Tataruangnya sudah definitif menjadikan Pemda
dalam merencanakan wilayahnya untuk membangun infrastruktur malah tak tepat
berdasarkan RTRW, malah kejadian tempat wilayah saya bekerja ada
kawasannya (RTRW arahan pengembangan kawasan hutan) sudah ada sekolah,
pasar dll... Kenapa kita dilarang menerbitkan Sertipikat,
justru Pemda tak ada sanksi yang nyata salah tak menjalankan RTRW yang
telah di Perda kan. BPN RI konsisten menjalankan aturan yang telah dibuat,
Pemda sendiri gimana ? Ippt sangat jelas aturannya, kita jangan terlena dimana
letak bisa & tidak kita mengeluarkan IPPT. Disisi lain terdapat tataruang yang didasarkan
UU, bertabrakan dengan UU Kehutanan. harus benar-benar diperkuat
koordinasi antar instansi dalam menentukan garis deliniasi, karena
bicara kawasan mestinya harus ada Tata Batasnya.
Kalau
memang IPPT diterbitkan juga oleh Pemkab/Kota walaupun pertimbangan
teknisnya menyarankan untuk ditolak karena tidak sesuai dengan RTRW. BPN sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Bukankah IPPT sebelum
dikeluarkan dibahas terlebih dahulu melalui Tim yang terdiri dari para
pakar di Pemkab/Kota.
Pihak Pemkab/Kota sendiri dalam penyusunan RTRW menggunakan jasa konsultan yang
kadangkala tidak berdasar kondisi riil di lapangan, bahkan ada yang masih
memakai peta lama dimana beberapa kawasan masih berupa sawah, padahal
kondisi sekarang sudah berubah kawasan pemukiman. Silahkan menunggu revisi Perda RTRW. Kalau melanggar sanksi nya udah jelas sekali, apalagi kalau
melanggar Kawasan LP2B, bisa kena 2 pasal sekaligus.
Apabila pertimbangan teknis BPN dengan kesimpulan tidak sesuai dengan RTRW yang digunakan untuk IPPT
Pemda dan tetep diterbitkan IPPTnya, kira-kira BPN laksanakan tidak
Pendaftarannya ? Jika dengan statement kita tidak akan menyusahkan
Rakyat.
Pemohon
minta izin dari Pemda yang mengesahkan RTRW, fungsi kita menjalankan aturan yang
telah dibuat, kenapa kita ribut dengan masyarakat karena BPN nggak pernah
menyusahkan rakyat, rakyat justru senang dengan BPN RI.
IPPT
itu harus clear bekerjanya di area yang mana. Staf BPN harus
mengetahui. Jika kita lihat Undang Undang Tataruang, maka bisa kita
tarik kesimpulan bahwa area kerja IPPT adalah atas permohonan IPPT yang
didalamnya dimungkinkan oleh UU tersebut.
Semoga
dalam pemberian dan penolakan IPPT dalam satu kawasan disamping
berpedoman pada RTRW juga berdasarkan zonanisasi yang telah ada sehingga
terhindar dari sanksi pidana dan denda materiil.
Normtifnya
tentu tidak boleh IPPT untuk kantor didalam tataruangnya Pemukiman.
Tapi untuk memastikannya, harus dengan memakai aturan yang sudah punya
detail tataruang. Karena jika hanya kawasan permukiman dalam pertanyaan
di atas, maka ada didalam kawasan pemukinan yang dimungkinkan pertokoan
atau perkantoran. lihat perumahan, ada blok ruko/rukan. Tapi jika tidak
ada RDTR jangan berikan karena bisa salah menerapkan IPPT. Sesuai UU
Tataruang, pelanggaran ijin penggunaan tanah, diatur sanksi pidananya. Maaf saya tambahkan sedikit, kenapa
tidak boleh diperumahan ada perkantoran, karena rumah tempat tinggal
benar-benar untuk tinggal yang nyaman dari lalulintas, polusi suara dan
keamanan, termasuk luas lahan parkir. Sedangkan kantor, tidak ada
halangan siapapun datang dan kenderaan yang kriteria apapun akan masuk
keluar. Jadi, tidak sejalan dan pasti akan timbul masalah. Kecuali,
sistem dan hukum diatur dalam pemukiman Superblok, ada apartemen, ada
toko, bahkan ada blok pasar pagi, semua sudah diatur sedemikian rupa sehingga
semua teratur. Kamar di lantai 20, belanja di lantai 2 dan makan di
lantai 1. Ini perkembangan ilmu penggunaan tanah, tidak konvensional
seperti status di atas.
Ingat Pelanggaran Tata Ruang ada Sangsi 5M atau Kurungan 5 Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar