungan hukum dan kekuasaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk mena­atinya.
PENDEKATAN DARI ASPEK MORAL
Moral adalah pengaturan perbuatan manusia seba­gai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahan diri secara mutlak. Moral tidak mengenal tawar-menawar, menuntut ketaatan secara mutlak. Tetapi moral tidak mengenal aparat atau sarana untuk menuntut dari kita manusia supaya kita melaksanakan apa yang diminta oleh moral. Moral tidak dapat melembaga. Disamping itu moral menuntut bukan hanya perbuatan lahiriah manusia melainkan juga sikap batin manusia. Manusia secara total sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial tunduk kepada norma moral.
Paul Scholten menambahkan bahwa keputusan moral adalah otonom/teonom. Barangkali yang dimak­sud dengan “teonom” adalah hukum abadi, yakni kehendak Illahi yang mengarahkan segala ciptaan-­Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal sanksi, tapi tidak bersifat lahiriah melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu, me­nyesal, dan karena orang yang melanggar moral merasa dirinya tidak tenang dan tidak tenteram. Di sinilah esensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup manu­sia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pan­dang suku, agama, dan tidak mengenal rasial. Mengenal daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu ter­tentu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.
Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkanpada nilai-nilai moral. Lebih tegas lagi seperti dikatakan di muka bahwa konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.
Dua sarjana kenamaan juga memberikan tesisnya yang mendukung pernyataan di atas, menurut K.C. Wheare konstitusi mengklaim diri mempunyai otoritas dengan dasar moral. William H. Hewet dalam pendiriannya menyatakan bahwa masih ada hukum yang lebih tinggi di atas konstitusi yaitu moral.
Lalu muncul pertanyaan dalam benak penulis, apa yang menjadi dasar hukum kalau moral mempunyai kedudukan lebih tinggi di atas konstitusi ? Wheare memberikan pertimbangan sebagai berikut, sepertinya moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu komu­nitas untuk menaatinya. Adapun teori moral yang digunakan untuk mendefinisikan ketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara con­stitutional phylosophy jika aturan konstitusi bertentang­an dengan etika moral, ia dapat disimpangi. Sebagai contoh konstitusi yang mengesahkan perbudakan. Sebaliknya jika aturan konstitusi itu justru menopang etika moral, maka konstitusi mempunyai daya berla­kunya di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan sikap patuh masyarakat terhadap konstitusi, Baharuddin Lopa, menyatakan bahwa kepatuhan kepada hukum (konstitusi, kursif penulis) bisa disebabkan karena adanya faktor “kete­ladanan dan rasio”. Pola keteladanan itu bisa dipakai bahkan efektif berlakunva apabila lapisan atas (baca: supra struktur) mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap hukum dan berakhlak mulia, sebab bila tidak akan berbahaya. Sementara arus bawah atau lapisan bawah (baca: infra struktur) dapat terbawa-bawa meng­ikuti apa saja yang dilihat dari perilaku atasannya.
Atau sebaliknya justru menjadi “sikap berontak” akibat  pemasungan struktural yang dikondisikannya. Visi keteladanan ini, sejalan dengan misi Kerasulan Muhammad SAW. Ke dunia ini untuk memakmurkan bumi dan memberi contoh keteladanan “akhlak yang mulia” (al-Hadits).

1 komentar: