DASAH HUKUM
Prona yang dilaksanakan oleh Ditjen Agraria hingga BPN RI
disunting oleh Bambang ardiantoro
Prona
semula akronim dari Proyek Operasi Nasional Agraria semasa pelaksanaan
awal dasawarsa 1980-an (tahun 1981) oleh Ditjen Agraria, Depdagri di
bawah komando Mayjen (Purn) Daryono, SH lalu kemudian menjadi Program
Nasional Agraria kala diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia (BPN-RI)—khususnya saat BPN-RI dipimpin oleh Joyo
Winoto, PhD. Sifat utama Prona pada mulanya
merupakan upaya Pendaftaran Tanah (berdasar PP 10/1961: penerbitan
sertifikat tanah, sebagai tanda bukti hak atas tanah), selanjutnya
menjadi Program Pertanahan Nasional dalam percepatan Pendaftaran Hak
atas Tanah yang dikenal sebagai Legalisasi Aset Tanah warga masyarakat
(berdasar PP 24/1997: Pendaftaran Tanah Pertama Kali, juga sebagai tanda
bukti hak atas tanah). Selain Prona yang diperuntukkan bagi warga masyarakat umu
sesuai syarat yang ditentukan, dikenal pula Pendaftaran Tanah Pertama
Kali yang dinamai Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHaT) Lintas-sektor bagi
warga UKM (Usaha Kecil dan Menengah), MBR (Masyarakat Berpenghasilan
Rendah), Petani, Nelayan, hingga Transmigran; demikian pula Sertifikasi
Tanah Pemerintah (BMN, Barang Milik Negara). Kesemua
kegiatan sertifikasi tanah tersebut dengan biaya yang telah tercantum
dalam DIPA bagi pekerjaan yang dilaksanakan oleh jajaran BPN-RI sehingga
peserta tanpa dipungut biaya; terkecuali pengeluaran yang melekat pada
si empunya tanah yang terkait proses sertifikasi tanah, antara lain
dalam penyiapan fisik bidang tanah berupa pemasangan patok tanda batas
bidang tanah, penyiapan yuridis berupa kelengkapan surat-surat tanda
penguasaan seperti akta-akta, kuitansi, pembayaran jika diwajibkan
terhadap PPh, BPTHB,
dan lain-lain, meterai hingga penyediaan berkas atau warkah bukti
kepemilikan yang merupakan dokumen asli ataupun salinan (fotokopy),
serta lain-lain yang tidak tercantum dalam DIPA BPN-RI namun memang
menjadi kewajiban peserta sertifikasi tanah. Dengan
demikian, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian dalam kegiatan
Prona: obyek tanah, subyek peserta, dan dokuken pelengkap syarat.
Obyek
Obyek
dalam Prona dimaksudkan bagi bidang tanah yang akan disertifikatkan,
yakni persil atau kaveling atau petak tanah yang wajib jelas letaknya,
batas-batasnya, dan aman tanpa adanya persengketaan dalam penguasaan
peserta.
Subyek
Subyek
atau peserta Prona adalah masyarakat golongan ekonomi lemah sampai
dengan menengah, yang memenuhi persyaratan sebagai subyek/peserta Prona
yaitu pekerja dengan penghasilan tidak tetap antara lain petani,
nelayan, pedagang, peternak, pengrajin, pelukis, buruh musiman, dan juga
lain-lain pekerja dengan penghasilan tetap:
a. pegawai
perusahaan, baik swasta maupun BUMN/BUMD dengan penghasilan per bulan
sama atau di bawah Upah Minimum Regional (UMR, UMK, UMP) yang ditetapkan
oleh masing-masing kabupaten/kota, yang dibuktikan dengan penetapan
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan surat keterangan penghasilan dari
perusahaan;
b. veteran,
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pangkat sampai dengan Penata Muda Tk.I
(III/b), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pangkat sampai dengan
Kapten dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pangkat
sampai dengan Komisaris, dibuktikan dengan fotokopy Surat Keputusan
(SK) pangkat terakhir;
c. istri/suami
veteran, istri/suami PNS, istri/suami prajurit TNI, istri/suami anggota
Polri sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dibuktikan dengan fotokopy SK
pangkat terakhir dan akta nikah; dan
d. pensiunan PNS, pensiunan TNI dan pensiunan anggota Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun; serta
e. janda/duda
pensiunan PNS, janda/duda pensiunan TNI, janda/duda pensiunan anggota
Polri, dibuktikan dengan fotokopy SK pensiun janda/duda dan akta nikah.
Peserta Prona berkewajiban untuk:
a. menyediakan/menyiapkan
alas hak atau alat bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan dijadikan
dasar pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
b. menunjukkan letak dan batas-batas tanah yang diajukan proses sertifikasi (dapat dengan surat kuasa);
c. menyerahkan
Bukti Setor Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bukti
Setor Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(PPh) bagi peserta yang terkena ketentuan tersebut; dan
d. memasang patok batas tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
e. menyediakan meterai yang diperlukan; serta
f. melengkapi
berkah sebagai persyaratan secara lengkap dan benar, termasuk masih
berlaku (misal fotokopy identitas KTP, KK, dll. yang dicocokkan sesuai
aslinya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat).
Kriteria Lokasi
Di dalam penetapan lokasi Prona perlu memperhatikan kondisi wilayah dan infrastruktur pertanahanan yang tersedia.
1. Kondisi Wilayah:
Lokasi Kegiatan Prona diarahkan pada wilayah-Wilayah sebagai berikut:
o desa miskin/tertinggal;
o daerah pertanian subur atau berkembang;
o daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota;
o daerah pengembangan ekonomi rakyat;
o daerah lokasi bencana alam;
o daerah permukiman padat penduduk serta mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan;
o daerah diluar sekeliling transmigrasi;
o daerah penyangga daerah Taman Nasional;
o daerah permukiman baru yang terkena pengembangan prasarana umum atau relokasi akibat bencana alam.
2. Infrastruktur Pertanahan
Penetapan lokasi wilayah desa/kelurahan PRONA, hendaknya memperhatikan ketersediaan infrastruktur pertanahan, antara lain:
o Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
o Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (I.P4T);
o Peta Penatagunaan Tanah;
o Peta Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (Fotogrametis);
o Infrastruktur Titik Dasar Teknik (TDT) dan Peta Dasar Pendaftaran;
o Teknologi Informasi dan Komunikasi;
o Mobil dan peralatan Larasita; dan
o Infrastruktur lainnya.
Kriteria Obyek Prona
1. Tanah sudah dikuasai secara fisik;
2. Mempunyai alas hak (bukti yuridis kepemilikan);
3. Bukan tanah warisan yang belum dibagi;
4. Tanah tidak dalam keadaan sengketa;
5. Lokasi tanah berada dalam wilayah kabupaten/kota lokasi peserta program yang dibuktikan dengan KTP setempat;
6. Memenuhi ketentuan tentang luas tanah maksimal obyek Prona.
Luas dan Jumlah Tanah Obyek Prona
1. Tanah Negara:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2
(dua ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah
Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 500 m2 (lima ratus meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 2 ha (dua hektar).
2.Penegasan konversi/pengakuan hak:
o Tanah nonpertanian dengan luas sampai dengan 5.000 m2
(lima ribu meter persegi), kecuali obyek Prona yang berlokasi wilayah
Kabupaten/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 1.000 m2 (seribu meter persegi); dan
o Tanah pertanian dengan luas sampai 5 ha (lima hektar).
3. Jumlah bidang tanah:
Bidang
tanah yang dapat didaftarkan atas nama seseorang atau 1 (satu) peserta
dalam kegiatan Prona paling banyak 2 (dua)bidang tanah.
Tahapan Pelaksanaan Prona
a. Penyerahan DIPA (oleh Kemenkeu)
b. Penetapan Lokasi (oleh Kanwil BPN provinsi)
c. Penyuluhan (oleh Kantah Kabupaten/Kota)
d. Pengumpulan data (alat bukti/alas hak, Penetapan Peserta) oleh Satgas Yuridis
e. Pengukuran dan Pemetaan oleh Satgas Pengukuran
f. Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A
g. Pengumuman (tenggang waktu 60 hari)
h. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (Penetapan Hak)
i. Penerbitan Sertipikat (Tanda Bukti Hak)/Pembukuan Hak
j. Penyerahan Sertipikat (Tanda Bukti Hak) Tanah
Biaya
untuk pelaksanaan kegiatan Prona bersumber dari rupiah murni pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan ke DIPA
BPN-RI atau dana bersumber dari APBD melalui Proda. Anggaran dimaksud
meliputi biaya untuk:
a. Penyuluhan;
b. Pengumpulan Data (alat bukti/alas hak);
c. Pengukuran Bidang Tanah;
d. Pemeriksaan Tanah;
e. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis;
f. Penerbitan Sertipikat;
g. Supervisi dan Pelaporan.
Sedangkan
biaya materai, pembuatan dan pemasangan patok tanda batas bidang tanah,
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi yang terkena
ketentuan perpajakan menjadi beban kewajiban peserta Prona, juga bila
ada biaya perbanyakan salinan/fotokopy berkas. Biaya
yang melekat pada kewajiban peserta Prona tidak dianggarkan pada
APBN/APBD sehingga peserta memang tidak dibebani biaya di BPN namun
masih wajib menanggung biaya yang tidak ditanggung oleh pemerintah.
Beberapa syarat yang harus disiapkan peserta Prona antara lain:
a. Pengisian Formulir permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (Rp6.000);
b. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
c. Fotocopy
identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah
dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Kantor Pertanahan;
d. Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat atau tanah garapan (Tanah Negara);
e. Fotokopy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB);
f. Asli
dan fotocopy Akta PPAT/PPATS (camat setempat) untuk perolehan tanah
setelah Oktober 1997; atau bukti perolehan (misal: kuitansi jual-beli
sebelum Oktober 1997);
g. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
h. Menyiapkan meterai yang diperlukan;
i. Memperbanyak dokumen yang diperlukan; dan
j. Memasang patok batas bidang tanah.
Formulir permohonan memuat:
a. Identitas diri;
b. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon;
c. Pernyataan tanah tidak sengketa dan belum pernah terbit sertifikat tanah; dan
d. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik.
Epilog
Ringkasan
dalam tulisan ini bersifat umum, hal-hal lain yang khusus berlaku pada
wilayah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dapat ditanyakan pada
saat penyuluhan atau ke kantor; misal dasar kepunyaan seperti Petok D/C,
kekitir, SKGR, SKT, SK-HUAT, dsb.