Rabu, 26 Februari 2014
PEMBERIAN HAK DAN PENGAKUAN HAK
Legalisasi / pensertipikatan hak atas tanah jika berasal dari tanah
negara prosesnya melalui pemberian hak, namun jika bukti penguasaan&/pemilikannya
dengan girik, letter C atau bukti penguasaan lainnya maka melalui pengakuan hak.
Selasa, 25 Februari 2014
CONTOH SURAT PERNYATAAN BEDA NAMA
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini
: -----------------------------------------
- ( Pembuat Pernyataan ), lahir di Bumi, tanggal 00/00/000, umur 00 tahun,
pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan... Rukun Tetangga 00,
Rukun Warga 00, Kelurahan/Desa , Kecamatan , Kota , Provinsi .
-------------------------------------
- dalam hal ini bertindak
selaku pemilik atas sertipikat Hak Milik
yang akan disebut di bawah ini. -------------------------------------
- Saya MENYATAKAN dengan sebenarnya dan sesungguhnya bahwa: -------------
1. Memiliki Sebidang tanah, yaitu Sertifikat
Hak Milik Nomor: 00/Kelurahan/Desa , yang terletak di Provinsi , Kabupaten ,
Kecamatan , Kelurahan/Desa , diuraikan dalam Gambar Situasi tanggal 00-00-0000,
Nomor : 00/00, seluas 000 M2, tercatat
atas: XXX. -------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Pada Kartu Tanda Penduduk Nomor Induk
Kependudukan : --- 1000000000000000, atas nama ( Pembuat Pernyataan ), yang
dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota/Kabupaten pada
tanggal 00-00-0000. -------------------------
3. Berhubung dengan kekuranglengkapan pada
penulisan nama saya tersebut diatas
maka : --------------------------------------------------
- Bahwa nama saya yang sebenarnya adalah ( Pembuat Pernyataan ), tetapi dalam Sertifikat tertulis XXX; ------------------------------------------------
- Bahwa saya menjamin sepenuhnya 2 (dua) nama yang diuraikan di bawah ini adalah orang yang sama, yaitu ( Pembuat Pernyataan ) dan XXX; ------------------
- Bahwa saya bertanggung jawab sepenuhnya dengan ini pernyataan ini. ----------------------------------------------------
Demikian SURAT PERNYATAAN ini
kami buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Tempat lokasi penandatanganan, tanggal/bulan/tahun
Mengetahui oleh:
Saya yang menyatakan,
Lurah/Kepala Desa tempat lokasi penandatanganan
ULTRA PETITA artikel http://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/06/29/ultra-petita/
Ultra petita adalah penjatuhan
putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus
melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang
melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum).
Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata
di Indonesia.
Ultra petita dilarang, sehingga judec factie
yang melanggar dengan alasan ”salah menerapkan atau melanggar hukum
yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA), dan dasar
upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). Di
dalam hukum hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim
”tidak berbuat apa-apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasanya
ditentukan para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal
yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur).
Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan
para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh
menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih
dari yang diminta.
Berbeda dengan peradilan perdata, hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengatur ultra petita. Objek perkara atau objectum litis
di MK berbeda dengan peradilan perdata yang melindungi orang
perorangan, sedangkan di MK lebih bersifat hukum publik, tidak hanya
melindungi kepentingan pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak
kalah penting di luar para pihak, yaitu seluruh rakyat Indonesia. MK
adalah penjaga dan penafsir konstitusi, serta penjaga demokrasi dan
pelindung hak-hak konstitusional warga negara, sehingga karakter dan
asas-asas yang berlaku berbeda dengan peradilan lain.
MK dalam putusan pengujian
konstitusionalitas undang-undang beberapa kali memutus melebihi
permohonan. Pertimbangan MK pada pokoknya sebagai berikut: 1)
Undang-undang yang diminta diuji merupakan “jantung” UU sehingga seluruh
pasal tidak dapat dilaksanakan; 2) praktik ultra petita oleh
MK lazim di negara-negara lain; 3) perkembangan yurisprudensi pengadilan
perdata ultra petita diijinkan; 4) pengujian UU menyangkut kepentingan
umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan hukum perdata
(privat); 5) kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita tidak
berlaku mutlak; 6) jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh
terpaku pada permohonan (petitum); 7) permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak dimintakan putusan melebihi putusan. (Miftakhul Huda)
Sumber: Majalah Konstitusi BMK, No. 27-Maret 2009, hal. 63Lebih jelasnya lihat tulisan penulis yang berjudul “”Ultra Petita” dalam Pengujian Undang-Undang” dalam Jurnal Konstitusi Vol 4 No.3 September 2007.
Rabu, 19 Februari 2014
DROIT DE SUITE = HAK TANGGUNGAN MELEKAT PADA TANAH MESKIPUN TERDAPAT PERALIHAN HAT
Hak tanggungan sebagai hak kebendaan, yang mana salah satu
ciri hak kebendaan adalah hak tersebut mengikuti bendanya di tangan
siapa pun benda tersebut berada (droit de suite). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), yang berbunyi:“Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.”
Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Hak Tanggungan
dikatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap
dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
Ini
berarti pada dasarnya tidak menjadi masalah jika hak tanggungan
tersebut dijual oleh si pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) kepada
orang lain, karena hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah yang
dijaminkan (dengan asumsi bahwa hak tanggungan tersebut telah
didaftarkan ke Kantor Pertanahan sehingga hak tanggungan tersebut telah
lahir).
Senin, 17 Februari 2014
PENYELUNDUPAN HUKUM ATAU TIDAK
Hukum Pertanahnan mengandung : Hukum benda, hukum keluarga, hukum agraria, hukum administrasi
Nominee
(dipakai hanya sebatas nama) : perlu dilakukan pengecekan ada atau tidak perjanjian perkawinan, perikatan jual beli
(orang asing tidak boleh memiliki SHM)
Pasal
21 ayat (3) UUPA Orang asing yang memiliki tanah HM dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
tidak dialihkan maka menjadi tanah negara.
Keputusan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 Tentang
Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Dan Hak Guna
Bangunan Menjadi Hak Pakai ---> dilakukan penurunan hak
Ciptakan kepastian hukum untuk perlindungan hukum.
Ciptakan kepastian hukum untuk perlindungan hukum.
Rabu, 12 Februari 2014
DALUARSA = LEWAT WAKTU
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
BAGIAN 3 Lewat Waktu Sebagai Suatu Alasan untuk Dibebaskan dari Suatu Kewajiban
Pasal 1967 Semua tuntutan hukum,
baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena
lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk
adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak
dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
Pasal
55 UU No. 5 tahun 1986
Gugatan dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Penjelasan Pasal 55 UU No. 5 tahun 1986
Bagi pihak yang namanya tersebut
dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan
puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat.
Dalam hal yang hendak digugat itu
merupakan keputusan menurut ketentuan :
a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang
waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang
ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3), maka
tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu
empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan.
Dalam hal peraturan dasarnya
menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu
sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
Senin, 10 Februari 2014
ADMINISTRASI VS MAL ADMINISTRASI
Dalam menerbitkan sertipkat atas tanah hendaknya sesuai dengan
prosedur dan ketentuan yang berlaku berdasarkan ketentuan Undang-Undang
No. 5 tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 jo.
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 jo. PMNA/Ka BPN No. 3 tahun 1997
sehingga diharapkan terhindar dari :
- Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan asas legalitas;
- Tidak berbuat sekehendak hati (Willekeur);
- Tidak menyalahgunakan wewenang (De Tournement de Pouvoir).
Minggu, 09 Februari 2014
SANKSI KEPADA NOTARIS YANG MELANGGAR KETENTUAN
SANKSI dalam UU 2/2014 ada beberapa macam yaitu :
1. Sanksi administrasi terhadap akta notaris, yaitu : akta otentik jadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan.
2. Sanksi administrasi terhadap notaris, terdiri dari :
a) peringatan lisan s/d pemberhentian.
b) peringatan tertulis s/d pemberhentian.
3. Sanksi keperdataan terhadap notaris, terdiri dari :
a) denda bayar biaya.
b) denda ganti kerugian.
c) denda bayar bunga.
1. Sanksi administrasi terhadap akta notaris, yaitu : akta otentik jadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan.
2. Sanksi administrasi terhadap notaris, terdiri dari :
a) peringatan lisan s/d pemberhentian.
b) peringatan tertulis s/d pemberhentian.
3. Sanksi keperdataan terhadap notaris, terdiri dari :
a) denda bayar biaya.
b) denda ganti kerugian.
c) denda bayar bunga.
PEROLEHAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH
Sertipikat hak atas tanah diperoleh perseorangan atau badan hukum melalui 2 (dua) cara, yaitu:
Pertama, Penegasan Konversi. Pengertian dari konversi adalah perubahan status hak atas tanah dari hak atas tanah menurut hukum yang lama sebelum berlakunya UUPA menjadi hak atas tanah menurut UUPA.
Sertipikat hak atas tanah yang diperoleh melalui penegasan konversi, yaitu seseorang Warga Negara Indonesia yang mengajukan permohonan penegasan konversi dari hak atas tanah yang mana tunduk pada Hukum Adat atau tanah yasan yang bertanda bukti Petuk Pajak Bumi atau Landrente, Girik, Kekitir, Pipil, Verponding Indonesia, IPEDA, IREDA, atau Kutipan Letter C kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Dari proses permohonan penegasan konversi ini diterbitkan Sertipikat Hak Milik oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Kedua, Penetapan Pemerintah. Penetapan dari Pemerintah adalah keputusan yang diterbitkan oleh Kepala BPN Republik Indonesia atau pejabat BPN Republik Indonesia yang mana diberikan pelimpahan kewenangan dalam pemberian hak atas tanah.
Penetapan pemerintah akan diterbitkan karena permohonan pemberian hak atas tanah yang mana berasal dari tanah Negara oleh perseorangan atau badan hukum. Atas permohonan pemberian hak ini diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (yang selanjutnya disebut SKPH) oleh pihak Kepala BPN Republik Indonesia, atau pejabat dari BPN Republik Indonesia yang diberikan pelimpahan kewenangan dalam pemberian hak. Surat Keputusan Pemberian Hak ini merupakan suatu Penetapan Pemerintah. Hak penguasaan atas tanah yang diterbitkan dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan. SKPH tersebut wajib didaftarkan oleh pemohon pemberian hak, kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk diterbitkan sertipikat hak.
HAK & KEWAJIBAN PPAT
Urus sendiri sertipikat (tanda bukti hak) tanah Anda:
TUGAS/KEWAJIBAN PPAT/PPATS
Pasal 40
(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan.
Penjelasan
Pasal 40
Ayat (1)
Selaku pelaksana pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Ayat (2)
Kewajiban PPAT hanya sebatas menyampaikan akta dengan berkas-berkasnya kepada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan sertipikatnya menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri.
TUGAS/KEWAJIBAN PPAT/PPATS
Pasal 40
(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan.
Penjelasan
Pasal 40
Ayat (1)
Selaku pelaksana pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Ayat (2)
Kewajiban PPAT hanya sebatas menyampaikan akta dengan berkas-berkasnya kepada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan sertipikatnya menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri.
- Pasal 32 ayat (1) PP No. 37/1998: Uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1 % (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.
- Dalam PMNA / Ka BPN No. 3/97 yang pada intinya menyatakan Kewajiban PPAT menyampaiakan Aktanya kpd Kantah (Kantor Pertanahan setempat) disertai dokumen2 lainnya. Kantah Memberikan tanda terima atas penyerahan permohonan pendaftaran..... PPAT memberitahukan kpn penerima hak telah diserahkan permohonan pendaft. peralihan hak. Pengurusan penyelesaian dilakukan oleh penerima hak/PPAT/Pihak Lain..So....?
- Semua layanan via loket dg biaya sesuai tarif PP 13/2010, syarat & waktu sesuai SP&PP 1/2010; biaya sesuai PP 37/1998 Ps 32(1). Contoh: sertipikat tanah pengganti ya 40 hari maks selesai, biaya silakan dihhitung berapa utk pengumuman, Rp50.000 utk penerbitan, dst
Kamis, 06 Februari 2014
ARTI PENTING PENUNDAAN/BLOKIR TERHADAP PERBUATAN HUKUM ADMINISTRASI DI BPN
Dengan tidak adanya penundaan atas perkara di PTUN Pontianak sesuai
ketentuan UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 ttg Perubahan atas UU No
5 Tahun 1986 ttg PTUN Pasal 67, tidak menghalangi proses pemecahan. Berdasarkan Pasal 126 PMNA No. 3 Tahun 1997 yang intinya jika dilakukan
blokir maka berlaku selama 30 hari.
(1) Gugatan tidak menunda atau mengahalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan tata Usaha
Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan,
sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam
gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketannya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usahan
Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan
mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Penjelasan Pasal 67 UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 ttg Perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Berbeda dengan hukum acara perdata maka dalam hukum acara Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang
mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap tuduhan penggugat
bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum.
Akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata
Usaha Negara itu harus dianggap menurut hukum.
Dan proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk
menguji apakah dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Negara
yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu selalu
menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, maka hukum acara Tata Usaha
Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan
anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum
diputuskan oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
tetap dianggap menurut hukum dapat dilaksanakan.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengaju-kan permohonan
agar selama proses berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
diperintahkan ditunda pelaksa-naannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan
penunda-an pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila :
a. terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita
penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi
kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut; atau
b. pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak ada sangkut
pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 126 dan Pasal 127
Pasal 126
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan jadikan obyek
di gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 127
(1) Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat atau penyidikan perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang bersangkutan.
Selasa, 04 Februari 2014
PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Masalah Eksekusi Paksa Putusan PTUN
Badan atau pejabat mana yang dapat melakukan upaya paksa terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan menarik dari Anda.
Menarik
karena pertanyaan ini sudah lama menjadi persoalan yang dibahas di
lingkungan peradilan, termasuk saat Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung.
Silakan baca artikel ‘MA Tak Bisa Intervensi Eksekusi Putusan’.
Masalah ini juga sering dikaitkan dengan efektivitas Pengadilan Tata
Usaha Negara (“PTUN”) dalam proses penegakan hukum, seperti tertuang
dalam artikel ‘PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum’.
Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendi Lotulung, pernah menuangkan ‘jawaban’ atas persoalan ini dalam tulisannya “Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan Problematikanya dalam Praktek”, dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia Indonesia, 1995).
Seperti
yang Anda sebutkan dalam pertanyaan, hanya putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Namun, tak semua
pihak yang dikalahkan bersedia secara sukarela menjalankan putusan
hakim. Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak hukum yang akan
melaksanakan eksekusi putusan bisa meminta bantuan aparat keamanan.
Beda halnya dengan eksekusi putusan PTUN. Rozali Abdullah (2005: 98)
tegas menyatakan dalam eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya
paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Istimewanya, Presiden selaku
kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan
PTUN.
Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa:
a. Batal
atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan
sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan
untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya
sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada
tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234).
b. Pelaksanaan
putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang
mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN
baru.
c. Selain
itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN
sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan
fiktif negatif.
Pembentuk
Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan
secara sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat
bergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat (Rozali Abdullah, 2005: 99).
Kalau
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka
UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan
Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat
yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa.
Mekanisme lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat media massa. Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan
pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media
massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu
90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN
menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan
kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas
bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan.
Sedangkan, mekanisme uang paksa yang disebut dalam Pasal 116 ayat (4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas. Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN
hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang
dicantumkan dalam amar putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan
gugatan penggugat. Setidaknya, masih menjadi pertanyaan apakah uang
paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa yang
harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan
berapa besar uang paksa atau dwangsom yang dimungkinkan. Ini masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya perlu segera diatasi (Mahkamah Agung, 2007: 9).
Meskipun
demikian, sebenarnya sanksi administratif, pengenaan uang paksa dan
pengumuman di media massa tak perlu terjadi jika Badan/Pejabat TUN
menjalankan putusan secara sukarela.
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah beberapa kali diubah, yakni melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Referensi:
Mahkamah Agung. Permasalahan dari Daerah dan Jawabannya Bidang Tata Usaha Negara. Bahan pada Rakernas Mahkamah Agung dan Jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Makassar, 2007.
R. Wiyono. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2005.
Langganan:
Postingan (Atom)