Selasa, 30 September 2014

Kementerian Pertanahan/Agraria Oleh: Ir. Bambang Sulistyo Widjanarko, MSP.

Kementerian Pertanahan/Agraria
Oleh: Ir. Bambang Sulistyo Widjanarko, MSP. **
JAKARTA, SACOM - Berita koran Kompas Rabu 10 September 2014 halaman depan tentang : “TANAH ADAT, Warga Dayak Benuaq Pun Mengadu kepada Leluhur”. Kejadian begini telah merebak di wilayah NKRI disebabkan masih bancinya hukum keperdataan tanah berdasarkan hukum adat belum diundangkannya sehingga masih berlaku dualisme hukum di Indonesia dan tergantung para penegak hukumnya menterjemahkan hukum yang masih berlaku, akhirnya rakyatlah yang menjadi korbannya. Dalam era globalisasi merupakan penjajahan dengan baju baru baik secara hukum dan ekonomi seyogyanya negara harus memproteksi rakyat dan asetnya juga secara hukum keperdataan tanah dengan membuat hukum pertanahan berdasarkan hukum adat.
Arti kata “TANAH” sebagai kata benda yaitu merupakan senyawa organik alam dan anorganik alam yang berwujud BUMI. Tanah ada yang dapat diraba dan ada yang hanya dapat dirasa. Tanah sebagai kata sifat hanya dapat dirasa yaitu berkaitan dengan ilmu hukum, dalam penggunaan dan pemanfaatannya mempunyai dua sifat, sebagai benda tetap berupa Hukum Pertanahan (NBW) dan sebagai benda bergerak berupa Hukum Agrarius (latin), hubungan persewaan berupa Agrariche Wet. Jadi tanah dalam pengertian hubungan hukum dan perbuatan hukum di sebut Pertanahan, bukan lagi tanah. Hukum Pertanahan (Groundrech) dan Hukum Agraria (Agrariche Betrekkingen), Land Law dan Agrarian Holding, keduanya dibedakan.
Jadi Hukum Pertanahan payungnya Hukum Agraria, jangan dibalik Hukum Agraria menjadi payungnya Hukum Pertanahan. Agrariche Wet dan Agrariche Besluit menjadi payung hukum keagrariaan negara kolonial Belanda melalui Domein Verklaring dan UU no 5 tahun 1960 yang dikenal dengan UUPA dibuat sebagai pengganti dari Agrariche Wet, hal ini tidak dikoreksi oleh Badan Legeslatif pembentuk UU no 5 tahun 1960 sehingga banyak sengketa menahun dibidang hubungan keagrariaan, karena WNI tidak merasa dipelakukan adil dan benar dalam setiap penyelesaiaannya.
Hak keperdataan rakyat sebagai WNI tidak dihargai dengan baik dan benar oleh para penegak hukum agraria Indonesia, sebab norma yang digunakan adalah norma hukum pertanahan NBW/KUHPInd yang tidak mengakui hak keperdataan pemilikan tanah orang-orang Indonesia asli (Bumi Putera) walaupun berdsarkan pasal 26 ayat 1 UUD 1945 mereka semua adalah WNI yang secara konstitusi memiliki Hak Azasi sebagai WNI untuk menjadi pemilik tanah sebenarnya.
Para penegak hukum agraria Indonesia (aparat BPN) sebenarnya secara tidak sadar justru menegakkan Hukum Agraria Kolonial Belanda dengan jiwa “domein verklaring” dari pada menegakkan filosofi Hukum Adat yang ditafsirkan kembali secara kontemporer sehingga sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dilain pihak pada Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 ditegaskan bahwa semua peraturan peundangan yang masih berbau kolonial belanda agar disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Pancasila serta akar budaya bangsa Indonesia.
Dari uraian hal tersebut diatas maka Urusan Pertanahan bersifat mengatur hukum dan berhubungan dengan kedaulatan negara (menyangkut batas tanah) karena wilayah NKRI adalah wilayah bekas jajahan kolonial Belanda maka tanah tidak bisa diotonomikan sehingga sudah selayaknya UU Otonomi Daerah disesuaikan kembali dan juga mencegah kesewenagan Bupati dalam memberi ijin lokasi di suatu tempat yang sama beberapa kali membuat potensi/menyulut terjadinya konflik agraria dan pertanahan., namun bila itu dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan bila ada penyimpangannya mudah diluruskan kembali sebagai aparat Pemerintah.
Kepemilikan tanah dari WNI bila tidak diproteksi maka dengan adanya saham global, WNI akan menjadi kuli dinegara sendiri.Bila dibuat UU Pertanahan berdasarkan Hukum Adat dalam keperdataan tanah makasebagai negara bangsa yang merdeka dan berdaulat, akan diperoleh beberapa layer kepemilikan tanah secara perdata dimana layer 1. Hak Milik Bangsa Indonesia, Layer 2. Hak Milik bersama masyarakat adat, Hak Milik Perorangan (WNI), Hak Milik Pemerintah (diperoleh dari ganti rugi) dan sisanya Hak Milik Bangsa dalam penguasaan Negara yang disebut dengan Tanah Negara (dikelola Pemerintah), Layer 3. Hak Pakai Badan Hukum, Perorangan WNA, Pemerintah bisa diberi diatas Hak Milik WNI, Hak Milik Bersama masyarakat adat, Pemerintah atau Tanah Negara dengan perjanjian sewa dalam waktu yang lama maupun bagi hasil sesuai penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Namun apabila penerima HaK Pakai (dengan akte kontrak sewa) menterlantarkan tanahnya makadengan sendirinya tanah tersebut kembali pada pemilik layer dibawahnya dan kontrak berakhir secara hukum. Dengan cara begini mencegah terjadinya tanah terlantar dan spekulasi tanah oleh mafia tanah serta kepemilikan tanah rakyat (WNI) akan terproteksi dalam era globalisasi dengan adanya saham global. Dalam pelaksanaannya memang harus ada masa transisi untuk penyesuaian HGU, HGB dan HP menjadi HP diatas HM dan HP diatas TN (Hak Milik Bangsa dikuasai Negara).
Maka kalau hanya dibentuk Kementerian Agraria jadinya jurusan Pertanahan akan masih dimana-mana dengan istilah lain bhukan tanah tetapi menjadi lahan, lapangan untuk hutan, ruang dlsb. Seyogyanya urusan tanah dalam artki hukum yaitu pertanahan digabung saja dengan agraria manajemennya menjadi Kementerian Pertanahan dan Agraria dan aparatnya menjadi Penegak Hukum Pertanahan dan Hukum Agraria.
Urusan Pertanahan seharusnya ada dalam satu lembaga bila telah ada UU Pertanahan berdasarkan hukum adat, sehingga Kementerian Kehutanan tidak lagi mengurusi tanah tetapi hanya tegakan pohon dan kehidupan biologi diantara tegakan dalam hutan cagar alam maupun hutan nasional maka akan menjadi Kementerian Perhutanan atau digabung dengan Kementerian Pertanian. Dengan adanya UU Desa dalam rangka mengamankan dan mengarahkan penggunaan APBN ke desa maka ada usulan untuk membentuk Kementerian Pedesaan dan Agraria oleh LSM, usulan tersebut baik bisa merupakan penguatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan penggabungan dengan Kementerian Daerah Tertinggal menjadi Kementerian Pembangunan Pedesaan. Kegiatan Agraria disatukan dengan Pertanahan agar pelaksanaan Reforma Agraria lebih berjalan dengan mulus karena langkah pertama dari Reforma Agraria adalah penataan aset tanah yang banyak berkaitan dengan hukum pertanahan.
Dalam melaksanakan kegiatan administrator tunggal soal tanah (dalam pengertian tanah adalah kulit bumi termasuk yang di atas dan di bawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaan tanahnya – UU no 5/1960) dan penataan Hukum Pertanahan serta operasionalisasinya, seyogyanya BPN ditingkatkan kelembagaannya digabung dengan Badan Informasi Geospasial (dhl Bakosurtanal) dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang menjadi Kementerian Pertanahan dan Agraria. BPN mempunyai kepanjang tangan di daerah sampai di Kabupaten/Kota tinggal menambah aparat di setiap Kecamatan untuk membina tertib administrasi pertanahan di desa/kelurahan dalam rangka mewujudkan catur tertib pertanahan dan pelaksanaan reforma agraria dalam rangka akses tanah di desa, harus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pembangunan Pedesaan dan Kementerian sektoral. Kementerian Pekerjaan Umum seyogyanya hanya mengurus konstruksi dan ruang bangunan bukan ruang dalam arti tanah sebagai mana definisi UU no 5/1960.
Sehubungan dengan UU yang membatasi jumlah kementerian hanya 34 maka Kementerian Olah Raga dan Kementerian Peranan Wanita dan Perlindungan Anak seyogyanya dikaji ulang sebagai mana beban tugasnya secara nasional yang tidak mempunyai kepanjangan tangan di daerah. Untuk Kementerian Olah Raga tetap ada atau digabung ke Kementerian Pendidikan Nasional sedangkan Kementerian Peranan Wanita dan Perlindungan Anak bisa tetap ada atau digabungkan pada Kementerian Kesehatan bila penekanannya pada bidang kesehatan, pada Kementerian Sosial bila penekanannya pada bidang sosial atau Kementerian Hukum dan HAM bila penekanannya pada bidang Hukum.
Demikian usulan kami sebagai pengamat pertanahan dan agraria juga merupakan pensiunan PNS BPN yang dulunya merupakan peninggkatan Ditjen Agraria sebagaimana alasan Bapak Moerdiono bahwa arti pertanahan lebih luas dari agraria sehingga Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan menjadi Badan Pertanahan Nasional.
** Bambang Sulistyo Widjanarko
Pengamat Pertanahan/Agraria
Pensiunan BPN RI (dulu Ditjen Agraria)
Pendiri LSM Makmur Mandiri Alam Lestari Semarang
Pembina Yayasan Obor Tani Semarang
Pembina Yayasan Ilmu Tani Semarang
S1 Peternakan Undip Semarang
S2 Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Bandung
Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNS Sala
Bambang S. Bambang Sulistyo Widjanarko....
***
Mohon ijin ke Bp BSW, ini bagus utk kita semua

Rabu, 17 September 2014

PENGADAAN TANAH OLEH BADAN HUKUM

UU No. 28 Tahun 2004 tentang perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentangYayasan dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk perkumpulan dalam melaksanakan kegiatan harus berstatus berbadan hukum dan memperoleh ijin lokasi oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan PMNA/Perkaban No. 2 Tahun 1999 jo. PMNA/Perkaban No. 9 Tahun 1999 dalam membebaskan tanah dari pemilik/penguasaan fisik penggarap dan benda-benda lainnya yang berada di atas tanah. Tinjauan luas tanah yang dibebaskan merujuk pada Perkaban No. 3 Tahun 2012.

Selasa, 16 September 2014

KAJIAN

Dalam melakukan analisa hukum terhadap permasalahan yang dihadapi perlu langkah tindakan sebagai berikut :
  1. Melakukan identifikasi sekaligus mengungkapkan fakta-fakta hukum dengan mengeliminasi hal-hal yang ditak relevan. Fakta hukum meliputu perbuatan, peristiwa dan keadaan.
  2. Menetapkan issue / masalah yang hendak dipecahkan.
  3. Dianalisa menggunakan sumber hukum yang relevan. Analisa hukum merupakan proses menafsirkan fakta-fakta hukum dikaitkan dengan sumber hukum yang relevan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
  4. Disimpulkan untuk mengambil tindakan hukum selanjutnya.